Seorang wanita terlihat sedang terisak pelan sembari memeluk sebuah jaket kulit berwarna hitam. Wanita itu duduk di pinggiran ranjang tanpa berniat menjauhkan jaket di pelukannya.
"Lauren, cukup."
Wanita yang bernama Lauren itu mengabaikan permintaan dari pria yang sedari tadi berdiri di hadapannya. Memasang wajah datar tidak perduli, namun, pria inilah yang juga berlarian keluar dari pusat perbelanjaan saat mendengar hal yang ia ucapkan.
"Aku kangen anakku, Mas. Aku ... belum sempat minta maaf," bisik Lauren di sela isak tangisnya.
Lima tahun yang lalu, dalam amarahnya Lauren memutuskan hubungan dengan anak semata wayangnya. Kekecewaan teramat besar memenuhi rongga dada Lauren, membuat seluruh ucapannya tidak lagi terkontrol.
Gerald, suami Lauren hanya mampu menatap sang istri tanpa banyak ekspresi. Selama lima tahun terakhir, hidup keduanya jelas berubah drastis. Rumah besar yang biasanya di penuhi oleh keusilan putranya seketika sepi di gantikan isak tangis kekecewaan.
"Untuk apa minta maaf? Terakhir kali aku ketemu, dia bahkan masih tidak mau mengakui perbuatannya," ucap Gerald sembari berjongkok, meraih jemari sang istri yang masih mencengkram jaket sang putra.
Lauren menggeleng pelan, "Apapun itu aku nyesel udah bilang kayak gitu sama anakku, harusnya aku merangkul dia, Mas, bukan malah menghakimi dia kayak yang lain."
Kamar yang dulu di tempati oleh anak mereka kembali di isi suara tangis menyedihkan dari Lauren. Wanita itu balik membalas genggaman Gerald dengan tak kalah erat.
"Seandainya waktu itu aku masih rangkul Jo, pasti rumah kita nggak akan sesepi ini. Aku nggak akan jadi ibu yang kesepian kayak gini, Mas, bahkan mungkin rumah kita bakal tambah ramai sama bayi itu," bisik Lauren sambil terus menatap Gerald yang masih minim ekspresi.
Gerald mengalihkan pandangannya, berusaha menepis ingatan mengenai sosok pemuda tinggi yang tadi menggenggam tangan kecil dengan sangat erat. Dia melihatnya, namun, Gerald tidak bisa mengenali Jordan dalam jarak yang cukup jauh.
Pikirannya kemudian berpusat pada sosok anak kecil yang bersama Jordan. Bayi kecil itu ... Lava.
"Siapa namanya?"
Gerald menoleh kearah Rahayu yang sedang menggendong anak kecil yang baru di perbolehkan untuk keluar dari rumah sakit hari ini.
"Jendral Azkalava," jawab Gerald seraya mengalihkan pandangan pada sosok kecil yang selama seminggu ini berada di bawah pengawasannya, "saya yang akan bertanggung jawab atas biaya dan sebagainya. Kamu, tolong urus dia dengan baik."
Rahayu menerima sebuah rekening dan juga beberapa perlengkapan bayi yang pria itu berikan. Matanya memancarkan kesedihan yang tak tersampaikan.
"Aku urus dia karena separuh dari anak ini adalah Siera."
Gerald menggelengkan kepalanya ketika ingatan itu kembali berputar seperti kaset kusut. Dirinya mengelus punggung tangan Lauren dengan ibu jarinya.
"Itu memang pantas dia dapatkan setelah dia membuat nama keluarga tercoreng. Jangan menangis seolah semuanya salah kamu Lauren."
Pria itu berdiri kemudian membenarkan jas miliknya yang agak berantakan, "Tidak seharusnya anak dari keluarga terpandang menjadi seorang kriminal. Jika itu terjadi, maka dia nggak lebih dari aib keluarga."
Lauren kembali menangis saat melihat suaminya memilih untuk keluar. Wanita itu benar-benar tidak perduli dengan apapun yang suaminya katakan, dirinya hanya ingin Jordan kembali.
Hatinya sakit ketika mengingat Jordan yang tadi memilih untuk pergi daripada memeluknya. Padahal sudah lima tahun mereka tidak bertemu. Apa Jordan benar-benar membencinya sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA [END]
Ficção GeralJordan Rajaksa, seorang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus pembunuhan berhasil bebas setelah lima tahun mendekam di penjara. Jordan merasa tidak ada gunanya lagi saat keluar dari balik jeruji besi ini. Jordan sudah kehilangan semua hal. M...