7. Menjadi Lebih Dekat

1.3K 78 12
                                    

Suasana minggu pagi yang cerah menyambut penglihatan Jordan. Pemuda itu mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menoleh ke samping. Mata sipitnya langsung melotot terkejut saat menemukan kekosongan di sana.

"Lava?"

Katakanlah Jordan panik secara berlebihan karena dirinya langsung melompat keluar dengan wajah penuh kekhawatiran. Takut jika anak itu tiba-tiba kabur dari rumah mereka.

"Lava ngapain, hey?!" tanya Jordan dengan nada suara yang cukup tinggi karena mur i terkejut melihat Lava yang naik di atas sandaran sofa.

Jangan lupakan ember kecil bersisi setengah air di lantai dengan ceceran air yang menggenang dari depan kamar mandi hingga tempat bocah itu meletakan ember.

Jordan sempat terperangah tak berdaya, tentu saja rasa kesal mulai berkumpul di hatinya, namun, perhatiannya teralih saat mendapati tubuh Lava yang bergetar pelan.

Perlahan dirinya sadar jika Lava selalu terkejut dan gemetar saat Jordan tiba-tiba menegur anak itu ketika dia sedang melakukan sesuatu.

Lava meremas kain lap basah di tangannya dengan kepala menunduk enggan menatap kearah Jordan yang berusaha menekan rasa kesalnya.

Jordan melangkah mendekat, mengabaikan lantai rumah yang sudah becek Pemuda itu menunduk menatap Lava yang sekarang setinggi dada bidangnya.

"La---"

"M-maaf, ja-ngan pukul," ucap Lava lirih, dirinya masih menunduk dengan tubuh yang semakin gemetar.

Jordan mengepalkan jemarinya, ketakutan itu jelas semakin memupuk kebencian di hati Jordan untuk siapa saja yang sudah menyebabkan Lava menjadi seperti ini.

Pemuda itu dengan lembut mengambil kain basah milik Lava, meletakan benda ktu di dalam ember kemudian menggendong putranya untuk turun dari atas sofa.

Lava yang di dudukan di atas sofa perlahan mengangkat pandangan, menatap takut kearah Jordan yang duduk di lantai menghadap dirinya.

"Papa nggak marah, Papa cuma kaget, Lava ngapain?" tanya Jordan dengan intonasi yang sangat lembut, enggan membuat anaknya ini kembali ketakutan seperti tadi.

Lava menunduk, menatap jemari basahnya yang berada di genggaman besar Jordan, "Kacanya kotor."

"Jadi Lava mau bersihin supaya nggak kotor?" tanya Jordan yang langsung di angguki oleh laki-laki kecil ini.

Hal itu membuat Jordan tersenyum lembut, jemarinya beralih untuk mengelus rambut Lava yang mulai halus, tidak lepek seperti pertama kali mereka bertemu.

"Ya udah, kita bersihin sama-sama, ya?"

Lava sedikit terkejut, mata bulat anak itu menatap Jordan seolah yang pemuda itu katakan baru pertama kali ia dengar. Pasalnya Lava melakukan ini agar dirinya tidak menjadi beban yang hanya menumpang hidup, setidaknya itu yang dulu orang-orang katakan.

Lava harus membalas budi orang-orang yang sudah mengurusnya, namun, di saat dia berusaha membantu, yang di dapat olehnya adalah pukulan dan tamparan.

Membersihkan bersama? Apakah itu pantas di lakukan? Lava baru tau tentang semua ini.

Jordan menatap genangan air di belakangnya, rasa kesal yang tadi sempat terkumpul hilang begitu saja, "Lava lanjut aja, Papa mau cuci muka trus ngepel lantai."

Pemuda itu berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi, langkahnya terhenti saat lupa jika mereka bahkan tidak memiliki pel lantai. Sapu saja di berikan oleh Pak Wahid waktu itu.

Jordan menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, "Masa pinjem Pak Wahid lagi, sih?"

Sudah beberapa hari berlalu, tapi, Jordan masih asing dengan semua ini. Tiba-tiba menjadi pria yang mengurus rumah, dan memasak. Jordan yang sama sekali tidak pandai memasak jelas hanya bisa memberikan Lava lauk yang selalu di goreng. Simple dan tidak terlalu enak, yang penting matang.

Lava memperhatikan Jordan yang malah melamun di depan pintu kamar mandi, perlahan tubuh mungilnya turun untuk mengambil kain lap lalu kembali menaiki sandaran sofa.

Yang Lava lakukan benar-benar mengelap kaca agar bersih dan sama sekali tidak memperhatikan lantai yang kotor atau bahkan sofa yang basah karena tetesan air dari kain lap miliknya.

Sepuluh menit berlalu, Jordan akhirnya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Pemuda itu menggeleng pasrah melihat Lava yang sudah berpindah ke kaca sebelah. Tentu saja tetesan itu pindah ke sofa yang Lava naiki.

Sudahlah, mungkin dirinya juga harus menjemur sofa itu nanti.

Jordan melangkah keluar, berniat meminjam pel lantai kepada Pak Wahid. Saat sampai di luar rumah, mata pemuda itu tanpa sengaja menangkap sosok teman baru yang tinggal tepat di sebelah rumahnya.

"Pagi Anyelir."

Rumah mereka hanya di batasi pagar rumah Anyelir. Rumah gadis itu juga sedikit lebih besar dari milik Jordan, namun, masih tampak sangat sederhana.

"O-oh hai, pagi juga," balas Anyelir kikuk, dirinya yang baru saja ingin pergi membeli sayur lantas berdiri canggung.

Tentu saja karena yang mengajaknya bicara ini adalah suami orang. Anyelir agak tak nyaman berbicara, takut istri dari Jordan malah salah paham kepadanya.

Jordan tersenyum, "Mau kemana? Nggak kerja?"

Pasalnya gadis itu masih memakai baju tidur dengan rambut yang di ikat asal. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi kecantikan yang dimilikinya.

"Shift siang, eh, istri kamu mana? Siapa tau mau bareng beli sayuran, aku mau ke sana soalnya," ucap Anyelir sekaligus ingin mengingat jika pemuda di hadapannya ini sudah menikah.

Jordan sempat memasang wajah terkejut sebelum terkekeh pelan, baru ingat jika waktu itu dirinya mengatakan jika tinggal bersama anaknya.

"Single parents."

Ada perasaan geli saat Jordan mengatakan dua kata itu, bagaimana tidak? Menikah saja Jordan belum pernah, lalu saat keluar dari penjara tiba-tiba menjadi orang tua tunggal.

Anyelir semakin tak enak hati mendengar hal itu, dirinya semakin tersenyum canggung, "Maaf, maaf."

"Santai, ngomong-ngomong punya pel lantai?" tanya Jordan yang tiba-tiba ingat tujuannya untuk keluar tadi.

Anyelir mengangguk lalu dengan cepat kembali memasuki rumahnya. Mengambil pel lantai untuk di berikan kepada Jordan padahal pemuda itu belum mengatakan ingin meminjam barang itu.

Jordan tertawa saat Anyelir memberikan pel dengan wajah yang menurutnya lucu, "Pinjem dulu, ya."

Setelahnya Jordan memasuki rumah, enggan berlama-lama melihat tingkah manis tetangganya itu. Saat tiba di dalam, ia mendapati Lava yang sudah turun dari sandaran sofa. Hanya berdiri menatap ke sekeliling rumah.

"Udah selesai, Va?" tanya Jordan yang mulai mengepel lantai. Entah benar atau tidak, namun, ia pernah melihat jika gerakan mengepel lantai mundur seperti ini.

Lava mengangguk pelan, masih tersisa rasa takut di hatinya walaupun hanya sedikit, "Y-yang di kamar?"

"Bersih kok," jawab Jordan cepat, tidak ingin jika genangan ini ikut memasuki kamar mereka, "gimana kalo Lava bersihin kaca luarnya? Nanti Papa juga mau jemur sofa."

Lava mengangguk semangat dan hal itu di sadari oleh Jordan. Anak ini gemar melakukan banyak kegiatan, agaknya Lava bukan anak yang hanya suka berdiam diri saja.

Jordan tersenyum, mereka semakin dekat. Bukankah itu hal yang sangat baik? Hanya tinggal menunggu Lava memanggilnya dengan sebutan Papa.

Gue Ayah yang baikkan, Siera?

.

.

.

.

gemas sekali papa muda ini
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang