11. Masih Ragu

11.7K 787 10
                                        

"Lava, jangan lupa makan lagi, ya? Kalo mau main ke luar jangan jauh-jauh dan pintunya jangan lupa di kunci," ucap Jordan seraya memasang sepatu bututnya yang sudah mulai terasa sempit.

Di depan sana, Pak Wahid sudah menunggu, pria itu bersikeras untuk mengantarkan Jordan. Katanya, tujuan kita searah, mending ongkosnya kamu pake buat pulang nanti. Lebih hemat.

Jordan bisa apa selain menurut? Pria itu pemaksa, lagipula yang di katakan Pak Wahid ada benarnya juga.

"Papa pergi." Pemuda itu menyempatkan diri untuk mengacak-acak rambut halus Lava sebelum melambaikan tangannya.

Anak itu membalas lambaian tangan Jordan sebentar, menatap polos punggung Jordan yang sudah menjauh bersama motor Pak Wahid.

Pintu ia tutup dengan pelan lalu melangkah menuju dapur, perutnya mulai terasa lapar. Jordan bilang makanan ini untuknya, kan?

Kemarin, Lava benar-benar melupakan makannya, ia terbiasa menahan lapar sejak dulu. Lava tidak pernah makan kecuali sudah di beri izin, jadi, ketika ada seseorang yang membiarkannya makan sesuka hati, Lava agak tidak percaya.

Tubuh kecilnya duduk di lantai dapur, menatap sepiring nasi dengan lauk paha ayam yang melengkapinya. Seumur hidupnya, Lava hanya pernah makan ayam satu kali. Itupun di beri secara diam-diam oleh tetangganya dan saat Rahayu tau, wanita itu marah besar lalu memukulnya habis-habisan.

Sejak saat itu, tidak ada lagi tetangga yang berusaha mendekatinya. Tidak satu orangpun yang pernah mengulurkan tangan kepada Lava.

"Ava bisa makan semuanya ... makanan baru, bukan bekas orang lain," gumam Lava pelan, matanya selalu berkaca-kaca setiap memakan sesuatu.

Tidak pernah terbayangkan di benaknya akan ada hari di mana Lava bisa makan sepuasnya. Lava tidak pernah punya impian, neneknya bilang, satu-satunya hal yang seharusnya Lava impikan adalah menyusul sang ibu.

"Ma, Ava bener-bener punya a-yah?"

Lava tidak punya ayah, tidak pula punya ibu. Tidak pantas hidup dan tidak boleh punya teman. Itu adalah hal-hal yang selalu Lava dengar setiap harinya, jadi, apa dia pantas memiliki seorang ayah?

Rumah kecil ini sangat hangat, berbeda dengan rumah neneknya yang cukup besar namun di penuhi dengan rasa sakit. Apa Lava benar-benar pantas mendapatkan semua ini?

Lava memakan makanannya sembari beberapa kali mengusap air matanya sendiri. Lava merasa tidak pantas, ia sudah berpikiran buruk tentang Jordan sejak hari pertama bertemu. Bahkan sebelum mereka bertemu, Rahayu sudah menanamkan akar kebencian di kepalanya untuk pemuda itu.

Namun, bagaimana Lava bisa membenci Jordan di saat pemuda itu selalu mencurahkan kasih sayang yang bahkan tidak pernah Lava rasakan selama ini.

"Ava jahat, ya?"

...

Sudah hampir pukul empat sore, Anyelir mulai bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Gadis itu tersenyum kepada pemuda yang akan menggantikannya, "Duluan, ya."

Pemuda itu mengangguk seraya melambaikan tangan, matanya mengikuti punggung Anyelir yang menghilang di balik rak cemilan. Kegiatan baru, setiap pulang kerja, gadis itu pasti membeli sesuatu untuk di bawa pulang.

Anyelir berjalan sembari memilih cemilan apa yang harus ia beli, pilihannya lalu jatuh kearah susu kotak rasa strawberry.

"Lava suka nggak, ya?"

Gadis itu tersenyum tipis sembari mengambil beberapa kotak susu. Langkah riangnya berjalan menuju kasir, bahkan sampai di luar toko pun Anyelir masih tak kehilangan senyum cantiknya.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang