Malam sudah cukup larut, orang-orang pasti sudah beristirahat di balik selimut setelah menjalankan hari-hari yang melelahkan.
Sedangkan, Jordan masih melamun di teras rumahnya. Duduk sendiri di lantai tanpa alas apapun, mengapit sebatang rokok yang hanya tersisa setengah di jemari panjangnya.
Pemuda itu sesekali menghembuskan asap rokok seraya mendongak, menatap hamparan langit gelap tanpa hiasan bintang. Jordan benar-benar sendirian, bahkan gemerlap benda di langit juga enggan menemaninya.
Hari-hari Jordan memang berjalan sangat biasa, benih kebahagiaan mulai tertanam dan perlahan tubuh berkat kehadiran sosok Lava, malaikat kecilnya. Namun, itu tidak semerta-merta membuat pikiran Jordan tenang.
Dirinya jelas tidak bisa terus berdiam diri di rumah. Jordan harus bekerja, tapi, siapa yang ingin mempekerjakan seorang mantan narapidana ini?
"Nggak lulus SMA, ijazah SMP nggak ada. Cuma catatan kriminal doang yang numpuk," gumam Jordan pelan sambil menatap gelapnya langit di malam hari.
Karakanl Jordan sangat bodoh karena tidak memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dengan baik dulu. Dia malah menghabiskan tahun demi tahun hanya untuk bersenang-senang tanpa memikirkan masa depan.
"Besok gue tanya Pak Wahid, deh. Kerja apapun yang penting halal," ucap Jordan kemudian menghela nafas panjang.
Sejujurnya, ja mulai merasa sungkan karena terus menerus meminta bantuan kepada pria itu, namun, jika bukan kepada beliau, kepada siapa lagi Jordan harus mengadu akan semua keluh kesahnya?
Jordan menginjak puntung rokok itu dengan kaki telanjangnya. Perlahan pemuda itu berdiri untuk memasuki rumah. Tanpa sadar, Jordan menatap ke arah rumah Anyelir dengan pandangan yang agak berbeda.
Anyelir, gadis itu selalu membuat hatinya merasa mempunyai teman dekat, padahal mereka hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertetangga.
Jordan menggeleng pelan, pemuda itu kemudian memasuki rumah dan langsung menuju kamar. Menyempatkan diri untuk mengganti kaosnya dengan kaos tipis tanpa lengan agar Lava tidak menghirup aroma rokoknya.
Pemuda itu merebahkan diri di pinggir ranjang, berbaring miring hanya untuk menatap wajah bulat yang agak berkeringat itu. Telunjuk kiri Jordan mengusap hidung kecil yang tinggi itu dengan lembut, pria kecil ini sangat manis.
"Papa bahkan nggak tau nama panjang kamu, Nak," bisik Jordan pelan, pemuda itu beralih mengusap dahi Lava yang sedikit berkerut. Mungkin terganggu dengan sentuhan kecilnya.
Kesedihan kembali merasuki perasaannya, memikirkan tentang bagaimana masa depan anak ini nanti? Jordan sudah tidak punya apa-apa untuk menjamin masa depan yang cerah. Bagaimana caranya agar Lava tidak perlu merasa kesulitan dalam hidupnya?
"Papa bakal berusaha, Nak, Papa janji. Sesulit apapun itu, Papa nggak akan nyerah, tapi, tolong ... jangan biarin Papa sendirian," bisik Jordan dengan suara yang agak parau, dirinya memberanikan diri mengecup dahi Lava kemudian menumpuk dagunya di puncak kepala anak itu.
"Papa nggak akan nyerah selagi masih ada Lava di sisi Papa, tolong bantu Papa untuk belajar sama-sama."
Mulai saat ini, tujuan hidupnya hanya Lava. Jika Lava ikut pergi, maka Jordan hanyalah kapal tanpa nahkoda yang perlahan akan tenggelam ke dasar samudera.
Singkatnya, Jordan lebih memilih tiada jika kembali di biarkan sendirian.
...
"Maaf, ya, Pak, saya ngerepotin mulu," ujar Joedan seraya menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba.
Jordan sudah menjelaskan tentang dirinya yang tidak memiliki ijazah SMA dan ijazah sekolah lainnya pun Jordan tinggalkan di rumah orang tuanya. Pemuda itu hanya mengatakan tentang masalah keluarga dan sebagainya tanpa sedikitpun menyinggung mengenai kasus kriminal miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA [END]
Fiksi UmumJordan Rajaksa, seorang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus pembunuhan berhasil bebas setelah lima tahun mendekam di penjara. Jordan merasa tidak ada gunanya lagi saat keluar dari balik jeruji besi ini. Jordan sudah kehilangan semua hal. M...