Episode 9 - The Deposition

51 9 0
                                    

~ Tak ada kerajaan dibangun dalam semalam, tapi istana bisa hancur dalam semalam ~

Sudut spesial di lantai 9 kini tak lagi menjadi ruang sembunyi untuk Avelia. Ia memutuskan untuk mencari tempat lain. Pantry jauh lebih baik daripada bertemu si Boss pemarah dan berwajah sedingin es itu.

Dua minggu berlalu sejak Ave meninggalkan rumah, lalu Ajie menelpon Avelia. Meminta adiknya untuk menemuinya saat makan siang. Karena tak ingin membuang uang untuk datang ke kantor kakaknya, Ave meminta Ajie menemuinya di cafe dalam mal dekat kantornya.

"Kok ketemunya jauh-jauh banget dari apartemenmu, Ve?" tanya Ajie saat Ave tiba.

"Ave kerja deket sini, Mas. Gedung depan mal ini," kata gadis itu sambil menunjuk gedung tinggi berlantai 28 di depan mal. Ajie menoleh sekilas dan mengangguk. Gedung itu terdiri dari beberapa perusahaan yang namanya terpampang di depan gedung.

"Gimana pekerjaanmu? Menyenangkan?" tanya Ajie sambil meletakkan ponsel di atas meja, menatap adiknya baik-baik. Ave terlihat lebih kurus, tapi matanya berbinar lebih terang dari biasanya. Pekerjaannya pasti cukup menyenangkan untuknya.

Bersandar pada kursinya, Ave malah tersenyum miris. "Becanda ya, Mas? Yang ada Ave stress aja. Heran aja kok Mas dan Papa betah banget kerja kantoran."

Ajie menggeleng-geleng. "Gak semua orang berpikir sebebas dirimu, Ve."

Mendengar kalimat Ajie yang begitu serius, Ave merasa ada sesuatu di balik ucapan itu. Agar tak berlanjut ia pun beralasan. "Ave gak bisa lama-lama, Mas. Masih magang, takutnya ada kerjaan." Ave masih tak ingin berbicara tentang hal lain saat ini.

Ajie melirik jam tangannya. "Masih 40 menit lagi. Kamu jangan lupa makan dan istirahat juga ya, Ve. Bersabarlah! Mas akan coba bicara dengan Papa soal cafemu itu."

"Jangan! Jangan! Walaupun berat, Ave suka kok ngejalaninnya, Mas. It's quite fun. Biar ajalah begini. Nyenengin Papa juga," kata Ave sambil tersenyum manis. Ia harus mengakui itu. Ketimbang di rumah sendirian, ia senang bisa melakukan sesuatu dan bertemu dengan banyak orang. Apalagi di rumah, ia hanya bertemu Papa.

Suara helaan napas terdengar jelas saat Ajie menatap adiknya. Tidak mudah baginya berada di antara dua orang keras kepala yang disayanginya ini. "Papa akan sangat seneng kalo kamu mau dijodohin dengan orang yang dipilihnya, Ve. Bukan dengan begini. Kamu baru berapa minggu udah kurusan gini."

"But I am so happy, Mas! This is my first freedom from all men in our family," serunya penuh semangat. Tak ada Papa, Mas Ajie atau Grandpa Wilson yang bawel. Ia bebas walau hidup dalam keterbatasan.

Ajie hanya menatap adiknya sekali lagi. Mulai mengerti maksudnya. Mungkin sudah saatnya juga bagi dirinya untuk sedikit melonggarkan pengawasan pada Ave. Usia Ave bahkan lebih tua dari istrinya sendiri. Jadi Ajie memutuskan untuk langsung mengatakan tujuan kedatangannya yang sebenarnya.

"Mas datang ke sini mau nitip Lily. Kamu temenin dia kalo lagi periksa ya Ve. Mas harus ke Singapur dan Jerman minggu ini juga. Kebetulan Emak dan dokter udah gak ngizinin Lily naik pesawat kalo gak penting. Emak gak selalu bisa nemenin dia di Jakarta, jadi kalo bisa kamu juga nginep di rumah kami," ujar Ajie.

Ave langsung mengangguk. "Tentu aja, Mas! Tenang aja soal itu. Tapi... mmm, adekmu ini lagi jatuh miskin, jadi bisakah Ave minta sekadar uang transport?"

Ajie tertawa dan mengangguk. "Harus cash ya Ve? Mas dengar dari Papa, no card?"

Bibir Ave bersungut-sungut. "Iya Mas. Cash aja. Gara-gara Papa... Benar-benar pakarnya loan shark. Segalaan kartu kredit dan debit dari anggota keluarga, Ave gak boleh pake. Sadis! Mas Ajie yakin Ave ini anaknya Papa gak sih? Apa kita periksa DNA aja yuk!"

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang