26. Tempat Pulang

1K 67 13
                                    

Jordan menatap bingung ke arah anaknya yang beberapa hari ini terlihat lebih sering melamun. Sekarang, mereka sedang memakan bakso di salah satu penjual yang berada tak jauh dari rumah. Kebetulan Jordan sudah berganti shift kerja sejak kemarin.

Jordan menyenggol tubuh Lava dengan lengannya pelan, "Kenapa nggak di makan?"

Pasalnya sang anak terus mengaduk-aduk kuah dengan bakso yang sudah terbelah belah itu. Lava menggeleng pelan seraya tersenyum, tanpa bicara banyak Lava mulai melahap bakso miliknya.

Lava kembali melamun saat sedang mengunyah bakso, anak itu melirik ke arah Jordan sesaat. Pikirannya di penuhi oleh permintaan Lauren tempo hari.

Dirinya juga merasa bingung harus jujur kepada Jordan jika Lauren sempat datang lagi atau diam saja. Namun, saat mengingat kemarahan sang ayah waktu itu, Lava menjadi takut untuk berbohong.

"Papa," panggil Lava pelan.

"Apa, Nak?"

Lava semakin menunduk dalam sebelum berucap, "Waktu itu Nenek datang lagi."

Gerakan Jordan sempat terpaku sesaat sebelum kembali normal, "Ava nurutin semua permintaan Papa kemarin, kan?"

Melihat keterdiaman sang anak, Jordan lantas meletakan sendok kemudian menatap penuh kearah Lava yang terlihat cukup gugup.

Saat bocah itu menggeleng pelan, Jordan menghela nafasnya lelah. Berusaha tidak terbawa emosi karena dirinya merasa tenang soal Lava yang sudah berani jujur.

"A-Ava cuma buka pintu, Ava nggak suruh dia masuk," jelas Lava tanpa berani mengangkat kepalanya sendiri, "Ava sudah bilang kalo Papa larang untuk buka pintu."

Jordan tetap diam untuk mendengarkan penjelasan sang anak yang nampaknya cukup panjang dan serius. Apa ini penyebabnya Lava menjadi murung belakangan ini?

"Dia minta Papa untuk ... pulang."

Kalimat itu terus berputar di kepalanya sejak Lauren pergi. Wanita itu berkali-kali mengatakan bahwa Jordan harus pulang yang Lava sendiri tidak tau dimana tempatnya.

Jordan punya ayah dan ibu, kenapa dia harus pulang ke sini?

Bantu supaya kami bisa berkumpul lagi seperti dulu. 

Minta Jordan untuk pulang.

Jika itu berkumpul seperti dulu ... apakah Lava juga termasuk di dalamnya? Lava tidak ingin menerka-nerka, namun, dari kalimat itu, Lava merasa bahwa dirinya tidak termasuk di dalam sana.

Jordan menatap datar Lava yang kembali terdiam, mata bulat itu terpaku menatapnya, namun, sorot itu terlihat kosong.

"Pulang ke mana lagi? Selama ini Papa selalu pulang, kan? Setiap hari Ava selalu tunggu Papa pulang. Iya, kan?"

Jemari Jordan terangkat untuk mengelus rambut halus anaknya kemudian tersenyum hangat, "Tempat Papa pulang itu tempat di mana di dalamnya ada Ava, yaitu rumah kita. Selain itu, Papa nggak akan pulang kemanapun."

Sorot lembut Lava kembali, hatinya begitu menghangat mendengar ucapan Jordan barusan. Itu artinya Lava tidak perlu takut untuk di tinggalkan.

"Tempat pulang Papa itu cuma Lava."

Lava mengangguk mengerti sebelum tersenyum manis, "Ava juga cuma mau pulang sama Papa. Ava cuma kasihan karna Nenek nangis dan minta Ava buat bujuk Papa pulang ... dia bilang, Papa punya ayah dan ibu, kenapa Papa harus pulang ke rumah kita?"

Jordan menangkap gurat kesedihan di wajah Lava saat mengatakan hal itu. Dengan cepat Jordan menggeser kursi kemudian merunduk menyamakan posisi mereka berdua.

"Papa cuma punya Ava. Ava nggak perlu bujuk Papa pulang karena Papa bakal selalu pulang ke tempat yang sama."

Yaitu rumah kecil mereka. Tempat di mana di dalamnya ada Lava, putranya.

...

Anyelir masuk ke sebuah kamar yang terdapat di salah satu rumah sakit jiwa di kotanya dulu. Saat tabungannya sudah cukup kemarin, Anyelir langsung mengajukan cuti agar bisa menjenguk sang bunda yang di kabarkan sudah membaik.

"Bunda?"

Wanita yang tengah duduk di atas ranjang itu menoleh, tubuhnya yang semakin mengurus itu perlahan turun. Memeluk sang anak yang sudah tersenyum hangat.

"Adek."

Anyelir membalas pelukan itu tak kalah erat, mencium pipi Sinta---ibunya---berkalikali, "Anye kangen, maaf baru bisa jemput Bunda sekarang, ya?"

Sudah hampir empat tahun Sinta di rawat oleh pihak rumah sakit jiwa lantaran mengalami depresi berat karena kematian anak sulungnya. Selama itu juga Anyelir harus menghidupi dirinya sendiri hingga bekerja di kota orang.

Uang tabungan mendiang ayah dan kakak laki-lakinya dulu sudah terkuras habis untuk pengobatan sang bunda selama ini dan untunglah sekarang kondisi Sinta sudah stabil sehingga bisa di bawa pulang.

"Nggak papa, Bunda kangen sama Adek. Bunda juga kangen sama Abang ... sama Ayah," ucap Sinta dengan suara serak, matanya juga mulai berkaca-kaca.

Anyelir mengangguk mengerti, "Kapan-kapan kita jenguk mereka, ya?"

Jarak rumah sakit ini dengan pemakaman tempat dua anggota keluarganya memakan waktu yang cukup banyak dan tentunya juga memakan biaya yang tidak sedikit.

Uang Anyelir tidak tersisa banyak, ini hanya cukup untuk ongkos pulang menuju rumahnya dan juga pegangan sebelum tanggal gajiannya tiba.

Sinta mengangguk setuju, wanita itu masih enggan melepaskan pelukan mereka. Sudah lama sekali putri bungsunya ini tidak datang, Sinta sangat merindukannya.

"Bunda, kita pulang, yuk?"

"Kemana?" Seingat Sinta, rumah mereka dulu sudah di jual demi menambah biaya pengobatannya.

Anyelir tersenyum, "Rumah kita yang baru, rumah Anye selama ini."

...

Anyelir mengucapkan terima kasih pada supir taksi yang mengantarnya pulang. Pria paruh baya itu juga membantunya menurunkan barang-barang milik Sinta.

"Wah, ini rumah kamu, Dek?" tanya Sinta saat mereka melangkah menuju halaman.

Gadis itu mengangguk pelan, "Anye minta sedikit tabungan Ayah untuk beli rumah ini karena waktu itu Anye belum punya kerjaan. Lebih kecil dari rumah kita dulu, nggak papa, ya, Bun?"

"Lebih dari cukup. Bunda bangga sekali karena Adek udah bisa hidup sendiri. Maafin Bunda, ya, Dek?"

Seharusnya Sinta menghidupi sang anak bukan malah meninggalkan Anyelir dalam kesendirian seperti ini.

Anyelir menggeleng pelan, "Jangan minta maaf, Bunda. Please."

Sinta kemudian mengangguk sembari mengelus rambut panjang Anyelir. Wanita itu mengalihkan pandangannya ke sekeliling rumah yang terlihat cukup padat oleh rumah-rumah lainnya.

"Tetangga kamu baik 'kan, Dek?" tanya Sinta memastikan.

"Baik, Bun. Apalagi yang rumah di sebelah sana, ada anak kecil cowok, dia lucu banget. Nanti aku kenalin dia sama Bunda, ya?"

Sinta mengangguk penuh semangat, dirinya ikut melangkah saat Anyelir menggandeng tangannya dengan lembut.

"Nanti Bunda boleh masakin sesuatu buat dia? Orang tuanya nggak keberatan kan kalo nanti kita ajak main ke sini?"

Anyelir mengangguk, ia ingat tadi pagi Jordan mengatakan bahwa dirinya akan mengambil shift malam. Mungkin nanti Anyelir bisa meminta izin untuk menjaga Lava selama Jordan bekerja.

"Ayo, Bun. Lava suka banget sama sup ayam," ucap gadis itu dengan semangat.

.

.

.

.

tokoh di sini melarat semua, ya
kecuali kakek gerald kayanya wkwk
untuk lanjut? vote dan komen
semakin banyak semakin cepat aku up꒰ᵕ༚ᵕ
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang