36. Keputusan

1.2K 140 36
                                    

Lava mendadak demam tinggi. Suhu tubuh anak itu meningkat drastis tak lama setelah Anyelir memindahkan Lava ke atas ranjang miliknya. Gadis itu memilih untuk tidak bekerja dan berusaha merawat Lava yang berkali-kali memanggil sang ayah.

Anyelir sudah menempelkan plaster penurun panas pada Lava, namun, anak itu masih terlihat tidak nyaman. Suhu tubuhnya pun belum menurun sedikitpun.

"P-Papa, Ava pusing," gumam Lava dengan mata yang tertutup. Kadangkala, air mata menetes dari sudut matanya.

Netra Anyelir kembali berkaca-kaca, jemari gadis itu terangkat untuk mengusap helaian rambut Lava, keponakannya. Fakta itu seolah membuat Anyelir merasa semakin jauh dari Lava, padahal sebelumnya mereka sudah sangat dekat.

"Dingin, Ava mau peluk Papa."

Perlahan mata bulat Lava terbuka, itu terlihat berkaca-kaca saat Lava melihat Anyelir yang sedang mengelus kepalanya. Lava terisak tertahan sembari menutup matanya kembali.

"Lava." Anyelir ikut menangis saat merasa bahwa Lava kembali menolaknya.

"M-mana Papa? Ke-kenapa Papa b-belum jemput Ava?" tanya Lava tergugu. Tangisnya membuat anak itu terlihat kesulitan untuk berbicara, hingga kadang tubuh Lava seperti terhentak pelan.

"Dia bukan Papa kamu!" seru Anyelir tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah merah Lava. Rasanya tidak adil saat Lava menyebut lelaki yang sudah menghabisi kakaknya dengan sebutan 'Papa'.

Tangis Lava semakin terdengar pilu, "Papa, Ava mau pulang."

Tubuh kecil Lava bergerak memunggungi Anyelir, meringkuk pelan seolah merasa kedinginan. Punggung ringkih itu terlihat bergetar, menemani isak tangisnya yang tak kunjung berhenti.

"Dia nggak akan jemput kamu! Dia cuma kasihan karna dia pikir kamu nggak punya keluarga, Lava! Dan setelah dia tau kalo kamu punya keluarga, dia udah nggak perduli sama kamu!" sentak Anyelir tanpa memikirkan ucapannya sendiri, "di sini rumah kamu, keluarga kamu! Jordan itu cuma orang asing yang udah bunuh Papa kandung kamu!"

Kepala Lava menggeleng lemah, tangisnya semakin memilukan. Lava sudah terbiasa menerima rasa sakit sepanjang hidupnya, namun, kali ini rasanya jauh lebih sakit. Saat bersama Rahayu, Lava hanya merasa sakit saat tubuhnya terluka, tapi, sekarang Lava merasa hatinya lah yang terluka.

Tidak ada luka ataupun darah, namun, rasanya lebih sakit dari biasanya. Rasa sakit yang Lava sendiri tidak tau berasal dari mana.

"P-Papa ... keluarga Ava c-cuma Papa. Ka-kakak yang orang asing. Kakak cuma teman, sedang Papa keluarga, d-dia yang sayang sama Ava, ta-tapi, Kakak buat Papa pergi ... sekarang A-va sendirian lagi," ungkap Lava sedang suara serak yang bergetar.

Hal itu membuat Anyelir menangis tersedu-sedu. Matanya tak sengaja menangkap figur Sinta di ambang pintu kamar. Perlahan, Anyelir bangkit dan memeluk ibunya dengan erat.

"Kamu nggak siap buat urus Lava, Dek."

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Sinta, tangis Anyelir kian menjadi-jadi. Anyelir merasa dirinya sangat buruk karena tak mampu menjaga anak mendiang kakaknya.

Tubuh gadis itu tampak memegang saat Sinta berbisik, mengelus punggungnya sambil menatap dalam Lava yang masih meringkuk di atas ranjang.

...

Jordan melangkah turun dari tangga rumahnya. Pemuda itu jelas terlihat sangat berbeda dari Jordan yang biasanya hanya memakai kaos dan celana jeans robek-robek. Jordan terlihat lebih rapi, dengan balutan jaket hitam dari brand ternama dan juga jeans polos dengan warna senada.

Rambut hitamnya tertata rapi, wajah tampah yang masih berhias lebam dan luka itu membuatnya terlihat lebih kejam. Tatapan netra sipit itu tampak datar dan dingin, persis seperti Jordan Rajaksa lima tahun yang lalu.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang