Selesai acara, Joanna langsung diboyong ke Surabaya. Tanpa menunggu sepasar atau satu minggu hari setelah pernikahan. Membuat Rendy dan Liana agak merasa keberatan, sebab itu tidak sesuai tradisi mereka."Nanti sisanya dipaketkan saja." ucap Jeffrey saat Joanna tampak gelisah. Wanita itu duduk di kursi belakang bersama dirinya. Karena ada supir yang akan membawa mereka ke Surabaya.
Joanna yang sejak tadi fokus ke belakang guna memeriksa barang bawaan mulai menatap suaminya. Wajahnya tampak masam. Karena dia tidak tahu jika harus ikut pergi sekarang. Sehingga tidak punya banyak waktu untuk mengemas barang.
"Kenapa tidak bilang dulu? Tahu begitu aku siapkan barang-barangku!"
"Aku juga tidak tahu kalau akan mendapat pekerjaan mendesak seperti ini. Aku sudah menyarankan agar kamu tinggal satu hari lagi, tapi kamu menolak sendiri. Apa menurutmu, ini masih salahku lagi?"
Joanna berlaih menatap samping. Pada pria yang belum genap 24 jam ini menjadi suami. Pria yang baru ditemui saat selesai akad sore tadi.
"Apa aku ada bilang ini salahmu? Kapan aku mengatakan kalau ini salahmu?" Joanna melipat tangan di depan dada. Seolah menantang si lawan bicara.
"Kamu memang tidak bilang secara langsung. Tapi ucapanmu yang seperti itu, seolah menafsirkan kalau ini salahku. Salah pekerjaan mendesakku. Hingga membuatmu tidak sempat bersiap-siap dulu." Nada suara Jeffrey tenang saat menjelaskan. Namun tatapannya tajam menghadap depan. Seolah ingin menunjukkan ketegasan.
"Fine, aku salah. Sorry kalau kamu merasa sedang kusalahkan." Joanna beralih membuka tas. Meraih headphone yang akan tersambung dengan ponselnya. Sebab dia ingin memutar musik selama perjalanan.
"Aku juga minta maaf. Ada bagian aku salah juga. Karena lebih memprioritaskan pekerjaan daripada acara kita." Jeffrey merasa bersalah. Dia menatap Joanna yang masih berkutat dengan headphone dan ponselnya. Seolah mereka tidak sedang bersitegang sebelumnya.
"It's okay, sejak awal acara ini juga tidak penting. At least bagi kita, namun tidak dengan orang tua kita." Joanna memasang headphone di telinga. Tanpa menatap ke arah suaminya. Sebab dia mulai memejamkan mata setelah musik terputar. Dia juga menurunkan kursi agar bisa sedikit rebahan. Agar acara istirahatnya semakin nyaman.
"Sorry..."
Lirih Jeffrey yang semakin merasa bersalah. Dia baru sadar jika mertuanya pasti merasa kecewa. Karena dia langsung pergi membawa Joanna setelah acara pernikahan dilangsungkan dan mengabaikan adat istiadat daerah mereka.
Joanna yang masih sedikit mendengar hanya mengabaikan. Dia memejamkan mata dan lebih memilih tidur saja. Karena memang dia juga senang jika cepat-cepat pergi dari rumah.
Beberapa jam kemudian.
Joanna membuka mata saat tangan Jeffrey mengguncang pundak. Pria itu membangunkan karena mobil sudah tiba di tempat tujuan. Di rumah yang sudah satu tahun ditinggali sendirian. Karena rumah ini lebih dekat dengan kantor jika dibandingkan dengan rumah orang tuanya.
"Sudah sampai?" tanya Joanna yang mulai mendudukkan badan. Dia juga melepas headphone yang masih memutar lagu kesukaan. Lalu menatap sekitar dengan raut penasaran.
"Iya. Barang-barangmu sudah masuk semua. Tasmu juga."
Joanna mencari keberadaan tas ransel yang sebelumnya diletakkan pada bawah kursinya. Tidak ada. Pertanda jika pria itu tidak sedang membual.
"Perasaan aku baru tidur sebentar." Joanna mengucek mata. Lalu turun dari mobil setelah Jeffrey turun mendahului dirinya.
"Rumah ini ada tiga lantai. Lantai satu ada ruang tamu, dapur, ruang makan, ruang keluarga, dua kamar, dua kamar mandi dan gudang. Lantai dua ada empat kamar dengan kamar mandi dalam. Lantai tiga jemuran."
Joanna mengekori Jeffrey yang sedang melakukan tour singkat guna mengenalkan isi rumah. Sebab dia yang lebih dulu tinggal di sana. Sehingga dia merasa perlu mengenalkan secara langsung pada Joanna.
"Ada ART, tapi baru bisa datang besok pagi. Dia ART yang sudah 30 tahun kerja di rumah Mama, sudah seperti saudara."
Joanna mengangguk singkat. Matanya menelisik pada taman belakang. Namun akses ke sana terhalang pintu kaca yang sepertinya dikunci dari dalam. Karena masih ada kunci yang tergantung di sana.
"Di sana? Masih ada halaman?"
Jeffrey membuka pintu. Lalu mempersilahkan Joanna masuk. Sebab dia belum sempat menyebut daerah itu.
"Ini mau kubuat taman bermain. Tapi belum jadi."
Joanna mengangguk singkat. Dia menatap kolam renang berukuran besar yang belum diisi air. Dia sana juga ada seluncuran yang sudah jadi. Berikut ayunan dan jungkat-jungkit.
"Kamu visioner sekali, ya? Bahkan sebelum punya anak, kamu sudah menyiapkan ini semua."
Jeffrey tersenyum tipis. Sedangkan Joanna yang tampak puas dan merasa tidak salah pilih suami mulai kembali masuk rumah lagi. Karena tidak sabar ingin melihat kamar yang akan ditinggali nanti.
Setelah menaiki tangga, Joanna memasuki ruangan yang ditunjuk Jeffrey. Ruangan yang akan menjadi kamar si wanita nanti. Kamar dengan dua balkon dan bath tub di kamar mandi. Serta walk in closet yang berukuran besar sekali.
"Jadi aku akan tidur di sini sendiri?" tanya Joanna saat tidak melihat barang-barang milik Jeffrey. Padahal dia sudah tahu jika si pria sudah tinggal selama satu tahun sebelum ini.
"Maaf karena baru mengatakan ini. Tapi aku belum siap—"
"It's okay! Aku juga. Aku juga belum siap memiliki suami. Kita sama-sama tahu tujuan pernikahan ini terjadi. Demi orang tua, right?" Jeffrey mengangguk kecil. Membuat Joanna lanjut berbicara lagi. "Tapi Jeffrey, sepertinya kita butuh lebih banyak diskusi lagi. Tentang bagaimana pernikahan ini berjalan nanti. Hak dan kewajiban masing-masing, finansial plan, pembagian tugas dalam rumah skip karena akan ada ART dan apa lagi? Pokoknya masih banyak. Di chat kita hanya membahas acara pernikahan, tapi tidak dengan bagaimana cara hidup kita setelah pernikahan."
Jeffrey mengangguk setuju. Karena dirinya merasa perlu membahas itu. Sebab dia juga butuh privasi agar Joanna tidak banyak menuntut. Mengingat sampai sekarang, di hatinya masih ada wanita lain yang sangat dicintai sejak dulu.
"Aku setuju. Kita bahas tentang semua ini nanti siang saja. Setelah kita istirahat. Kamu pasti masih ingin tidur, kan?"
Joanna mengangguk singkat. Lalu memeriksa jam pada ponselnya. Pukul tiga dan dia jelas akan kembali melanjutkan tidurnya.
"Oke, see you!"
Jeffrey mengangguk dan keluar dari kamar. Dia juga menutup pintu dari luar. Kemudian memasuki kamar yang ada tepat di depan kamar Joanna. Kamar yang sama besar. Namun dalamnya hanya ada walk in closet berukuran sedang dan kamar mandi tanpa bath tub di dalamnya. Sebab kamar ini memang ditujukan untuk orang tuanya jika sedang berkunjung pada awalnya. Bukan kamar utama yang ingin ditinggali bersama istrinya kelak.
Seharusnya kita yang menempati kamar itu, Ren.
Batin Jeffrey sebelum memasuki kamar mandi. Sebab dia ingin melanjutkan pekerjaan yang sempat dikerjakan di mobil. Mengingat jam delapan nanti dia ada meeting dengan kelien yang meminta revisi.
Tbc...
![](https://img.wattpad.com/cover/382375072-288-k953488.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GET TO KNOW BETTER
RomantizmJoanna dan Jeffrey menikah karena perjodohan. Kisah klise yang sering berakhir menyedihkan. Namun Joanna berusaha menolak segala penderitaan. Sebab tidak ingin berakhir menyedihkan karena menikahi pria yang masih belum selesai dengan masa lalunya.