14. Papa!

1.3K 76 1
                                    

Dua hari Jordan meninggalkan pekerjaannya, lagi-lagi pemuda itu meminjam ponsel Pak Wahid untuk menghubungi manager restoran.

Hari sudah mulai menjelang siang, Jordan akan kembali bekerja sore nanti. Pemuda itu menatap Lava yang tengah menikmati makan siangnya sambil sesekali melihat keluar.

"Lava, nanti sore Papa kerja, pulangnya mungkin sekitar jam sebelas malem. Lava berani sendirian di rumah?" tanya Jordan hendak memastikan.

Kegiatan Lava terhenti sejenak, dirinya menatap Jordan dengan pandangan bingung, "Lama...."

"Iya, lama, Nak. Ava berani? Atau Mau Papa titipin sama Pak Wahid?" tawar Jordan seraya mengusap nasi yang berada di dagu kecil putranya.

"Mau di sini," balas Lava pelan, dirinya tidak mau merepotkan orang lain. Lagipula sendirian adalah hal yang sudah Lava lakukan sejak dulu.

Hanya saja rasanya agak berbeda karena dia sudah terbiasa dengan kehadiran Jordan di rumah baru ini. Ada setitik rasa tidak nyaman ketika Jordan tidak ada di rumah mereka.

Jordan tersenyum lembut, pemuda itu mencubit pelan hidung bangir Lava, "Mau jalan-jalan ke luar? Sekalian kita beli cemilan biar Ava nggak bosen nanti malem."

Anak itu mengangguk antusias, tubuh kecilnya berlari menuju dapur untuk menyimpan piring di tempat kotor seraya mencuci tangannya.

Jordan melangkah menuju kamar untuk mengambil dompet, masih ada beberapa lembar uang yang tersisa dari hasil mengambil tabungan milik Lava. Jordan benar-benar menepati janjinya untuk sama sekali tidak mengusik uang itu lagi.

Langkahnya terhenti saat kepalanya tiba-tiba memutar memori lama. Rekening itu di berikan oleh ayahnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban mengurus keperluan hidup Lava.

Atensinya lalu beralih pada Lava yang sudah berdiri di pintu keluar. Lava tidak tau bagaimana rasa cokelat, tidak mengerti apa rasa kesukaannya, tidak memiliki pakaian yang benar-benar pas di tubuhnya.

Apa uang itu benar-benar Rahayu gunakan untuk membesarkan anaknya dengan baik?

Emosinya memuncak begitu saja, wanita itu ... dia memanfaatkan pertangungjawaban ayahnya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa benar-benar memperhatikan pertumbuhan Lava.

"Ayo?"

Jordan terkesiap, dirinya kemudian mengangguk semangat. Mengunci pintu lalu bergerak untuk menggandeng tangan mungil Lava.

"Mau ke mana?" tanya Lava sembari mendongak menatap pemuda yang kelewat tinggi itu.

"Taman." Tak jauh dari toko tempat Anyelir bekerja, ada sebuah taman kecil dimana banyak orang-orang yang sering bermain di sana. Jordan mengetahui itu dari Anyelir sendiri.

Wajah manis Lava tampak antusias, tanpa sadar anak itu ikut menggenggam jemari besar sang ayah. Di dekat rumah Rahayu juga terdapat taman bermain, namun, Lava tidak pernah di izinkan untuk bermain di sana.

Jadi, Lava hanya bisa melihat dari jauh orang-orang yang berlarian penuh tawa di tempat itu. Bermain bersama teman, bersama ayah dan ibu.

Lava mendongak, menatap figur tinggi Jordan yang terlihat sangat gagah. Apa Lava benar-benar boleh menggantungkan harapan kepada sosok ini? Apa dia pantas?

Anak seperti kamu nggak akan pernah bahagia! Mau berlari ke ujung dunia pun, kamu tetap tidak pantas!

Lava tidak pernah sepenuhnya memahami kalimat itu, namun, jika kebahagiaan itu memang benar ada untuknya, bisakah Lava meminta itu dari seseorang yang terus menggenggam tangannya ini?

"Nah, sampe," ucap Jordan membuat mata bulat itu berkedip-kedip pelan.

Menatap taman yang tidak terlalu ramai, mengingat ini bukanlah hari libur. Pemuda itu mengajak Lava menuju salah satu ayunan yang terlihat kosong.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang