35. Kembali Di Tinggalkan

1.2K 123 26
                                    

Lava meringkuk di sofa ruang tamu rumah Anyelir sambil menahan isak tangis. Dirinya menolak keras untuk tidur di kamar Anyelir karena Lava takut jika nanti dirinya tidak mendengar suara Jordan saat pemuda itu menjemputnya untuk pulang.

Hari sudah sangat larut, namun, Lava masih belum bisa memejamkan matanya. Anyelir yang sudah merasa kesal pun meninggalkannya di sini dan menghilang di balik pintu kamar.

Jika itu Jordan maka dia tidak akan meninggalkan Lava sendirian, buktinya dulu di saat Lava belum menerima Jordan, pemuda itu masih memeluknya erat hingga ia tertidur.

Nyatanya, memang tidak ada yang menerima Lava sebaik Jordan menerimanya.

Beberapa kali Lava menoleh kearah pintu, berharap sang ayah segera tiba. Saat mendapati kesunyian tanpa kehadiran Jordan, Lava kembali menangi dalam diam. Seperti yang biasa ia lakukan saat tinggal bersama Rahayu dulu.

Apakah dirinya kembali di tinggalkan?

"Kenapa Papa belum jemput Ava?" gumam Lava dengan suara serak, jelas itu terjadi mengingat dirinya sempat menangis kencang selama hampir dua jam penuh.

Kepalanya pusing, tenggorokannya sakit, tapi, tidak ada yang memperdulikannya. Andai Jordan ada di sini, maka Lava tidak akan merasa kesepian dan kedinginan seperti ini.

"Papa benar-benar tinggalin Ava, ya? Padahal Ava enggak nakal ... kenapa Papa enggak jemput Ava?" Air matanya kembali mengalir, rasa takut kian memenuhi hati dan pikirannya.

Perlahan tubuh mungil yang kedinginan itu turun dari sofa, kaki-kaki kecilnya melangkah menuju pintu rumah. Jemari Lava membuka tirai, memandangi jalanan yang terlihat sangat sepi.

"Papa ... Ava mau pulang. Ava nggak mau di sini, ini bukan rumah Ava...."

Tubuhnya ia sandarkan di balik pintu kemudian menyembunyikan wajahnya di lipatan kaki. Rasanya sesak sekali, bahkan lebih sesak daripada saat dirinya tinggal bersama Rahayu.

"Ava takut, Pa, Ava mau di peluk P-Papa," gumam Lava di sela isak tangisnya yang tertahan.

Andai saja dirinya tidak datang kemari, pasti dirinya masih bersama Jordan sekarang, kan?

...

Jordan berdiri memandangi langit malam dari balkon kamarnya. Mata sipit itu menatap hampa pada kegelapan malam tanpa hiasan bintang di atas sana.

Saya tunggu keputusan kamu besok pagi, Jordan. Masih ada beberapa jam untuk kamu berpikir sebelum matahari terbit. Kamu sudah dewasa, gunakan otakmu sekali ini saja, pikirkan dirimu sendiri, masa depanmu, hidupmu. Anak itu sudah bersama keluarga kandungnya, apa lagi yang kamu khawatirkan?

Netra Jordan kemudian beralih menatap barang-barang yang berada di atas ranjangnya. Ponsel, kartu kredit, bahkan kunci mobil dan motor kepunyaannya dulu sudah Gerald serahkan sebelum pria itu memutuskan untuk turun.

Lauren bahkan meletakan sejumlah uang yang menurut Jordan sangat banyak agar Jordan memilih menetap di sini. Singkatnya, kedua orang tua Jordan berupaya membuatnya menjadi seperti dulu lagi.

Bergelimang harta dengan kekuasaan di mana-mana.

Jordan menghela nafasnya panjang, pemuda itu lalu melangkah masuk menuju ranjang. Mengambil ponsel yang benar-benar sudah lama sekali tidak ia sentuh.

Mata sipit itu kembali berkaca-kaca, semua barang ini tak semerta-merta menghapus pikirannya akan Lava. Jordan tidak lagi memerlukan semua ini, Jordan hanya ingin putranya kembali ke pelukannya.

"Maaf, Nak, maaf Papa belum bisa jemput Ava sekarang. Papa janji bakal jemput Ava secepatnya."

Satu kali kesempatan lagi, Jordan, saya akan menjadikan kamu sebagai Jordan Rajaksa yang punya segalanya seperti dulu.

Jordan memilih bangkit, mengambil kunci motor miliknya kemudian melangkah keluar kamar. Mungkin ini menjadi salah satu kesempatan di mana Jordan bisa mengunjungi tempat-tempat yang ingin ia datangi.

Orang tuanya jelas sudah tertidur, hanya ada Pak Salim ketika Jordan meninggalkan rumah. Dalam perjalanannya, Jordan kembali meneteskan air mata. Pikirannya di penuhi oleh Lava yang berada jauh darinya.

Apakah Lava ketakutan? Apakah Lava masih menangis seperti saat dirinya pergi tadi? Jordan bahkan tidak tau anaknya sudah makan atau belum, dirinya pulang lebih larut dari biasanya, jelas tidak ada makanan di rumah.

Motor hitam itu berhenti tepat di area pemakaman umum. Penerangan yang temaram tak membuat Jordan menghentikan langkahnya menuju sebuah nisan yang baru dua kali ia datangi.

Tubuh Jordan terjatuh begitu saja, berlutut di hadapan nisan sang kekasih. Netra sipit itu menatap kosong nama yang tertera di sana. Perlahan, air mata Jordan kembali menetes, namun, Jordan tidak tau untuk apa air matanya kali ini.

Jelas ucapan Gerald menampar dirinya dengan kuat, seolah menyadari betapa bodoh dan lugu Jordan kala itu. Namun, Jordan benar-benar tidak bisa membohongi hatinya yang sangat mencintai Siera. Cinta yang membuatnya buta akan semua kesalahan Siera.

"Gue harus apa, Ra?"

Di satu sisi orang tuanya bersedia menerima Jordan kembali dengan syarat itu, namun, di sisi lain, seluruh kehidupan Jordan sudah berpusat untuk Lava, putranya.

"Walaupun dia bukan anak kandung gue, tapi, gue masih ayahnya kan, Ra?"

Jordan menangis pilu sembari meremas tanah kuburan milik Siera. Rasanya sesak sekali, bahkan jauh lebih sesak daripada saat dirinya kehilangan Siera dulu. Rasa sesak kali ini bahkan membuat Jordan kesulitan untuk bernafas.

Ucapan Anyelir benar-benar membunuh Jordan detik itu juga, itu lebih terasa karena Jordan kesulitan untuk membela diri. Jordan bukan ayah biologis Lava, itu adalah faktanya.

Mata berembun itu kemudian beralih menatap nisan yang berada di sebelah nisan Siera. Nisan seseorang yang telah menghancurkannya, nisan seorang pemuda yang merupakan ayah dari Lava.

Kebencian itu masih tertanam sangat dalam, namun, setengah dari Lava adalah pemuda ini. Bagaimana Jordan bisa terus menerus menyimpan kebencian ini di saat Lava sudah menjadi pusat dunianya?

Jordan menghapus kasar air matanya, tubuh tinggi itu bangkit sembari menatap nisan Siera dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.

"Mungkin dulu gue emang bodoh, Ra, tapi, gue nggak akan mengulangi kebodohan itu lagi."

Keputusannya sudah terpikir, kali ini Jordan akan memikirkan dirinya. Memikirkan hidup dan masa depannya sendiri.

...

Anyelir melangkah keluar dari kamar dengan keadaan kacau. Mata dan wajah sembab itu menunjukkan betapa lama Anyelir menangis semalam.

"Lava---"

Tubuh Anyelir membeku, ucapannya terhenti tak kala melihat Lava yang meringkuk tepat di depan pintu. Memeluk lututnya sendiri dengan wajah sembab, bahkan dari sini Anyelir bisa melihat jejak air mata yang membekas di wajah manis itu.

Tanpa bisa di cegah, air mata Anyelir kembali terjatuh. Dengan perasaan sedih, Anyelir mendekat. Berlutut tepat di hadapan Lava yang berbaring tanpa alas apapun.

"Lava?" Jemari bergetar Anyelir mengelus rambut Lava dengan sangat pelan, seolah takut untuk membangunkannya, "sayang?"

Tubuh mungil itu menggeliat, sisa isak tangisnya kembali terdengar seolah anak itu menangis dalam tidurnya. Itu justru membuat Anyelir semakin terisak sambil menutup mulutnya.

"P-Papa?"

Suara serak Lava membuat Anyelir terpaku, air matanya kian berlomba-lomba untuk turun. Apalagi Lava mulai menangis tanpa membuka matanya. Anak itu memeluk lututnya sendiri, menangis pelan sembari memanggil sang ayah.

"A-Ava mau pulang ... A-Ava takut se-sendirian. Ava m-mau Papa...."

.

.

.

.

maaf, ya, aku agak lama update nya
kerjaanku lagi numpuk sekali huhu
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang