Episode 42 - The Enchanted Star

27 10 0
                                    

~ Di antara semua bintang, hanya satu bintang bersinar yang terlihat  ~

Sungguh Ave tak berani mengangkat wajahnya usai menyatakan perasaannya secara tak sengaja. Ia tahu, semua itu hanya spontan, tapi ia tak menyangka kalau Layla sama seperti Zaid. Sama-sama cerdik.

Untunglah, tak lama Zahra datang dan ia mengajak Ave untuk menyiapkan makan malam. Ave pun bisa menghindari Zaid yang kemudian dibuat sibuk oleh ponakannya itu. Hanya sesekali terdengar suara teriakan senang Layla yang sepertinya diajak bermain games bersama Zaid di ruang keluarga.

"Kami bukan saudara kandung. Zaid hanyalah adik tiri saya," ucap Zahra tiba-tiba ketika Ave tersenyum-senyum mendengar suara riuh Layla yang ditingkahi suara berat Zaid dari ruang keluarga yang terletak persis di samping dapur.

Tangan Ave yang sedang menyendok sayur dari panci ke mangkuk besar terhenti seketika, gadis itu berpaling pada Zahra. Sorot mata sedih kini terlihat di wajah wanita berpipi chubby itu. Bibir Zahra masih tersenyum, tapi senyum itu malah memperjelas kesedihannya. Setelah menghela napas panjang perlahan-lahan, Zahra mulai bicara.

"Bapa saya berkahwin dengan Mama Zaid ketika Zaid berusia 12 tahun. Pada mulanya kita tak pernah bertemu, kerana saya tinggal di KL dengan ibu saya sejak ibu bapa saya berpisah. Saya tidak tahu permulaan yang tepat, tetapi saya tahu Zaid tak menerima Bapa saya. Dia fikir ... Bapa saya adalah orang yang membuat Mama dan Papanya terpisah. Saya juga... sempat tak suka dengan perkahwinan mereka."

Ave memilih berhenti memindahkan sayur ke mangkuk dan seksama mendengarkan Zahra. Ada sesuatu yang ingin disampaikan kakak tiri Zaid ini.

"Suatu kali saya melawat ke Jakarta dengan nenek saya untuk memberitahu ayah saya bahawa ibu saya meninggal dunia. Di sana saya berjumpa dengan Zaid, dia sangat sopan dan hormat pada saya tapi dia seorang pemberontak bagi Mama dan Bapa. Setiap hari Mama sentiasa marah dan marah kepadanya. Hingga menangis. Saya kesian pada Mama, dia tu ternyata baik hatinya. Sejak tu saya dan Mama mulai sering menelfon."

Jemari Zahra menyusut airmatanya yang mulai merebak.

"Setiap telepon, Mama selalunya mengeluh soal Zaid. Zaid tak suka sekolah, tak suka belajar, suka mengganggu teman, melawan Mama dan... akhirnya dia kena diusir dari sekolah. Mama menangis menelfon saya, minta bantuan saya untuk nasehatkan Zaid. Tapi saat Bapa dan Mama cuba bicara pada dia... tiba-tiba dia pergi dari rumah."

Seseorang yang begitu disiplin, terlihat pintar dan jarang sekali melanggar batas bisa memiliki masa lalu seperti itu membuat dada Ave sedikit sesak. Andai bukan Zahra yang bercerita, mungkin Ave takkan pernah bisa mempercayainya.

"Ketika mereka mencari Zaid di Puncak, Mama dan Bapa saya mendapat kemalangan kereta dan... kedua-duanya tiada seketika. Saya bersama keluarga arwah Bapa dari KL yang memakamkan keduanya di Jakarta, tapi kami tak berjumpa dengan Zaid. Kami berusaha mencarinya, tapi tak jumpakan jua."

Mata Ave terasa panas, hidungnya mulai terasa berair dan bibirnya mengatup rapat menahan getar. Ia bisa membayangkan perasaan Zaid sekarang. Ave tahu benar rasanya kehilangan.

"Lalu... apa yang terjadi, Kak?" bisik Ave dengan suara bergetar.

Zahra juga mulai tak bisa menahan tangis. Matanya berkaca-kaca. "Saya memutuskan untuk menunggu Zaid sehingga dia pulang ke rumah. Selepas tujuh hari, Zaid pulang ke rumah. Dia terkejut melihat saya menyapa dia di sebuah rumah yang penuh dengan orang-orang membaca doa. Ia tak percaya, tapi ketika saya tunjukkan kubur arwah Mama dan Bapa, ia memukuli badannya berkali-kali depan kubur mereka. Menyalahkan dirinya tak henti-henti."

Ave kini benar-benar terisak. Bisa ia bayangkan betapa menyakitkan saat berpisah untuk selama-lamanya dengan cara seperti itu. Mereka berdua dalam keadaan marah, dan tak sempat saling meminta maaf.

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang