18. Luapan Kisah

968 70 4
                                    

Jordan tersenyum gemas ketika melihat Lava yang terus berputar-putar di depan cermin. Anak itu mengenakan kaos berkerah berwarna hitam dengan jeans lembut berwarna biru gelap.

Pakaian baru yang Jordan belikan beberapa minggu lalu, dan reaksi yang Lava berikan sangat membuat hatinya menghangat.

"Siap?" tanya Jordan seraya memakai jaket hitamnya, menutupi kaos putih tanpa lengan yang ia pakai. Celana jeans robek-robek berwarna hitam melingkupi kaki jenjang pemuda itu.

Lava melompat-lompat menghampiri Jordan, "Siap, Papa!"

Mereka melangkah ke luar sembari tertawa pelan, di halaman depan sudah terparkir motor milik Bu Nia yang berhasil ia pinjam. Keluarga itu sangat baik dan bermurah hati kepadanya, bahkan tanpa sungkan meminjamkan barang-barang berharga untuk dirinya.

"Kakak," panggil Lava sembari melambaikan tangannya ketika melihat Anyelir yang hendak berangkat bekerja.

Gadis itu menunduk membalas sapaan Lava, "Lava, mau ke mana pagi-pagi udah ganteng aja?"

Lava tersenyum malu, anak itu menunjuk Jordan yang tengah menghidupi motor. Pemuda itu juga tersenyum tampan kearah Anyelir yang masih sedikit menunduk.

"Lava mau ke tempat Mama," ucap Lava penuh semangat, anak itu kembali menunjuk Jordan, "Papa ajak Lava ketemu Mama."

Jordan yang sudah menghampiri mereka menggunakan motor beat berwarna hitam itu lantas terkekeh pelan. Anyelir ikut menatap wajah bahagia itu, agak lucu melihat Jordan yang tinggi menjulang menaiki motor yang terbilang tidak terlalu besar.

Anyelir terpaku, menatap tawa bahagia yang masih mengudara. Jordan sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang akan menghampiri mantan istrinya. Pemuda itu malah terlihat seperti seseorang yang akan mengunjungi orang yang sangat dia cintai.

"Anye, mau bareng? Aku bisa anterin kamu dulu," tawar Jordan sebab arah tujuan mereka berlawanan.

Anyelir menggeleng, menolak halus ajakan itu, "Nggak usah, Jo. Itu kayaknya Lava udah nggak sabar banget."

Jordan menunduk, menatap Lava yang berdiri di bagian depan. Senyum hangat terbit begitu saja membuat rasa tak nyaman kembali memenuhi hati Anyelir.

"Ya udah, kami pergi dulu, ya."

Lava melambaikan tangannya dengan gembira, tertawa lucu ketika merasakan angin pagi menerpa wajah manisnya.

Kota seberang tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam jika menggunakan kendaraan beroda dua. Hanya saja, segala hal yang tersimpan di sana membuat Jordan rasanya enggan untuk cepat-cepat tiba.

Kota kelahirannya, saksi bagaimana Jordan tumbuh dilimpahi kemewahan. Saksi bagaimana Jordan di hancurkan karena keserakahan.

Hangat kota yang dulu menaunginya berganti dingin dari tatapan orang-orang yang menanam benih kebencian untuk dirinya.

Jordan tidak pernah ingin lagi menginjakkan kaki di tempat itu, namun, Siera-nya ada di sana dan Lava pantas tau dimana ibunya.

"Ava baru pertama kali naik motor," ungkap Lava seraya membuka mulutnya lalu tertawa gemas.

Jordan menunduk sebentar sebelum ikut tertawa, "Nanti kita beli satu biar Papa bisa bawa Ava naik motor setiap hari."

"Woah! Mau, Ava mau," balas Lava antusias.

Senyuman Jordan terus menghiasi wajahnya sepanjang perjalanan, setidaknya sebelum mereka masuk di jalanan yang sangat Jordan hapal.

Jordan meneguk ludahnya kasar, netra tajamnya menelisik ke seluruh tempat. Banyak yang berubah selama lima tahun terakhir. Jordan tidak heran, kota ini semakin padat setiap tahunnya.

Suasana ramai kemudian perlahan menjadi sunyi ketika mereka melewati jalanan area pemakaman. Motor Jordan berhenti di parkiran, Jordan ingat sekali. Di sini, Jordan menangis meraung-raung di bawah kaki sang ibu.

Meminta maaf karena telah membuat wanita itu merasa malu.

Jordan menggeleng pelan lalu mengajak Lava untuk turun. Mereka menghampiri penjual bunga yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Kita beli bunga?" tanya Lava sembari mendingak.

Jordan mengangguk singkat, dirinya membeli satu buket bunga mawar berwarna merah pekat dan juga dua plastik bunga tabur.

Langkah kaki mereka perlahan memasuki area pemakaman. Jordan terus menunduk, menatap langkah kakinya sendiri. Tanah-tanah di sini sudah semakin padat, di penuhi orang-orang yang sudah kembali kepada sang pencipta.

Hari itu, Jordan memohon untuk ikut mengantar Siera-nya. Walaupun dengan kedua tangan terborgol, Jordan tetap merasa bahagia bisa melihat Siera untuk terakhir kali.

Dua orang itu berhenti di depan sebuah nisan bertuliskan Siera Maudytira. Ada bunga-bunga layu yang bertaburan di sepanjang makam. Timbul sedikit rasa takut bila tiba-tiba ada seseorang yang mengenalinya berada di sini.

"Ini Mama, namanya Siera."

Siera Maudytira, wanita cantik bertubuh mungil yang Jordan temui di bangku sekolah menengah pertama. Tutur katanya yang lembut, penuh kasih sayang sangat kontras dengan sifatnya yang terbilang cukup polos.

Pemilik senyum termanis yang mampu memikat seorang Jordan Rajaksa, si anak pemberontak dari kelas sebelah.

Jordan berjongkok, mengelus nisan milik kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Bibirnya tersenyum hangat walaupun mata sipitnya jelas berkaca-kaca.

Buket bunga mawar Jordan letakan sambil menggenggam jemari mungil Lava yang terus menatap nisan milik ibunya dengan polos.

"Gue dateng, Ra. Sama anak kita." Jordan mengelus rambut halus Lava sebelum kembali menoleh menatap nama Siera, "namanya Lava."

Jo, nanti kalo anak aku cewek namanya harus cantik kayak aku, tapi, kalo namanya cowok, berarti harus keren kayak ayahnya! Nanti kamu yang kasih nama, ya?

Jordan menatap penuh Lava yang sedang mengusap rerumputan hijau yang memenuhi makam Siera. Lava, nama ini bukan Jordan yang memberikan, jadi, siapa?

"Papa, Mama sayang nggak sama Ava?" tanya Lava sembari menatap polos sang ayah.

Pemuda itu mengangguk cepat, "Sayang banget, orang yang paling Mama sayang di dunia ini adalah Ava."

Lava tersenyum senang, dirinya bergeser untuk memeluk nisan sang ibu, "Ava juga sayang Mama. Dulu, Ava selalu berharap semoga Mama masih ada, supaya bisa di sayang kayak yang lain."

Jordan yang sempat terpaku sedikit terkejut ketika Lava balik memeluk dirinya, "Tapi, Ava sekarang punya Papa. Rasanya udah cukup karena Ava tau Mama juga sayang sama Ava."

Kalimat yang begitu rapi membuat hati Jordan tersentuh. Dirinya memberikan kecupan hangat di dahi sang anak kemudian meminta Lava untuk kembali menghadap makam Siera.

"Ayo kita taburin bunga buat Mama," ajak Jordan seraya membuka salah satu plastik bunga.

Lava mengangguk setuju, "Dua-duanya buat Mama, Pa?"

Jordan seketika meremas kelopak bunga yang sudah berada di genggamannya. Perasaan pemuda itu sedikit bergemuruh sembari menatap tajam nisan yang sedari tadi luput dari perhatiannya.

"Bukan."

Dalam hatinya yang kembali di penuhi rasa marah, Jordan mengeja nama yang tertulis di sana. Sebuah nama yang tidak Jordan sangka akan menjadi malapetaka bagi dirinya.

Alendra Leonorya.

.

.

.

.

ini mau double up, tapi, nanti malem, sih
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang