37. Berpisah Untuk Sementara?

1.2K 133 28
                                    

Jemari lentik Anyelir menghapus air matanya dengan kasar saat mendengar suara ketukan yang berasal dari pintu. Gadis itu bangkit kemudian melangkah menuju sumber suara, "Sebentar."

Wajah yang tadi di paksa terlihat baik-baik saja langsung berubah marah saat melihat sosok pemuda yang berdiri di balik pintu.

"Ngapain kamu di sini?!" sentak Anyelir sembari berusaha menutup pintu, namun, tangan pemuda itu tak kalah cepat untuk menahan gerakannya.

"Aku mau bicara."

Tangan Anyelir mendadak agak gemetar, setelah pertengkaran besar kemarin malam, sosok ini kembali berbicara dengan lembut seperti biasanya. Anyelir mengutuk dirinya sendiri karena selalu merasa lemah dengan suara lembut itu.

"Nggak ada yang perlu di bicarain!"

Sosok Jordan memandang sendu pada Anyelir yang masih berusaha menutup pintu, pemuda itu bahkan tidak memperdulikan lengannya yang sudah terjepit pintu beberapa kali.

"Kita perlu banyak bicara, Anye, tentang semua hal yang mau kamu tau, tentang kejadian lima tahun lalu ... tentang Lava, kita perlu bicarakan semuanya," ucap Jordan lirih, semalaman dirinya berpikir untuk menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. Tanpa emosi yang bisa saja membuatnya kehilangan sesuatu, seperti kemarin malam.

Jordan ingin semuanya berakhir dengan baik, Jordan lelah jika harus mengakhiri semuanya dengan perasaan dendam. Jordan ingin Lava kembali ke pelukannya tanpa menanamkan bibit kebencian di dalam diri siapapun.

Anyelir masih berusaha untuk menahan diri, namun, tatapan sendu dan putus asa Jordan membuat hatinya perlahan tergerak. Gadis itu memilih untuk melangkah keluar, menutup pintu rumah seakan memutus jarak pandang Jordan untuk mencari Lava.

Gadis itu mendongak, menatap sosok tinggi itu dengan mata berkaca-kaca, "Ayo keluarin semua omong kosong yang mau kamu omongin."

Jordan tersenyum getir, pemuda itu perlahan menarik lengan Anyelir. Membawa sosok mungil itu untuk melangkah bersamanya. Meninggalkan motor hitam yang Jordan bawa di depan rumah gadis itu.

Langkah kaki mereka terus di iringi kesunyian sampai mereka tiba di sebuah taman kecil, tempat di mana Lava pertama kali memanggil Jordan dengan sebutan Papa. Bahkan, Jordan masih mengingat jelas sensasi bahagia saat mendengar panggilan itu keluar dari bibir kecil putranya.

"Ayo, apa lagi yang perlu aku denger dari kamu?" tanya Anyelir dengan suara serak yang agak gemetar.

Mereka berdiri, memandang ayunan kosong yang tampak bergoyang di terpa angin lembut. Jordan sendiri tersenyum getir, ingatannya memutar pada sosok Lava yang tertawa keras saat menaiki ayunan.

"Lava emang anak kandung Alendra," ucap Jordan tanpa mengalihkan pandangannya.

Anyelir kembali meneteskan air mata, kali ini ia membiarkannya, tidak berniat mengusap ataupun menyembunyikan air mata dari Jordan.

"Dan kamu buat Lava kehilangan kedua orang tuanya tanpa pernah ngerasain kasih sayang mereka," balas Anyelir dengan menekan semua kata-katanya.

Jordan merasa ingin tertawa saat mendengar kata kasih sayang yang merujuk pada Alendra. Bagaimana Lava biasa merasakannya kalau Alendra saja tidak pernah menerima kehadiran anak itu.

"Aku nggak pernah sekalipun berpikiran buat bunuh Alendra walaupun dengan semua fakta yang ada," ungkap Jordan tenang, "aku bahkan berharap dia mau nikahin Siera secepatnya."

"Tapi, faktanya kamu bunuh Abang aku, kan? Sebaik apapun kamu dalam versi yang kamu ceritakan, itu nggak akan mengubah kenyataan kalo kamu adalah seorang pembunuh." Anyelir menyeka air matanya dengan kasar, tersenyum meremehkan tanpa menatap sosok tinggi di sebelahnya, "kamu penjahat, Jo, sampai kapanpun kamu tetap penjahatnya."

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang