22. Sedikit Masalah

982 62 3
                                    

Jordan tersenyum tipis seraya meletakan nampan berisi pesanan pelanggan. Setelah selesai meletakan semuanya, dengan sopan pemuda itu menunduk singkat.

"Selamat menikmati."

Jordan lalu kembali menuju dapur, mengipasi lehernya sendiri menggunakan nampan saat merasakan cuaca yang terbilang sangat panas.

Berbeda dari beberapa hari sebelumnya, restoran sekarang kembali ramai. Bahkan mereka hanya bisa duduk selama beberapa menit saja untuk beristirahat.

Bugh!

Pemuda pemilik tato di sekujur lengan kanan itu mendadak memejamkan matanya erat ketika kepala bagian belakangnya seperti sengaja di lempari dengan botol plastik berisi air.

Saat mata tajamnya terbuka, dia melirik ke samping dengan ekor matanya. Berdecak malas saat menemukan eksistensi Harsa yang sedang tersenyum tanpa rasa bersalah.

"Hey, pembunuh," bisik Harsa yang sudah membungkukkan diri, mendekat ke telinga Jordan.

Seketika Jordan bergerak agak menjauh, mentap nyalang Harsa yang masih mempertahankan posisinya. Harsa lalu memasang wajah seolah-olah terkejut.

"Kenapa?" tanyanya pelan, "gue ada salah?"

Harsa kemudian berdiri tegak sembari berpura-pura merenggangkan otot-ototnya. Menghela nafas pelan, pemuda itu lalu memutar pandangannya ke seluruh dapur.

"Gimana, ya, kalo mereka tau ada kriminal yang kerja di sini? Atau ... ah! Gimana kalo Pak Panji tau?" tanya Harsa dengan nada yang di buat sekhawatir mungkin, "gue yakin Pak Brata juga nggak tau, kan?"

Jordan tetap diam, ingin menyimak seberapa jauh pria bodoh ini berusaha memprovokasi emosinya. Sekali lagi Jordan katakan, dirinya tidak bisa mengubah masa lalu, jika memang Harsa menggunakan ini untuk menjatuhkannya, maka Jordan masih bisa membela diri.

"Pantes lo nggak lulus sekolah, ternyata selama ini lo hidup di balik jeruji besi. Kok bisa, sih, sampah kayak lo di biarin bebas? Mereka nggak takut lo bakal berulah lagi?"

"Jangan ikut campur."

Hanya itu yang mampu Jordan katakan, dirinya memilih untuk bangkit mengambil nampan yang sudah terisi pesanan lain.

"Ah! Gue denger dari Nada, lo punya anak," ucap Harsa pelan sekaligus menghentikan langkah Jordan, "pasti itu anak perempuan yang lo bunuh---"

BUGH!

Sebuah bogeman mentah Jordan layangkan ke rahang Harsa sehingga pria itu terjatuh menabrak meja. Pukulan kedua kembali Jordan layangkan tepat di hidung Harsa yang masih berusaha melindungi diri.

Pekikan terkejut terdengar hingga para pelayan lain berusaha memisahkan dua orang yang saling menindih ini.

"Gue bilang jangan ikut campur," ucap Jordan menekan setiap kata-katanya. Pemuda itu mencengkram kerah baju Harsa erat, "gue nggak perduli kalo lo cuma ngulik masa lalu gue, tapi, jangan pernah bawa-bawa anak gue, sialan!"

Bugh!

"Lo pembunuh!" sentak Harsa setelah berhasil membalas pukulan Jordan.

Yang di pukul refleks memundurkan tubuhnya sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Seringai tipis terbit di wajah pemuda itu sebelum dirinya kembali memukul Harsa membabi buta.

"Lo tau faktanya, dan lo masih berani ngusik gue?!"

Jordan tidak suka jika ada orang asing yang mencampuri hidupnya, apalagi sampai menyangkut-pautkan anaknya.

"CUKUP!"

Tinju Jordan mengambang di udara saat teriakan itu terdengar. Sesegera mungkin Jordan berdiri, sedikit menyempatkan diri untuk menginjak pergelangan kaki Harsa yang sudah terbaring lemas.

"APA-APAAN INI?! RESTORAN SEDANG RAMAI-RAMAINYA DAN KALIAN MALAH BUAT KERIBUTAN?! DI MANA OTAK KALIAN?!" bentak Panji sembari menunjuk Jordan dan Harsa bergantian.

"Kamu!" Panji menunjuk kearah Harsa yang sudah berdiri di sanggah kedua pelayan lain, "kamu sudah senior di sini! Apa-apaan dengan perilaku tidak bermoral seperti ini?!"

Atensi Panji lalu beralih pada Jordan yang tengah memandang Harsa dengan sinis, "Dan kamu! Kamu masih baru di sini, tapi, sudah berani bertingkah bodoh! Mau gimana ke depannya nanti?!"

Panji memijat pelipisnya yang terasa berdenyut nyeri, jelas keributan ini terdengar hingga keluar dapur. Pria itu menatap tajam dua orang yang sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bersalah.

"Ikut saya ke ruangan sekarang!"

...

Jordan mengusap sudut bibirnya yang terluka sembari memandang surat peringatan pertama yang Panji berikan kepadanya.

Pria itu bilang, perkelahian kali ini cukup berakhir di mejanya saja. Jika sampai terjadi yang kedua kalinya, maka, mereka akan berakhir di hadapan Pak Brata.

Apapun itu, Jordan sangat berterima kasih karena Panji tetap bertindak profesional walaupun pria itu sangat ketara sekali tidak menyukai Jordan.

Untuk Harsa, Jordan sendiri tidak tau dari mana pria itu bisa mendapatkan informasi. Sejauh yang Jordan ingat, hampir seluruh media yang meliput beritanya sudah di hapus karena Gerald tidak ingin nama keluarga besar mereka semakin tercemar.

"Cobaan hidup sialan," maki Jordan seraya meremas surat peringatan itu kemudian membuangnya ke sembarang arah.

Jordan mempercepat langkahnya ketika sudah mencapai area rumah. Tidak ada Lava yang menunggunya, tapi, pintu rumah terbuka dengan lebar. Jika seperti itu, berarti Lava menunggunya di ruang tamu.

"Ava?" panggil Jordan ketika tidak melihat Lava di ruang tamu.

Suara gemericik air dari kamar mandi membuat Jordan kembali tenang. Dirinya memilih untuk mendudukkan diri di atas sofa sembari mengelus sudut bibirnya.

Sudah lama Jordan tidak berkelahi, bahkan di dalam sel pun Jordan tidak pernah terlibat perkelahian. Ini pertama kalinya sejak lima tahun terakhir, tidak heran tubuhnya terasa sedikit nyeri di beberapa bagian yang terbentur meja.

"Papa pulang?" Lava yang baru keluar kamar mandi lantas melangkah menuju Jordan, mata bulat itu semakin membesar tak kala melihat luka yang masih berdarah di sudut bibir sang ayah, "PAPA LUKA?!"

Refleks Jordan menahan tubuh Lava yang hanya berbalut handuk itu ketika sang anak melompat ke atas kursi. Tangan mungil yang terasa dingin itu mengusap wajahnya dengan gerakan kacau.

"K-kenapa Papa luka? Siapa y-yang pukul?" tanya Lava dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca karena teringat jika dirinya sering mengalami luka seperti ini.

"Sshh. Jangan nangis, sayang. Ini cuma luka kecil, nggak sakit sama sekali. Ava jangan nangis," ucap Jordan sembari mengusap pipi tembam sang anak, pemuda itu juga meniup wajah Lava pelan.

Lava memeluk Jordan dengan erat, "Bohong! Itu p-pasti sakit ... Papa jangan sakit lagi."

Jordan balas memeluk tubuh mungil itu kemudian berdiri untuk membawa sang anak menuju kamar. Dirinya mengecup pelipis Lava berkali-kali sebelum berucap, "Papa nggak akan sakit selagi ada Ava di samping Papa."

Pemuda itu menurunkan Lava tepat di atas ranjang sebelum mengacak-acak rambut basah sang anak, "Sekarang ganti baju dulu. Nanti masuk angin."

Pandangan Jordan terjatuh tepat pada goresan luka yang cukup mencolok di bahu Lava. Dengan perasaan sedih Jordan mengusap bekas luka itu.

"Itu ... Ava lupa karena apa," gumam Lava sembari ikut mengusap bekas lukanya.

Jordan mengalihkan pandangannya, tidak terkejut mendengar hal itu. Tentu saja Lava tidak akan ingat, tapi, Jordan sangat ingat bahwa dirinyalah yang menciptakan luka itu.

.

.

.

.

kok bisa?
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang