Jordan melepaskan helm full face yang melindungi kepalanya, wajah pemuda itu terlihat sembab dengan sisa air mata yang masih membekas dengan jelas. Jordan mengusap kasar air matanya sebelum memutuskan untuk turun.
Perasannya di penuhi rasa khawatir, pasalnya Jordan meninggalkan Lava saat anak itu tengah tertidur lelap karena kelelahan menangis. Untunglah Jordan menyempatkan diri untuk menyuapi Lava makan, karena menurut pengakuan Anyelir, anak itu menolak untuk makan apapun sebelum melihat Jordan.
Itu jelas membuat Jordan semakin merasa khawatir, apa jadinya saat Lava bangun dan tidak melihat eksistensi Jordan yang menemaninya? Apakah suatu hari nanti Lava akan membenci Jordan karena pergi meninggalkannya sendirian?
Jordan membuka pintu rumahnya, melangkah pelan menuju ruang tamu yang di isi oleh kedua orang tuanya. Gerald bahkan memilih untuk tidak berangkat ke kantor hanya untuk menunggu keputusan Jordan setelah pemuda itu kembali.
Saat melihat kehadiran Jordan yang hanya seorang diri, Gerald sempat menaikan sudut bibirnya ingin tersenyum meremehkan, namun, urung tak kala Jordan mendadak berlutut di hadapannya. Pemuda itu lantas terisak sambil menumpukan dahinya di atas pangkuan sang ayah.
"J-Jo gagal, Jo nggak bisa bawa Lava buat balik sama Jo ... Jo bener-bener nggak punya hak apapun atas Lava, Jo jadi ayah yang gagal, Pa."
Gerald terpaku, setelah sekian lama Jordan kembali bertutur kata seperti ini kepadanya. Mendadak Gerald merasa hatinya mulai menghangat, tanpa bisa di cegah jemari Gerald bergerak untuk menepuk-nepuk kepala putranya dengan lembut.
"Perpisahan bukan akhir dari semuanya," ucap Gerald sambil mengalihkan pandangannya pada Lauren yang menangis terharu.
Jordan menggeleng pelan, "Gimana kalo nanti Lava benci sama Jo? Sehebat dan seberhasil apapun Jo nanti, apa jadinya kalo Lava nggak sudi buat mandang Jo lagi?"
Pikiran orang dewasa saja mudah berubah-ubah apalagi pikiran seorang anak kecil berumur lima tahun yang bahkan belum terbentuk sempurna. Bagaimana jika Lava di besarkan dengan cerita bahwa orang yang pernah menjadi ayahnya adalah seorang penjahat?
"Kita nggak tau masa depan, Jo, tapi, masa kini adalah hal yang harus kamu jalani dengan sebaik-baiknya. Kesempatan ini mungkin bisa menjadikan kamu lebih baik lagi, entah di masa depan kalian kembali bertemu ataupun tidak, kamu harus tetap berusaha untuk jadi yang terbaik," ucap Gerald sembari menunduk, menatap Jordan yang masih terisak.
Beberapa menit mereka habiskan hanya untuk mendengarkan Jordan yang menangis menyesali semuanya. Perlahan, Lauren berdiri dan melangkah menuju Jordan yang masih terduduk di lantai.
Lauren ikut mendudukkan dirinya sendiri, mengusap punggung bergetar Jordan yang terlihat sangat menyedihkan. Pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap Lauren dengan penuh kesedihan.
"Jo gagal jadi ayah yang baik, ya, Ma? Bahkan, Jo bohongi Lava, Jo bilang kalo Jo bakal jemput dia besok, tapi, Jo malah pergi jauh, Jo udah banyak banget buat janji sama Lava, termasuk soal dia yang bakal selamanya sama Jo," tutur Jordan dengan suara serak yang bergetar pelan.
Jordan masih tidak bisa mempercayai siapapun untuk mengurus anaknya. Pikiran Jordan terus di penuhi oleh hal-hal buruk tentang, bagaimana bila nanti Lava tidak di perlakukan dengan baik oleh mereka? Terlepas dari mereka adalah keluarga.
"Lava aman sama keluarganya, Nak."
Jordan menggeleng pelan, "Jo nggak percaya, ba-bahkan Mama Siera nggak pernah memperlakukan Lava dengan baik, anak aku tersiksa selama lima tahun, gimana bisa aku percaya sama mereka hanya berdasarkan status keluarga, Ma?"
Mendengar hal itu, Lauren dan Gerald memandang Jordan dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Jordan masih berusaha menghentikan tangis yang semakin membuatnya sesak.
"Maksud kamu Rahayu?"
Jordan mendongak, menatap sang ayah yang tampak terpaku. Perlahan, pemuda itu mengangguk, matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat cerita Lava.
"Dia buruk, Pa, dia nggak pernah memperlakukan Lava kayak manusia, dia nggak pernah perduli sama Lava, d-dia cuma manfaatin uang yang Papa kasih, dia nggak pernah urus anak aku dengan baik," adu Jordan tanpa ragu, pemuda itu kemudian menumpukan sebelah tangannya pada lutut Gerald, "tolong, tolong tuntun dia pake cara apapun atau tolong buat dia minta maaf di bawah kaki Lava, setidaknya sebelum Jo pergi, anggap ini sebagai permintaan terakhir Jo."
Jordan pernah berjanji untuk melakukan itu, setidaknya sebelum Jordan benar-benar pergi, akan ada satu janji yang terwujudkan.
...
Anyelir menatap kosong Lava yang masih tertidur nyenyak setelah Jordan membantunya untuk tidur tadi. Dirinya bahkan tidak berani untuk duduk terlalu dekat, takut membangunkan tidur nyenyak Lava yang terlihat sangat menenangkan.
Semua perlakuan Jordan tadi seolah menyadarkan Anyelir bahwa dirinya benar-benar tidak bisa apa-apa jika di bandingkan dengan pemuda itu.
Aku bakal pindah ke luar negeri, sesuai perjanjian dengan Papa, kalo aku gagal, berarti aku harus pergi ke luar negeri, sampai waktu yang aku bahkan nggak tau bisa kembali ke sini ataupun enggak. Aku titip Lava, ya? Tolong ... tolong jangan paksa Lava buat lupain aku, itu permintaan terakhir aku, Anyelir.
Ketukan di pintu kamarnya membuat tubuh Anyelir tersentak pelan. Gadis itu memandang sendu pada Sinta yang mengajaknya keluar dengan isyarat tangan.
Perlahan Anyelir berdiri, melangkah menuju Sinta yang tersenyum hangat. Jemari lembut ibunya menarik lengan Anyelir untuk duduk di kursi ruang tamu.
Keduanya lalu terjebak dalam keheningan yang menyedihkan. Sinta menoleh, menatap Anyelir yang lagi-lagi menunduk dan menatap kosong pada lantai rumah.
"Dek."
Anyelir kembali tersentak kemudian memaksa untuk tersenyum, "Iya, Bun?"
Sinta ikut tersenyum sembari mengelus rambut putri bungsunya, "Bunda seneng karena mungkin kita bisa dapet pengganti Abang dari Lava, dia anak Abang, cucu Bunda, keponakan kamu."
Anyelir tersenyum setuju, gadis itu mengangguk membenarkan kemudian mengalihkan pandangannya pada pintu kamar yang sengaja ia buka.
"Tapi ... Jordan emang ayah yang luar biasa baik."
Ucapan itu membuat senyum Anyelir langsung menghilang, gadis itu memandang tak percaya pada sang bunda yang masih mempertahankan senyumnya.
"D-dia udah bunuh Abang, Bun! Dia nggak pernah jadi ayah yang baik karena Lava bukan anak Jordan!" bentak Anyelir yang kembali meneteskan air mata.
"Bunda tau, kebencian itu juga belum bisa Bunda hilangkan, tapi, terlepas dari itu semua, Lava tumbuh dengan baik saat bersama Jordan. Kamu lihat perbedaan perlakuan yang Lava berikan pada kita dan Jordan, kan?" tanya Sinta sambil menatap pintu kamar putrinya, "jarak kita masih sangat jauh, sedangkan Jordan dan Lava benar-benar udah menyatu."
"Kamu cuma di penuhi sama amarah, hingga menolak semua fakta yang ada, termasuk fakta kalau kamu sendiri nggak siap buat ambil alih Lava sepenuhnya," sambung Sinta lalu tersenyum getir.
Wanita itu lalu menatap Anyelir yang sudah terisak sambil menundukkan kepalanya, enggan menatap Sinta.
"Kembalikan, sebelum kamu menyesal seperti apa yang Bunda rasain."
.
.
.
.
kalian siap menuju ending, belum?
ayo tebak tebakan gimana jadinya nanti
untuk lanjut? vote dan komen
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA [END]
Ficción GeneralJordan Rajaksa, seorang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus pembunuhan berhasil bebas setelah lima tahun mendekam di penjara. Jordan merasa tidak ada gunanya lagi saat keluar dari balik jeruji besi ini. Jordan sudah kehilangan semua hal. M...