Hujan kembali mengguyur kota malam ini. Menambah udara dingin hingga terasa sampai menusuk ke tulang. Malam yang gelap sedikit bercahaya manakala kilat ikut menyambar bumi.
Jordan duduk di atas ranjang sambil memangku Lava yang sedari tadi terus mencengkram pakaian yang ia kenakan. Anak itu sama sekali tak mau melepaskan cengkeramannya barang sedetikpun.
"Tidur, Nak. Papa di sini, nggak akan ke mana-mana," ujar Jordan sembari mengelus punggung kecil yang dirasa sedikit bergetar itu.
Lava menggeleng kaku, tetap menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang ayah. Lava benci hujan, hujan selalu berhasil membuatnya ketakutan dan tidak berdaya.
"Nggak suka...."
Jordan menunduk ketika mendengar suara halus itu, "Nggak suka apa?"
Dirinya belum mengetahui sedikitpun bagaimana kehidupan Lava saat bersama Rahayu. Jordan sama sekali tidak mengerti apa yang menjadi penyebab Lava selalu ketakutan setiap hujan turun.
Jordan juga tidak tau bagaimana luka-luka lebam yang pernah ia lihat dulu bisa berada di tubuh kecil ini. Lava tidak pernah bercerita dan Jordan takut untuk sekedar bertanya.
"Hu-jan."
"Ava takut hujan?" Anggukan pelan menjadi jawaban dari pertanyaan Jordan, pemuda itu lalu menunduk mengecup puncak kepala anaknya, "kenapa takut?"
"Berisik, s-sakit ... Ava takut se-sendirian," racau Lava sembari mengeratkan cengkraman di baju Jordan, "d-dingin, Ava kedinginan."
Secepat kilat Jordan menyelimuti tubuh mereka, hal itu justru membuat Lava dengan tiba-tiba menangis kencang.
"Sayang, kenapa? Hm?" Jordan melepaskan pelukan anak itu dengan agak paksa demi bisa melihat wajah penuh air mata itu.
Netra bulat yang biasanya selalu menatap polos sekarang seakan penuh luka yang seharusnya tidak di tunjukkan oleh anak seusia Lava.
"Sakit, badan Ava sakit, Pa ... semuanya berdarah, A-va sendirian, hujan, gelap, Ava ta-takut," ungkap Lava dengan kalimat berantakannya, anak itu masih menangis histeris sampai urat-urat tipis di lehernya terlihat.
Jordan kembali memeluk erat tubuh bergetar itu, mengecup pelipis Laba berkali-kali hanya demi memberi afeksi yang menenangkan.
Hatinya lagi-lagi kembali di remas kuat, Jordan merasa sangat tidak berguna karena tidak bisa melakukan apapun untuk hidup Lava saat ini.
"Jangan nangis, sayang, sekarang ada Papa, kan? Papa nggak akan biarin Ava sakit lagi, nggak akan ada darah lagi, ya? Papa mohon jangan gini, Papa takut, nak," ucap Jordan dengan suara bergetar. Demi apapun dirinya merasa sangat ketakutan melihat Lava yang terus menangis tanpa henti seperti ini.
Lava masih menangis tanpa membalas pelukan Jordan sedikitpun. Ingatan ingatan buruk dari hidupnya kembali mengusik ketenangan Lava lalu dengan perilaku yang sangat berbanding terbalik dari Jordan entah kenapa ikut membuatnya ketakutan.
"Ava, denger Papa, kan?" tanya Jordan pelan, mata pemuda itu ikut berkaca-kaca karena tidak mendapatkan respon.
Tubuhnya ia bawa untuk berdiri, masih dengan selimut yang melingkupi tubuh bergetar Lava. Jordan sebisa mungkin mengayunkan tubuhnya seperti yang pernah ia lihat dulu ketika ada wanita yang menenangkan sang anak.
"Ava?"
Tangisan Lava tidak lagi histeris, namun, itu tergantikan dengan isak tangis menyesakkan. Lava terdengar sangat kesulitan untuk bernafas di sela tangisnya yang sekarang.
"K-kenapa harus ma-ti?"
Gerakan pelan Jordan seketika berhenti, tanpa bisa di cegah air matanya menetes. Jordan menunduk menatap wajah sembab Lava yang matanya sudah tertutup walaupun isak tangisnya belum berhenti.
"Ken-napa Ava? Y-yang sendirian i-tu Ava, kenapa yang mati j-juga ha-rus A-va?"
Jordan menggeleng cepat sembari mengecup dahi Lava berkali-kali, "Enggak, sayang, Ava nggak boleh ngomong kayak gitu, Nak. Kalo Ava pergi, Papa sama siapa? Papa harus hidup demi siapa kalo seandainya Ava pergi? P-Papa harus sa-sama siapa, Nak?"
Tangisan pelan kembali terdengar sangat menyakitkan seolah apa yang Jordan katakan benar-benar mengenai hati si kecil.
Jordan juga menangis, memeras air matanya tanpa berhenti membubuhi Lava dengan kecupan tipis. Hatinya penuh ketakutan, bagaimana jika nanti Lava benar-benar pergi meninggalkannya?
Dengan alasan apa lagi Jordan harus tetap ada di dunia ini?
...
Cuaca pagi ini tidak seburuk semalam, semilir angin dingin masih menemani matahari yang terlihat malu-malu untuk muncul menyinari sang bumi.
Anyelir meletakan kembali parfum di atas meja rias setelah di rasa cukup memakainya. Tanpa sengaja mata cantik itu menatap bingkai foto kecil berisi empat orang yang berstatus sebagai keluarga.
Gadis itu tersenyum, mengusap foto dirinya sendiri yang terlihat masih sangat kecil. Pandangannya lalu beralih kearah sosok laki-laki yang dulu menjadi pahlawannya.
"Anye kangen kalian," bisik Anyelir pelan, tak menyangka jika dirinya harus di tinggalkan secepat ini.
Anyelir menatap permukaan foto dengan pandangan sedih, "Maaf, ya, Ayah, Abang. Anye belum punya uang buat jenguk kalian, Anye mau pake uang ini untuk jenguk Bunda dulu, ya? Anye janji bakal jenguk kalian semua."
Anyelir masih sangat belia ketika sang ayah pergi menemui sang pencipta. Tidak banyak memori yang tersimpan, namun, satu-satunya harapan sang ayah adalah ingin melihat gadis itu mendapatkan gelar sarjana.
Dia tidak berhasil, sebab kakak laki-lakinya dengan tanpa kata ikut meninggalkan Anyelir untuk selamanya. Setelah lulus dan pulang meninggalkan asrama yang sudah dua belas tahun menjadi tempat tinggalnya, Anyelir memutuskan untuk berkerja demi sang bunda. Satu-satunya keluarga yang masih tersisa.
Pandangan gadis itu kembali tertuju pada figur sang kakak yang lebih tua tiga tahun darinya, "Dunia nggak adil, Bang. Anye belum puas ngerasain kasih sayang Abang tapi Abang harus pergi bahkan dengan cara nggak bermoral kayak gitu."
Anyelir tidak bisa melihat wajah sang kakak untuk terakhir kalinya, bahkan Anyelir juga tidak di beri izin untuk mencari tau siapa penyebab dari kematian itu.
Selama lima tahun berlalu, Anyelir perlahan mulai bosan. Tak ada informasi yang bisa di peroleh karena berita tentang kematian Alendra—kakaknya—seakan hilang dan tidak bisa di akses oleh siapapun.
Satu hal yang Anyelir tau, pelaku dari kejadian itu sudah mendekam di penjara.
.
.
.
.
kayaknya udah mulai masuk konflik deh
btw part ini sedikit sekalii huhu
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA [END]
General FictionJordan Rajaksa, seorang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus pembunuhan berhasil bebas setelah lima tahun mendekam di penjara. Jordan merasa tidak ada gunanya lagi saat keluar dari balik jeruji besi ini. Jordan sudah kehilangan semua hal. M...