Sehangat Cinta Sejuknya Luka

Bab 65

    PERBUALAN ini bukanlah mudah, lebih-lebih lagi apabila mengetahui luka dalam hati menantu mereka tidak mudah dirawat dengan kata-kata.

Evelyn sedang duduk di ruang tamu, matanya tertumpu pada jendela, seolah-olah memikirkan sesuatu yang jauh di luar sana. Raja Nurul Elina perlahan-lahan mendekati Evelyn, menarik nafas panjang sebelum duduk di sebelahnya.

"Eve," suaranya lembut menyapa Evelyn, penuh dengan keibuan yang cuba menenangkan.

"Bonda dan ayahanda datang nak tengok keadaan Eve. Alhamdulillah, nampak Eve makin sihat."

Evelyn tidak berpaling, hanya matanya berkedip perlahan. Dia tidak membalas, tapi Raja Nurul Elina tahu ini bukan tanda penolakan, cuma tanda kepedihan yang mendalam masih bersisa.

Raja Muhammad Idris Alim mengambil tempat di seberang, wajahnya serius dalam tenang, riak matang dia sering ukirkan.

"Eve," panggilnya perlahan. "Kami tahu apa yang berlaku sangat berat untuk ditanggung. Tak ada siapa yang boleh bayangkan kesedihan yang Eve lalui."

Raja Nurul Elina menyambung, kali ini nada suaranya lebih tegas tapi penuh harapan. "Tapi Eve... kami harap sangat, Eve jangan hukum Malik. Dia tak salah, sayang. Malik pun hancur hati dengan apa yang berlaku."

Evelyn menggenggam jari-jarinya erat. Hatinya bergelut dengan perasaan marah, kecewa, dan sakit. Dia tahu Malik bukanlah punca sebenar, tetapi kesakitan yang dia alami membuatnya sukar untuk menafikan, apatah lagi meredakan takdir yang tertulis.

"Eve... Bonda tahu Malik tak sempurna, dia mungkin lambat atau tak pandai... tapi dia tak pernah tipu yang dia kata dia sayang Eve dan anak-anak kamu berdua, sayang sangat."

Raja Muhammad Idris Alim pula menyambung dengan nada berat, "Beri peluang untuk dia buktikan yang dia masih suami yang boleh melindungi keluarga yang dia sendiri bina. Jangan hukum dia atas sesuatu yang dia sendiri tak mampu kawal."

Ruang tamu itu sunyi. Hanya desahan nafas yang mendekap suasana.

Raja Nurul Elina memandang Evelyn, matanya penuh dengan harapan. "Eve... hidup tak pernah mudah kan? Tapi tak ada beban yang Allah beri tanpa sebab."

Evelyn mendengus kecil, matanya masih tertumpu pada luar jendela. "Apa sebabnya, bonda?"

Raja Muhammad Idris Alim memandang isterinya sekilas, sebelum bersuara perlahan. "Setiap ujian... ada hikmahnya. Tapi hikmah tu, Eve... kita takkan nampaknya sekarang."

Evelyn memalingkan wajahnya sedikit, tatapan penuh luka dan kebingungan. "Apa hikmahnya bila anak-anak Eve dah tak ada?"

Raja Nurul Elina menundukkan kepala, memegang tangan Evelyn lembut. "Mungkin hikmahnya bukan untuk mereka, tapi untuk kita yang masih hidup. Mungkin untuk Eve... dan Malik."

Evelyn menggigit bibirnya. "Malik... tak tahu apa yang Eve rasa. Dia tak rasa kehilangan seperti Eve."

Raja Muhammad Idris Alim menggeleng perlahan. "Dia juga kehilangan, Eve. Mungkin bukan dengan cara yang sama, tapi dia juga tercedera."

Suasana menjadi lebih berat. Kata-kata itu terhenti di udara, seolah menunggu Evelyn untuk mencernanya.

Raja Nurul Elina menarik nafas perlahan. "Menerima bukan tanda lemah, Eve. Ia tanda kita mahu beri peluang kepada diri sendiri... untuk pulih."

Evelyn menggeleng perlahan. "Eve tak tahu... kalau Eve mampu lupakan semuanya dengan mudah."

Raja Muhammad Idris Alim bersuara, dengan nada tegas namun lembut. "Tiada siapa suruh lupa. Tapi jangan biar hati terus terseksa, Eve. Malik perlukan Eve... sama seperti Eve perlukan dia."