25. Semakin Di Jauhi

10.2K 614 17
                                        

Jordan menelan sisa sarapannya tanpa minat, pemuda itu kemudian bergerak untuk meletakan piring di dapur. Jordan lalu bergegas untuk pergi keluar tak kala mendengar klakson dari Pak Wahid. Pria itu benar-benar tidak bisa di bantah keinginannya, jadi, setiap pagi mereka selalu berangkat bersama.

"Ava inget, kan, apa yang Papa bilang?" tanya Jordan sembari memakai sepatunya.

Lava mengangguk pelan, "Jangan buka pintu kalo Nenek datang." Mata bulat itu agak membesar saat tanpa sadar menyebut Lauren dengan panggilan nenek, "k-kalo mereka datang."

Jordan mengangguk, tidak terlalu mempersoalkan panggilan itu. Bagaimanapun juga tidak ada yang salah di sana, hanya saja Jordan tidak ingin Lava malah terseret oleh Gerald karena kemarahan pria itu yang belum usai.

"Papa berangkat, ya."

Tangan kecil Lava terangkat, melambai-lambai kecil sampai punggung sang ayah tidak lagi terlihat. Dirinya kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, berpikir ingin menyambung tidur sedikit lagi.

Baru saja Lava mencapai pintu kamar, pintu rumah sudah di ketuk. Anak itu kemudian berlari kecil hanya untuk mengintip dari jendela. Tubuhnya beringsut menjauh saat mendapati kehadiran Lauren di depan sana.

"Lava? Ini Nenek, nak. Lava di dalam, kan?"

Lava menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak menjawab. Biasanya, Lauren akan datang di siang hari, tapi, hari ini Lauren datang sangat cepat.

"Papa bilang jangan buka pintu," bisik Lava pada dirinya sendiri, anak itu masih menempel di balik pintu. Enggan melangkah menuju kamar karena takut membuat suara.

"Lava ... Nenek cuma mau bicara sebentar. Nenek nggak akan masuk, cukup Lava dengerin Nenek, sayang," ucap Lauren dengan suara yang bergetar.

Mendengar hal itu, hati Lava tergerak untuk membuka pintu. Bagaimanapun juga, selama semingguan ini Lauren yang menemaninya bermain, wanita itu sangat baik dan juga lembut. Namun, ayahnya bilang Lauren adalah orang jahat. Bahkan Jordan menangis juga karena Lauren.

"Nenek mohon, Lava. Sekali ini aja."

Dengan penuh rasa bersalah untuk Jordan, Lava membuka pintu. Anak itu mendongak menatap Lauren yang berwajah sembab seperti habis menangis lama.

Lauren berjongkok kemudian memeluk Lava erat, menangis di bahu kecilnya tanpa memperdulikan jika mereka masih berada di luar rumah.

"Papa bilang Nenek o-orang jahat. Ava tidak boleh buka pintu," ucap Lava polos, tangan mungilnya berusaha mendorong tubuh Lauren hingga pelukan mereka terlepas, "Papa juga nangis semalam."

Air mata Lauren semakin mengalir deras, kepala wanita itu tertunduk dalam dengan bahu yang bergetar kencang.

"Iya, Nenek jahat sama Papa," bisik Lauren sembari mengangkat kepalanya sendiri, "tapi, Nenek mau minta maaf, Nenek mau tebus semua kesalahan Nenek."

Lava hanya mendengarkan karena dirinya sama sekali tidak mengerti harus berbuat apa. Bahkan saat Lauren mencengkram bahunya agak kuat, Lava hanya mampu meringis pelan.

"Papa pasti mau dengerin Lava, kan? Dia nggak mau ketemu sama Nenek, tapi, dia pasti mau kalo Lava yang minta. Lava tolong ... tolong bujuk Papa untuk kembali ke rumah Nenek, Nenek mohon, bantu Nenek supaya kami bisa berkumpul lagi seperti dulu," ucap Lauren sembari mengguncang bahu kecil Lava dengan putus asa.

Melihat keterdiaman Lava, Lauren semakin menangis, "Saya mohon, bilang sama Jordan untuk kembali ke rumah. Dia, dia punya keluarga, dia punya ayah dan ibu, jadi, kenapa dia harus tinggal di sini? Tolong ... tolong bujuk Jordan untuk pulang."

...

Motor Pak Wahid berhenti tepat di depan restoran. Tanpa menunggu lagi, Jordan segera turun kemudian menundukkan kepala sembari berterima kasih.

"Eh, Jo. Saya mau tanya, yang kemarin sore di halaman rumah kamu siapa? Saya sih nggak liat, tapi istri saya bilang kalian kaya lagi berantem," ucap Pak Wahid sembari memainkan gas motornya, "terus, itu bibir sama pipi kamu kenapa?"

Jordan melipat bibirnya sendiri, merasa bingung harus menjawab seperti apa, "Mereka orang tua saya, Pak. Biasalah, masalah keluarga jadi berantem sedikit, kalo luka ini kemarin saya ribut sama temen kerja."

Pak Wahid menggeleng heran, pria itu mengusap dagunya berpikir, "Ya sudah, kalo boleh kasih saran, segera selesaikan masalah dengan orang tua kamu, bagaimanapun juga mereka tetep orang tua kamu, kan? Dan untuk masalah berantem sama temen kerja itu, jangan di tahan. Kalo mereka ngusik kamu, injek aja lehernya."

Jordan terkekeh pelan, pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Setelahnya Pak Wahid berpamitan untuk pergi ke perusahaan tempatnya bekerja.

Jordan kemudian memilih untuk segera masuk. Baru saja membuka pintu, Jordan langsung mendapatkan berbagai tatapan aneh dari rekan kerjanya yang sedang bersih-bersih sebelum restoran benar-benar di buka.

Seperti biasa, Jordan tidak memperdulikan hal itu. Dirinya masuk menuju dapur untuk mengambil apron khas pelayan restoran ini. Mereka sedikit lebih aneh dari biasannya, namun, sebisa mungkin Jordan abai. Mungkin kebencian mereka sudah meningkat ke level yang lebih serius karena perkelahiannya dengan Harsa tempo hari.

"Kok dia bisa bersikap santai, ya?"

"Ck! Namanya juga penjahat."

Alis Jordan menukik tajam saat dua pria do belakangnya tiba-tiba berbisik saat dirinya tiba untuk ikut membersihkan meja. Suasana semakin aneh saat Jordan bertatapan dengan Nada, gadis itu terlihat berusaha menghindarinya secara terang-terangan.

"Sumpah, gue nggak nyaman banget harus kerja di tempat ini bareng pembunuh," bisik seorang gadis kepada Nada.

Suara yang agak kencang itu jelas Jordan dapat mendengarnya, apalagi Jordan sedang berniat untuk menghampiri Nada.

Jordan mendatarkan ekspresinya, menatap para pelayan ini dengan tatapan serupa sembari terus mencari dalang dari semua ini. Mata sipit itu kemudian berhenti tepat kepada salah satu orang pria yang tengah berdiri menghadapnya.

Jordan melangkah mendekat kemudian berhenti tepat di hadapan Harsa, "Cara main lo kayak gini? Really? Sampah banget. Nggak bisa jatuhin gue sendirian makanya ngajak orang lain juga? Cemen banget, bro."

Wajah Harsa memerah seketika, nampak sekali jika pria ini mudah terprovokasi. Jordan lantas tersenyum meremehkan, dirinya mendorong bahu Harsa pelan sebelum berbisik.

"Lo butuh mereka semua buat bikin gue jatuh, tapi, gue cuma butuh diri gue sendiri buat hancurin lo, Harsa."

Jordan mundur sembari tersenyum tipis, dirinya lalu beralih menatap kerjanya bergantian.

"Silahkan kalian percaya sama semua omongan busuk dia, gue nggak perduli. Sekalipun ada yang nggak nyaman sama kehadiran gue, salahin aja Harsa, ngapain dia nyebar rumor kayak gini tentang gue? Bermanfaat banget buat kalian denger ataupun bicarain?" tanya Jordan seketika membuat mereka terdiam. Pemuda itu kembali mengalihkan pandangannya kearah Harsa yang masih menahan emosi.

"Berhenti cari perkara sama gue. Jangan pikir kalo gue itu takut sama lo, Harsa."

Walaupun jauh di dalam dirinya, Jordan memang merasa takut jika cerita ini akan sampai di telinga Pak Brata, namun, Jordan tidak akan diam saja saat sisa harga dirinya di injak seperti ini.

.

.

.

.

berharap papa jo nggak marah sama kepolosan baby ava kita huhu
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang