Episode 49 - The Truth

91 13 0
                                    

~ Kenyataan itu kadang sangat pahit. Terlalu pahit. (Zaid) ~

Seperti tak menyadari perubahan wajah Zaid, Jaya meneruskan sambil duduk. Ia terus bercerita.

"Orangtua mereka bercerai, Ajie ikut papanya ke Amerika dan Ave ikut mamanya ke Sydney. Gak lama Mama mereka wafat. Ave dibawa pulang ke Indonesia, sempat sekolah di sini. Tapi dia nerusin ke Sydney lagi. Baru lulus tahun kemarin. Papa Ajie emang ngelarang media meliput Ave. Dia selalu melindungi kebebasan putri kesayangannya."

Rangkaian informasi itu mengingatkan Zaid pada semua yang ia ketahui soal Ave.

Perceraian orangtuanya. Ijazah SMA, kakaknya yang tak pernah terlihat. Ketidaktahuan gadis itu tentang berbagai hal biasa di Indonesia.

"Gue dengar dari istri gue, Ave ingin bangun kafe, tapi gak dibolehin papanya. Jadi dia ditantang buat ngumpulin uang 50 juta dalam setahun, tanpa  menggunakan identitas aslinya atau bantuan keluarga besar mereka. Itulah kenapa Ave sampe kedampar di kantor lo. Dia dibantu oleh Natasha dan ya... Termasuk istri gue."

Natasha, nama yang kemudian masuk dalam ingatan Zaid. "Apa Natasha juga tahu semua ini?" desisnya pelan.

"Natasha? Oh tentu saja. Dia temannya istri gue. Dia artis yang itu... Lo pasti taulah. Iklan, filmnya di mana-mana. Lily, Natasha, Tiar dan Ave. Mereka berempat itu kan teman baik."

Zaid menghela napas. Ia teringat pada IG Ave. Selama ini ia tak pernah benar-benar memperhatikan. Kini ia mulai mengerti.

Zaid berpaling pada temannya lagi. "Jay, thank you for your information. This is so helpful. Tapi bisa gak ini jadi rahasia kita berdua aja? Gue gak mau masalah gue dan Ajie jadi rame. Gue dan Ajie... Lo ngerti kan?"

Jaya mengangguk-angguk. Walau tadinya sempat berharap Zaid bersedia lebih terbuka jika ia menceritakan semua yang ia tahu tentang Ajie dan Ave.

"Adik lo sangat baik. Baik banget. Bisnis gue juga dibantu dia. Gue respek sama adik lo. Tapi sepertinya mulai sekarang adik lo juga harus jaga jarak dengan semua yang menyangkut gue. Gue gak mau karena gue, hubungan dia sama suaminya jadi bermasalah. Gue harap lo ngerti," ujar Zaid perlahan tapi tegas.

Sekali lagi Jaya mengangguk sambil menepuk-nepuk bahu sahabatya itu.

"Terus soal Ave gimana? Jangan lo apa-apain dia. Ave itu malah gak tau apa-apa soal masalah lo dan Ajie. Dia benar-benar mau kerja. Lagipula masalah itu sudah bertahun-tahun, permusuhan kalian terlalu lama. Ajie... gue rasa dia juga udah maafin lo," kata Jaya mengingatkan.

Senyum getir tersimpul di bibir Zaid sebelum ia kembali meraih gelas sodanya sendiri. Meminum hingga tandas. Berharap semua perasaan kecewa dan bingung di hatinya saat ini menghilang. Tapi nyatanya tidak.

Jika semua teman-teman di kelas mereka saat itu ditanya, siapa yang paling dipercaya di antara mereka hingga saat ini, jawabannya pasti Jaya. Sosok pemimpin yang sampai saat ini juga masih sangat dihormati Zaid dan juga... Ajie. Hanya kali ini, Zaid tak tahu ia harus mengikuti saran Jaya atau tidak.

Dulu saja Jaya tak bisa percaya padanya. Sekarang... menaruh harapan bahwa Ajie mulai bisa melupakan masa lalu hanyalah sesuatu yang sia-sia dan Zaid tak pernah ingin berharap apapun lagi.

Lagipula... Like brother, like sister. Ave juga sama liciknya seperti kakaknya.

Ia menyembunyikan jati dirinya hanya demi uang. Menyamarkan sebuah identitas demi permainan. Prasangka lain muncul di hati Zaid, jangan-jangan gadis itu juga memalsukan perasaannya. Demi kelancaran permainan ala anak orang kaya itu. Yang bisa mempermainkan nasib orang seperti dirinya, yang menentukan masa depan seseorang menjadi baik atau suram.

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang