17. Tangis Bercerita

1K 64 1
                                    

Jordan yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum gemas saat melihat Lava yang tengah asik menjilat es krim cokelat yang ia beli ketika pulang bekerja tadi. Setelah hujan deras kemarin malam, kota ini perlahan mulai di kuasai cuaca panas.

Bahkan malam ini pun udara ikut terasa cukup panas, sangat berbeda seperti malam dingin biasanya.

Mata bulat Lava tanpa sengaja bersinggungan dengan mata sipit Jordan, hal itu di hadiahi senyuman lebar dari anaknya. Jordan terkekeh lucu lalu melanjutkan langkahnya untuk berhenti pakaian.

Tak butuh waktu lama untuk Jordan selesai berpakaian dan langsung ikut mendudukan diri di sebelah sang anak. Tangan besarnya terangkat untuk mengusap lelehan es krim di dagu kecil Lava.

Malam ini Jordan sudah berencana untuk bertanya tentang kehidupan masa lalu Lava. Setidaknya ia harus tau bagaimana Lava di besarkan oleh wanita itu. Apakah uang yang ayahnya berikan benar-benar di gunakan untuk kebutuhan Lava atau malah kebutuhan Rahayu sendiri.

"Nak, Papa mau tanya sesuatu boleh?" tanya Jordan ketika Lava sudah menghabiskan es krim di tangannya.

Mata polos itu berkedip beberapa kali sembari terus menatap netra tajam sang ayah, "Tanya apa?"

Jordan menepuk pahanya sendiri, mengisyaratkan Lava agar pindah duduk di atas pangkuannya. Tanpa ragu anak berusia lima tahun itu duduk di pangkuan Jordan menghadap pemuda itu.

Lava tersenyum ketika sang ayah mengusap rambutnya yang sudah sangat terawat. Jordan ikut tersenyum sembari memandangi figur wajah Lava yang sangat mirip dengan Siera.

"Apa Lava bahagia hidup sama Nenek?"

Dapat di rasakan olehnya tubuh Lava menegang sesaat sebelum anak itu menatapnya dengan takut-takut, "K-kenapa tanya?"

"Papa cuma pengen tau, gimana hidup Lava sebelum sama Papa? Apa bahagia? Lava seneng hidup sama Nenek? Nenek sayang sama Lava, kan?" tanya Jordan pelan, sebisa mungkin menggunakan intonasi paling lembut kepada sang anak.

Lava menunduk dalam, berusaha memproses pertanyaan beruntun yang Jordan berikan. Lava juga tidak tau dirinya harus menjawab seperti apa karena Lava tidak memahami definisi bahagia yang sebenarnya.

Bagi Lava, bahagia adalah ketika dirinya bisa makan, bisa tidur tanpa kedinginan di ruangan sempit itu, atau bisa juga ketika tak ada pukulan yang mampir di tubuhnya.

Namun, saat hidup bersama Jordan, Lava baru mengetahui jika dirinya bisa makan setiap waktu tanpa harus menunggu perutnya berbunyi dan terasa perih. Lava juga baru mengerti jika tidur di atas kasur lebih terasa nyaman daripada tidur beralaskan tikar tipis yang penuh debu.

Lava juga baru tau ternyata usapan dan ciuman terasa lebih baik daripada pukulan dan tamparan.

"Lava?" Jordan mengusap pipi bulat Lava saat air mata anak itu tiba-tiba menetes, "cerita semuanya sama Papa, ya? Papa cuma pengen tau, apa selama ini Lava hidup dengan baik?"

Lava menggeleng dengan sangat pelan, hal itu justru membuat Jordan sebisa mungkin mempertahankan senyum hangatnya.

"Apa hidup de-dengan baik itu seperti hidup Ava setelah sama Papa?" tanya Lava tanpa berani menatap mata Jordan yang masih mengamatinya.

Jordan masih diam, jelas hidup seperti ini masih jauh dari kata yang baik. Helaan nafas terdengar ketika Lava tidak lagi berbicara, "Lava bisa anggap gitu."

"Berarti hidup sama Nenek tidak baik. Nenek enggak suka Ava, dia b-bilang Ava anak sia-lan. Nenek suka kasih pukul pukul Ava sampai berdarah, Nenek juga sering suruh A-va tidur di l-luar," ungkap Lava dengan suara bergetar ketakutan, kedua tangan anak itu mencengkram bagian bawah baju Jordan sampai membuatnya terlihat kusut, "Nenek bi-bilang seharusnya A-va ikut mat---"

Kalimat penuh rasa sakit itu terpotong karena Jordan memeluk tubuh kecil yang berada di pangkuannya. Saat itu juga tangis yang sedari tadi anak itu tahan seketika pecah.

Jordan juga menangis, bagaimana bisa anak sekecil ini menahan tangisnya saat bercerita?

Tubuh kecil itu bergetar kencang, jemarinya menarik pakaian Jordan pelan, "A-va takut, Pa, badan apa sakit sakit, Nenek tidak pernah obati. D-dia biarin Ava kedinginan d-di luar ... hu-hujan deras, ada su-suara kencang. Ava takut...."

Jordan terus mengecup puncak kepala Lava tanpa berniat menghentikan sang anak untuk terus bercerita. Dendamnya kembali tumbuh untuk wanita yang telah melahirkan Siera-nya.

"Papa m-mau kasih Ava sama Nenek lagi?" tanya Lava penuh ketakutan, anak itu menggeleng berkali-kali sembari memeluk tubuh Jordan, "Ava s-selalu jadi anak b-baik, Ava nggak a-kan minta apa-apa, Ava nggak akan b-bikin susah Papa. Jangan b-buang Ava."

"Enggak, sayang. Papa nggak akan biarin Ava kembali sama perempuan itu, selamanya Ava bakal hidup sama Papa, ya?" Jordan menangkup wajah sang anak, mengusap lembut air mata yang membentuk anak sungai itu, "kita berdua, cuma Papa dan Ava. Papa bakal kasih semua bahagia di dunia ini buat Ava sampai Ava lupa sama rasa sakit itu, ya?"

Lava mengangguk cepat, dirinya tidak terlalu mengerti, namun, satu hal yang dirinya pahami adalah Lava akan terus bersama Jordan selamanya.

Jordan mengecup lama dahi Lava kemudian menyatukan dahi keduanya. Pemuda itu masih menangis walau tanpa suara, hatinya terasa sangat sakit.

Dalam hatinya Jordan berjanji suatu saat nanti dirinya harus bisa membuat wanita itu berlutut memohon ampun di bawah kaki anaknya. Entah di usia Lava yang ke berapapun, namun, masa itu akan tiba.

Beberapa menit mereka habiskan untuk saling memeluk, menenangkan dua hati yang merasakan sakit. Perlahan Jordan melepaskan pelukan itu, tersenyum hangat seraya mengelus rambut Lava.

"Ava pernah ke tempat Mama?" Rumah terakhir Siera-nya.

Lava menggeleng, "Ava nggak tau apapun tentang Mama, Nenek bilang, Ava penyebab Mama pergi."

Jordan tersenyum getir, kepergian Siera bukan salah anaknya. Itu adalah kesalahan Jordan karena tidak bisa menjaga Siera-nya dengan baik.

"Mau ke tempat Mama? Papa bawa ke sana, kita jenguk Mama sama-sama, pasti Mama seneng ketemu sama Ava."

Siera sangat mendambakan putranya, walaupun keadaan mereka tak pernah baik, namun, wanitanya itu selalu menanti kehadiran sang buah hati.

Setiap hari Siera akan duduk sendirian di taman dekat rumah itu, mengelus perutnya sembari menatap hangat anak-anak yang berkeliaran di sekitarnya.

Suatu saat nanti anak aku bakal ada di kerumunan itu ... anak aku bakal di terima, kan, Jo?

Jordan akan mewujudkan hal itu, Lava akan selalu di terima di manapun kakinya berpijak, dengan Jordan yang akan terus berdiri di belakangnya.

"Besok Papa bakal ceritain semua tentang Mama."

Jordan akan kembali ke tempat itu, demi Lava.

.

.

.

.

nah, besok adalah ... hehe
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang