12. Ketakutan Lava

1.1K 72 12
                                    

Hari terakhir dalam minggu pertama berkerja. Rasanya Jordan tidak sabar untuk pulang agar bisa tidur lebih lama sampai besok pagi.

Pendingin ruangan di tempat ini benar-benar tidak mengurangi rasa panas akibat cuaca yang sangat terik di luar sana. Apalagi Jordan sedang bertugas di dapur untuk bagian mencuci piring, dekat dengan para koki memasak hidangan.

Berkali-kali Jordan memercikkan air ke wajahnya hanya untuk mengurangi rasa panas. Sudah hampir seminggu bekerja, Jordan sama sekali belum memiliki teman.

Jordan tidak terlalu perduli, dia juga tidak mau berteman dengan orang-orang itu. Jordan hanya ingin bekerja, selagi pekerjaannya masih berjalan dengan lancar, tak masalah jika tidak memiliki teman di sini.

Pemuda itu mengelap tangannya yang basah ketika sudah tiba waktunya untuk makan siang. Jordan memilih untuk melimpir menuju toilet sebentar.

"Lemah banget lo, sialan," bisik Jordan saat sudah masuk ke salah satu bilik toilet.

Jemarinya terangkat untuk memijat pelan kepalanya yang mulai berdenyut nyeri. Pemuda itu meringis tertahan saat perutnya ikut terasa sakit, pola makannya tidak pernah terjaga lagi.

"Jangan sakit, lo harus kuat, Jo."

Jika Jordan sampai sakit lalu siapa yang akan mengurus Lava? Siapa yang akan menyiapkan makanan untuk anaknya itu?

Jordan menggeleng pasti, "Lo nggak boleh sakit sedikitpun, Jo."

Setelah itu, Jordan keluar, berjalan menuju dapur untuk mengambil jatah makan siang miliknya. Para rekan kerjanya sudah duduk menikmati makan siang, namun, selalu menyempatkan diri untuk sekedar berdecih sinis saat Jordan melewati mereka.

"Jadi nggak nyaman banget kerja semenjak ada preman sok iya di sini," celetuk seorang pria yang sepertinya mengibarkan bendera permusuhan abadi kepada Jordan.

Seorang gadis yang kebetulan duduk di sebelah pria itu lantas memukul punggung temannya agak kencang, "Udahlah, Harsa. Nggak usah gangguin orang lain."

Jordan tidak mengindahkan pertengkaran tidak berguna itu, dirinya terus melangkah mengambil piring, namun, langsung terhenti ketika sebuah cangkir plastik mendarat di kepalanya.

Perilaku seperti ini kadang membuat Jordan memilih untuk melewatkan makan siangnya. Jordan tidak takut, Jordan hanya tidak ingin emosinya meledak dan berdampak pada pekerjaannya. Itu saja.

Pemuda itu menoleh kebelakang, menatap tajam sosok Harsa yang sedang tersenyum sinis, "Nggak usah sok asik."

Setelahnya Jordan kembali berkutat dengan makanan, setidaknya untuk kali ini ia perlu tenaga agar bisa melanjutkan pekerjaan yang sebenarnya santai tetapi penuh tekanan dari rekan kerjanya yang sangat menganggu itu.

Harsa yang merasa di abaikan lantas mengepalkan tangan, pemuda di hadapannya sungguh merasa tinggi karena berhasil masuk ke sini tanpa kesulitan sedikitpun.

...

Hujan deras mengguyur dengan tiba-tiba.

Lava yang sedang melakukan rutinitasnya---duduk di teras menunggu kepulangan Jordan---lantas berlari masuk ke dalam rumah saat hujan turun.

Anak laki-laki itu tidak benar-benar masuk, dirinya bertahan tepat di ambang pintu. Menatap kearah jalanan, menunggu kehadiran sang ayah yang tak kunjung tiba.

Kilatan tajam di susul suara gemuruh yang kuat membuat tubuh mungilnya tersentak kaget. Sontak memilih mundur seraya menutup kedua telinga menggunakan tangan-tangan mungilnya.

Jder!

"Akh!"

Lava meringkuk tepat di bawah meja sembari terus menutup telinganya. Dia ketakutan, ingatan samar membawanya pada waktu Rahayu membiarkannya berada di bawah guyuran hujan semalaman.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang