Episode 33 - The Reason Why She Said No

55 15 0
                                    

~ Karena cinta saja tak cukup untuk  memulai sebuah hubungan. (Ave) ~

Saat kaki Ave melangkah masuk, pintu rumah tak terkunci. Jadi ia yakin, Zaid ada di dalam. Apalagi terdengar suara televisi menyala di ruang keluarga.

Ia sedikit kuatir, bos berwajah dingin itu akan marah padanya setelah keisengannya pagi tadi. Tapi walaupun kuatir dan sedikit takut, Ave tak ingin menghindar. Ia bisa memikirkan cara lain untuk menghindar. Yang penting sekarang, memastikan pria itu makan siang dulu.

Hanya saja ketika Ave masuk ke ruang keluarga. Tak ada siapapun di situ. Televisi berlayar 42 inch itu menyala tanpa ada yang menonton. Ave pun mematikan TV.

Sambil celingukan, Ave memeriksa ke dapur dan meninggalkan bungkusannya di meja makan, lalu naik ke kamar dan ruang kerja Zaid. Ia bahkan memeriksa toilet dan kamar mandi. Juga sempat memeriksa area kolam renang, paviliun dan taman belakang. Kosong. Tak ada siapapun. Hanya tinggal satu ruang yang belum ia periksa selain halaman depan. Garasi.

Benar saja, ada seseorang sedang duduk di samping motor besar yang terparkir di sisi mobil. Tanpa melihat wajahnya, Ave bisa menebak kalau itu Zaid.

Namun, bukannya menegur, Ave malah bersandar di dinding dan memperhatikan pria itu dari jauh. Menikmati pemandangan yang selalu disukainya. Pria tampan yang sedang bekerja.

Kedua tangan tampak sibuk, salah satunya memutar, yang lainnya memegang alat dengan kokoh. Otot-otot tangannya terlihat jelas karena tubuhnya hanya terbalut kaus oblong putih itu sudah basah oleh keringat.

Hanya sebagian wajahnya yang bisa terlihat Ave, tapi bagian itu justru yang terbaik. Hidungnya yang tinggi, dahinya yang dipenuhi anak rambut yang berjatuhan tampak menempel, bibirnya yang seperti ikut bergerak mengiringi gerakan tubuh dan tangan, serta tatapan serius dari matanya yang tajam.

Tak seperti para montir yang terlihat kotor dan lusuh, pria tampan di depan matanya ini justru terlihat seksi.

Tanpa sadar Ave mengambil ponsel dari saku celananya dan ketika ia membuka ponsel dengan pola garis yang biasa ia pakai untuk ponselnya sendiri, suara penolakan terdengar. Ave baru ingat... ia hampir saja memakai kamera ponsel milik Zaid untuk memotret pria itu sendiri.

Suara ponsel itu juga terdengar oleh Zaid. Ia menatap Ave dengan mata menyipit. "Kamu ngapain di situ? Bukannya tadi pulang? Ngerasa bersalah?"

Buru-buru Ave memasukkan kembali ponsel itu. "Eh itu... Maaf ya Bapak ganteng. Maaaaf banget. Ah iya, Ave bawa makanan, Pak. Bapak belum makan kan?" Ia berjalan mendekati Zaid.

Kedua tangan Zaid turun, berhenti bekerja. "Kalo hari Sabtu Minggu kamu bebas, Ve. Gak perlu mikirin makanan saya. Saya bisa pesan atau... masak sendiri."

"Tapi Ave gak enak bayangin Bapak makan siang sendiri!"

Zaid terdiam. Ia hanya tersenyum tipis. Lalu sambil melanjutkan pekerjaannya, Zaid berkata, "Saya udah biasa, Ve."

Ave berjongkok di samping Zaid. "Bapak gak datangin orangtua Bapak?"

"Kenapa? Pengen ketemu calon mertuamu?" goda Zaid sambil melirik sedikit.

"Idiiih! Enggak, Bapaaak! Ini Ave nanya serius loh."

"Orangtua saya bercerai. Mereka sudah punya keluarga masing-masing. Ibu saya juga sudah tiada."

Tak biasanya Zaid mengatakan sejarah keluarganya pada orang lain. Bahkan pada teman-teman dekatnya. Tapi ia ingin Ave mengenalnya dengan baik, walaupun ia tak yakin gadis itu mengerti.

"Kalau begitu kenapa gak giliran? Hari ini di rumah keluarga bapaknya Bapak, minggu depan di rumahnya keluarga ibunya Bapak. Pasti masih ada kan. Biar adil. Biar Bapak gak makan sendirian."

Putri Matahari dan Pangeran Salju (2024)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang