24. Hanya Punya Satu Sama Lain

1K 73 5
                                    

Jordan hanya duduk terdiam di ruang tamu sejak kepergian kedua orang tuanya. Pemuda itu meletakan belanjaan mereka secara asal di depan pintu, bahkan dirinya sama sekali tidak mencari keberadaan Lava yang tidak terlihat di manapun.

Mungkin anak itu bersembunyi di dalam kamar setelah Jordan membentaknya tadi siang. Sekarang, matahari sudah terbenam dan Jordan tetap membiarkan lampu rumah mereka padam.

Dirinya jelas ingat betapa ringannya bibir mungil Lava menyebut kata 'nenek' ketika melihat Lauren, Jordan juga tidak lupa atas perkataan Gerald yang mengatakan bahwa Lauren sering berkunjung kemari secara diam-diam.

Bukankah itu artinya banyak hari yang sudah Jordan lewati dengan kebohongan ini? Bahkan Lava benar-benar tidak memberitahunya akan hal ini.

Jordan terkekeh miris sangat kontras dengan air matanya yang kembali mengalir. Dirinya masih tidak bisa melupakan rasa sakit yang di sebabkan oleh dua orang itu.

Jordan kira dirinya sangat merindukan Lauren ketika dia menangis kala itu, ternyata Jordan salah. Dirinya menangis karena rasa sakit yang belum sembuh, rasa sakit karena di buang oleh seseorang yang paling Jordan cintai.

Isak tangis tertahan terdengar, pemuda itu lantas menutup mata dengan jemarinya sendiri. Siapa bilang laki-laki tidak boleh menangis?

"Seharusnya mereka biarin gue mati di penjara, gue nggak pernah minta mereka buat bebasin gue ... gue juga nggak pernah minta mereka bela ataupun membenarkan semua yang gue lakuin, gue cuma minta di dukung," bisik Jordan dengan badan yang membungkuk, bahu lebar pemuda itu bergetar kencang karena isak tangisnya.

Itu adalah kebenaran, Jordan tidak pernah meminta pembelaan atas tindakannya. Jordan juga tidak meminta siapapun untuk meringankan hukuman yang di berikan. Lantas apa penyebab Gerald tiba-tiba membebaskannya?

"Kenapa mereka harus balik setelah gue kehilangan semuanya?"

Bukan hanya mereka yang merasa kecewa, Jordan juga merasakan kekecewaan yang sangat dalam sedari dulu, sendirian, tanpa memberitahu siapapun.

Namun, pernahkah Jordan mengeluh? Jawabannya adalah tidak, bahkan ketika Siera mengkhianatinya, Jordan tidak pernah marah.

Aku hamil, Jo. Maafin aku, aku udah ngecewain kamu.

Jordan semakin terisak kencang, ketahuilah rasa sakit itu tidak akan pernah sembuh, tapi, Jordan tidak merasa keberatan sama sekali. Sekalipun itu bukan darah dagingnya sendiri.

Jordan lah satu-satunya orang yang merawat wanita itu selama ini, mencintainya tanpa cela, memberikan semua hal yang Siera inginkan. Pernahkah Jordan merasa dirinya hanya di manfaatkan? Tidak. Jordan tau betapa besar Siera mencintainya, dulu.

Lava, Jordan mencintai anak itu sama seperti Jordan mencintai Siera-nya.

Lalu sekarang mereka datang, bersikap seolah Jordan adalah seseorang yang paling hina. Bukan hanya kedua orang tuanya, Rahayu juga menganggap Jordan seperti itu. Jordan tidak pernah lupa berapa banyak sumpah serapah yang wanita itu layangkan kepadanya sedari dulu.

"Dia nggak mau tanggung jawab, Jo. Aku sendirian."

Jordan tersenyum tipis, "Ada aku, kan?"

"Papa?"

Tangis Jordan berhenti sesaat sebelum dirinya mengangkat pandangan, menatap Lava yang sudah berdiri di atas meja setelah menghidupkan lampu. Jordan bahkan tidak sadar lampu sudah menyala terang.

Dapat Jordan lihat wajah Lava yang agak sembab, tapi, entah kenapa egonya membuat Jordan enggan untuk perduli. Pemuda itu hanya menatap datar Lava yang masih mematung.

"Kenapa?"

Perlahan Lava turun, berjalan pelan mendekati sang ayah, "Papa nang---"

"Kenapa lo nggak bilang kalo ada orang asing yang datang ke rumah?" tanya Jordan dengan intonasi suara yang sangat datar.

Tubuh Lava membeku, matanya dengan mudah berkaca-kaca saat mendengar kosa kata yang tidak pernah Jordan layangkan kepadanya.

"A-va, Ava cu-cuma---"

"Cuma apa? Apa gue nggak cukup sampe lo harus terima orang asing masuk ke rumah ini?! Apa kasih sayang gue nggak cukup sampe lo harus ngemis itu dari orang asing?! JAWAB LAVA!" sentak Jordan seraya memukul meja dengan kencang.

Matanya memerah akibat tangisnya yang belum usai, bahkan air matanya juga masih mengalir saat Jordan membentak Lava yang sudah menangis.

"M-maaf, Ava, Ava minta maaf, Pa-Papa sudah cukup buat A-Ava, Ava n-nggak butuh orang lain, Ava cuma m-mau Papa ... Ava minta maaf," ucap Lava sembari menundukkan kepalanya, kedua tangan anak itu meremas kuat ujung bajunya sendiri. Merasa sangat ketakutan dengan kemarahan sang ayah.

Sungguh, jika Lava tau ini akan terjadi, Lava akan memberitahu Jordan sejak hari pertama.

Jordan kembali menangis dalam diam, merasa bersalah karena melampiaskan amarahnya kepada makhluk polos ini. Pemuda itu memilih bangkit kemudian berlutut di hadapan sang anak.

"Maafin Papa."

Pelukan erat Lava berikan kepada Jordan, anak itu menangis sejadi-jadinya. Yang di peluk juga menangis, balas merengkuh tubuh mungil itu tak kalah erat.

"Maafin Papa, Nak, Papa udah bentak Ava," bisik Jordan sembari mengelus punggung sempit yang bergetar.

Lava menggeleng di tengkuk Jordan, "A-va salah, Ava cuma mau Papa, A-Ava nggak butuh yang lain, maaf, Papa."

Jordan mengangguk cepat, enggan membuat sang anak lebih merasa bersalah. Pemuda itu melepaskan pelukan, tersenyum tipis seraya menghapus air mata di pipi tembam sang anak.

Dirinya tertawa pelan saat tangan-tangan kecil itu ikut mengusap pipinya dengan lembut. Jordan mengecup jemari itu penuh kasih sayang, bagaimana bisa dirinya tadi melampiaskan rasa marah kepada Lava yang bahkan tidak mengerti apapun?

"Mereka orang jahat."

Dalam hatinya Jordan meminta maaf, namun, Jordan benar-benar tidak ingin mereka kembali terseret dalam kehidupannya. Mulai sekarang, Jordan hanya memiliki Lava, dan itu sudah lebih dari cukup.

"Iya," balas Lava sembari kembali memeluk Jordan kencang.

"Jangan buka pintu kalo mereka datang, mereka yang bikin Papa nangis kayak sekarang," bisik Jordan dengan suara bergetar.

Lava lagi-lagi mengangguk pasti, "Ava nggak suka sama orang yang bikin Papa sedih."

"Kalo ada siapapun yang datang, tolong kasih tau Papa. Papa cuma punya Ava, kalo Ava lebih milih orang lain, Papa nggak bisa hidup lagi."

Tangis Lava kembali pecah, kepalanya menggeleng berkali-kali, tidak setuju dengan ucapan Jordan.

"Papa harus hidup, A-Ava cuma mau Papa, jangan pergi," ucap Lava lirih. Dirinya benar-benar hanya membutuhkan Jordan di dunia ini, Lava tidak perduli kepada yang lain.

Jordan memeluk Lava jauh lebih erat, menahan isak tangisnya yang hendak kembali pecah. Dalam hidupnya, kehadiran Lava adalah hal yang benar-benar Jordan syukuri.

Siera pergi lalu menitipkan malaikat kecil ini kepadanya, sebuah keberuntungan besar dalam hidupnya.

"Jangan marah, Ava cuma punya Papa."

"Maafin Papa, Nak, Papa sayang sama Ava, sayang banget. Tolong jangan tinggalin Papa, Papa mohon. Papa bener-bener cuma punya Ava di hidup Papa."

.

.

.

.

nihh, maaf ya, jika tidak sesuai harapan kalian:(
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang