29. Berita Lama

1.1K 88 9
                                    

Anyelir tersenyum tipis saat melihat Sinta yang terlihat bersemangat saat membalikkan album foto keluarga mereka dulu. Album berukuran cukup besar itu memang Anyelir bawa ketika rumah mereka di jual dulu. Satu-satunya kenangan yang membuat Anyelir merasa bahwa seluruh keluarganya selalu bersama Anyelir di sini.

"Liat, Ayah gagah banget, ya?" Telunjuk Sinta mengarah pada sosok pria dengan jas putih khas kedokteran. Mata wanita itu berkaca-kaca lantaran mengingat kenangan bersama sang suami dahulu.

"Ayah memang paling gagah dan keren," puji Anyelir sembari memeluk bahu sang bunda.

Sinta mengangguk setuju, "Kalau Ayah masih ada, pasti sekarang kamu lagi ngejar pendidikan, maaf, ya, Dek?"

"Bunda ... jangan minta maaf. Ayah udah bahagia di sana, dan kita juga harus bahagia di sini," ucap Anyelir pelan, gadis itu mengecup pipi Sinta dengan lembut, "Abang juga pasti bahagia sama Ayah di atas sana."

Mendengar hal itu, Sinta lantas mengangguk kemudian membuka lembaran album lainnya. Terlihat seorang pemuda dengan seragam SMP di sama, wajahnya masih terlihat sangat lugu, sangat berbeda dari apa yang Sinta lihat terakhir kalinya.

"Bunda bahkan nggak punya foto Abang pas udah SMA," ucap Sinta sembari mengelus permukaan foto.

Anyelir tersenyum tipis, "Abang nggak mau di foto-foto lagi semenjak SMA, ya, Bun?"

Sinta hanya mengangguk membenarkan, lebih tepatnya, Alendra sudah jarang pulang ke rumah saat menginjak bangku SMA. Pemuda itu bilang dirinya sering menbinap di rumah teman-temannya. Sinta tidak berani melarang, karena ... Alendra benar-benar berubah.

Suara ketukan dari pintu depan membuat gadis yang sudah lengkap mengenakan seragam toko itu berdiri. Merapikan penampilannya sejenak sebelum melangkah.

"Kayaknya itu Jordan deh."

Tubuh Sinta seketika membeku, mata wanita itu bergetar dengan nafas yang mulai memberat. Nama itu ... kenapa Sinta harus mendengarnya lagi? Secepat mungkin Sinta berdiri, berlari pelan menyusul Anyelir yang sudah membuka pintu.

"Kamu---"

Anyelir menoleh dengan wajah bingung, "Kenapa, Bun?"

Di hadapan putrinya terlihat seorang anak kecil yang memiringkan kepalanya. Mengintip kearah Sinta sambil memegang tas bekal berwarna merah muda dan juga sebuah mangkuk.

Sinta menatap ke luar, ingin mencari sosok yang sangat ia takuti berada di sini, "D-di mana itu J-Jo---"

"Jordan? Kata Lava dia buru-buru tadi makanya nggak sempet mampir," ucap Anyelir memotong kalimat Sinta, "kenapa Bunda panik gitu?"

Sinta menggeleng kaku, wanita itu beralih menatap wajah polos yang masih kebingungan menatapnya. Sebisa mungkin Sinta tersenyum hangat sembari meminta Lava untuk masuk ke dalam.

"Ava tunggu Papa di rumah aja, cuma mau kembalikan ini," tolak Lava halus, dirinya mengarahkan barang bawaannya kepada Sinta, "Papa bilang terima kasih, maaf belum bisa ketemu langsung."

Sinta mengangguk pelan, "K-Kapan kapan suruh Papa mampir, ya?"

Lava mengangguk pasti, anak itu kemudian melangkah untuk kembali ke rumah bersama Anyelir yang pamit untuk pergi bekerja.

Yang di tinggalkan meremas tas bekal di genggamannya. Perasaan Sinta masih di penuhi kekhawatiran tak berdasar. Berulang kali ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ada banyak nama yang sama di dunia ini.

"Pasti cuma kebetulan ... itu bukan dia."

...

Jordan mengernyit heran ketika tanpa sengaja mendapati Harsa yang tersenyum miring saat bertatapan dengannya. Sejak hari di mana Harsa menyebarkan rumor tentang tindak kriminalnya itu, para pelayan lain benar-benar tidak ada yang mendekatinya. Bahkan Nada yang dulu terlihat gencar pun menjadi enggan hanya untuk berpandangan.

BAD PAPA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang