Episode 18 - The Witch

78 12 1
                                    

~ Avelia adalah seorang penyihir (Zaid) ~

Ave benar-benar bersyukur, hubungannya dengan Zaid membaik sejak kejadian itu. Meski belakangan Zaid lebih sibuk dari biasanya, Ave bersyukur bossnya tak lagi bersikap keras padanya. Setidaknya kepala Zaid masih mau mengangguk saat Ave menyapanya. Zaid juga masih mau menekan tombol buka ketika Ave berteriak meminta siapapun yang ada dalam lift untuk menunggunya. Bahkan ketika Ave menumpahkan kopi di atas sofa di ruang kerja Zaid, pria itu hanya menoleh dan menghela napas sebelum menyuruh Ave membersihkannya.

Tak ada lagi teriakan. Tak ada lagi kemarahan.

Tapi tak berarti masalah Ave selesai. Ia justru baru mulai sekarang.

Ave mengira, setelah bulan pertama ia bisa pindah ke tempat kost. Nyatanya, mencari tempat kost layak tapi murah itu sulit sekali. Beberapa kali teman-teman di kantor membantunya. Bahkan si Bapak tua, Pak Suwiryo ikut memberinya rekomendasi.

Namun semua tempat kost layak menurut harga murah itu adalah ruang kotak 2x3 meter tanpa jendela bahkan tanpa sirkulasi udara yang sehat. Tempatnya sempit dan Ave tak bisa memasak. Lalu ketika ia mencoba menyewa rumah. Yang terjadi sama saja. Ia harus membayar minimal setahun kontrak dengan rumah kosong melompong tanpa furniture.

Gaji pertama yang ia harapkan mampu memberinya harapan, malah makin membuatnya pusing tujuh keliling untuk mengaturnya. Hidup di apartemen mewah, semurah apapun sewanya, jika menggunakan semua utilitas di dalamnya sama saja seperti menyerahkan seluruh hasil kerjanya dalam sebulan.

Dengan lesu, Ave membaringkan kepalanya di atas meja usai melunasi semua tagihan rutin bulanan apartemen. Belakangan ia sulit tidur memikirkan jalan keluar dari semua masalah ekonomi yang memusingkan ini.

"Bangun, Ve! Kamu kok malah tidur? Tadi kan disuruh nyariin solusi supaya besok studio bisa dipake," kata Akbar sambil menepuk punggung Ave yang benar-benar tertidur. Ia baru saja tiba dari studio.

Buru-buru Ave menegakkan punggung. Mengira ada Zaid. Tapi saat melihat Akbar yang duduk di kursinya sendiri, Ave menyeringai. "Ih, kenapa dibangunin sekarang sih, Mas?"

Akbar melongok. Menatap bingung.

"Itu tadi Ave lagi mimpiin solusinya. Dikiiiit lagi  bakal dapet! Mas sih bangunin, gak jadi dapet deh," kata Ave sambil mengangkat bahu. Seringai jahilnya terlihat di wajahnya yang cantik.

Akbar menatapnya dengan kesal. Gadis ini kalau sedang jahil seringkali tak kenal waktu dan tempat. Hanya saja, sekesal-kesalnya Akbar, ia tak pernah bisa marah pada Ave. Mata Ave mungkin terlihat bersinar setiap waktu, tapi kalau seseorang menegur atau memarahinya dengan keras, cahaya mata itu langsung berubah sendu dan menyedihkan. Akbar tak tega tiap kali melihatnya. Ave jadi terlihat rapuh.

"Ada apa sih? Belakangan ini kamu sering banget ketiduran di kantor. Masih nyari tempat kost? Belum ketemu?" tanya Akbar sambil menyerahkan sebuah map plastik pada Ave.

Ave berdiri meraihnya sambil menggeleng lesu.

"Sabar aja, Ve. Pasti nanti ada yang cocok buat kamu. Jangan kuatir! Rajin sholat, rajin nyari, insya Allah dapet," hibur Akbar. Ave hanya mengangguk.

Tak lama terdengar nada pesan masuk di ponsel Ave. Dengan santai gadis itu membacanya.

[Papa: Halo Nona, kapan mau menyerah?]

Ave mendengus kesal. Dengan jari-jari mengetuk cepat di atas layar ponsel, ia menjawab pesan itu.

[Avelia: Enak aja! Ave malah mau nanya Papa, udah siapin uangnya belom?]

Lalu balasan Papa muncul dengan cepat.

[Papa: Sorry Ve, Papa selalu siap kalau emang kalah. Tapi kamu siap enggak untuk menikah?]

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang