25/25

2.9K 125 19
                                    

Hari ini Jeffrey pulang malam. Bukan karena pekerjaan, namun karena mencari kunci cadangan kamar yang ternyata tidak ada. Padahal dia sudah membongkar isi ruangan kantor bersama dua orang yang dipercaya di sana.

"Mau tidur di mana aku nanti?" Jeffrey menggigit bibir bawah saat mobil tiba di depan rumah. Dia bergegas keluar. Lalu berjalan gontai masuk rumah. Karena bingung ingin memberi alasan seperti apa agar dia diizinkan ikut tidur di kamar Joanna.

Setibanya di ruang makan, Jeffrey tidak menemukan Joanna. Padahal makan malam sudah siap dan Rena sedang menyetrika pakaian. Karena dia akan pulang jika Jeffrey dan Joanna sudah selesai makan malam.

Jeffrey ingin bertanya di mana Joanna. Namun suaranya tercekat. Karena masih marah pada Rena dan enggan berinteraksi dengannya.

"Joanna tidak turun setelah temannya datang."

Jeffrey mengadu alisnya. Karena ingin mengorek informasi lebih banyak. Sebab ucapan Rena masih menggantung baginya.

"Temannya? Dia dan temannya sedang di atas sekarang?"

"Bukan. Temannya sudah pulang. Dia datang ke sini marah-marah. Joanna sampai menangis tadi. Sepertinya dia sedang dalam masalah saat ini."

Jeffrey kembali mengadu alis. Karena setahunya, pertemanan Joanna sangat solid. Sebab dia hanya memiliki teman sedikit dan tentu saja seharusnya bisa saling mengerti. Tidak mungkin sampai bertengkar apalagi menangis seperti apa yang telah Rena ucapkan tadi.

Tanpa mengatakan apa-apa, Jeffrey langsung menaiki tangga. Dia ingin segera melihat Joanna yang kata Rena sampai menangis saat bertengkar. Padahal selama menikah dia terlihat kuat dan tidak mudah tertindas.

Ceklek...

Jeffrey membuka pintu kamar. Dia menatap Joanna yang kini rebahan di atas ranjang sembari menatap ponselnya. Tidak ada jejak air mata di wajahnya. Namun kedua kelopak matanya bengkak. Pertanda jika Rena tidak berbohong sebelumnya.

"Kata Rena tadi temanmu datang, dia marah-marah. Ada masalah apa? Siapa yang datang. Mereka salah satu temanmu yang liburan di Bali bersama kita?"

Joanna menggeleng cepat. Dia juga mulai mendudukkan badan. Duduk bersila di depan Jeffrey yang kini meletakkan tas kerja di atas meja. Lalu mendekati ranjang karena ingin tahu lebih banyak.

"Bukan. Dia bukan teman baikku. Bukan salah satu dari teman yang kuundang saat menikah kemarin juga. Dia—" ucapan Joanna terjeda. Air matanya tumpah. Namun langsung diseka karena tidak ingin terlihat lemah.

"Dia rekan kerjaku dulu. Dia menipu uang arisanku sebanyak 40 juta. Minggu lalu aku bayar orang untuk menagihnya. Tapi dia tidak terima dan melabrakku di rumah."

"Lah? Kan ini salahnya sendiri karena nipu orang. Bagaimana, sih!? Terus kenapa nangis? Kamu tidak salah, kan?"

Jeffrey mulai menduduki tepi ranjang. Tangannya refleks mengusap air mata Joanna yang kembali mengalir sekarang. Membuat dia jelas merasa iba.

"Dia mengancam akan menyebarkan aibku ke orang tuamu. Tentang aku yang pernah tinggal bersama Jordan saat di Jakarta."

Jeffrey yang mendengar itu mulai mengeraskan rahang. Bukan karena marah akan masa lalu Joanna. Namun marah karena kelakuan teman istrinya yang begitu menyebalkan. Karena dia memang sudah tahu akan kisah Joanna bersama Jordan sejak liburan di Bali sebelumnya.

"Siapa orangnya? Akan aku datangi sendiri dia! Tinggal di mana? Kalau di Surabaya, akan aku datangi sekarang!"

Jeffrey bangkit dari duduknya. Lalu melepas jas kerja. Kemudian menggulung lengan kemeja setelah melepas kancing di bagian tangan.

"Aku tidak mau bertengkar lagi." Joanna menarik kemeja Jeffrey. Agar pria itu duduk lagi. Karena dia sudah memiliki jalan keluar untuk masalah ini.

"Dia minta uang 100 juta untuk tutup mulut. Di rekeningku hanya ada 80 juta. Jadi aku transfer semuanya. Dia minta sisanya dikirim sekarang. Kamu bisa meminjami aku 20 juta? Aku tidak mau orang tuamu tahu tentang itu sekarang. Aku tidak mau jadi janda dalam kurun waktu dekat. Aku belum siap."

Air mata Joanna mengalir deras. Dia benar-benar takut diceraikan karena belum memiliki banyak bekal, bukan karena takut kehilangan suaminya. Apalagi uang 80 juta yang didapat dari suami dan mertua sebagai uang jajan setelah menikah sudah melayang.

"Bukannya aku tidak mau meminjami. Kamu mau minta berapapun asal untuk hal penting juga pasti akan aku beri. Masalahnya ini bukan hal baik. Temanmu itu licik. Dia berniat memeras kamu sekarang. Setelah ini, aku yakin dia akan terus menjadi lintah. Dia tidak akan berhenti di sini saja."

Jeffrey kembali mengusap air mata Joanna. Namun kali ini dengan kedua tangan. Membuat wajah mereka bertatapan cukup lama. Sebelum akhirnya saling melempar pandangan ke pojok ruangan setelah sama-sama merasakan getaran.

"Dia tidak mengembalikan uang 40 juta yang sebelumnya, kan?" Joanna menggeleng singkat. Membuat Jeffrey mulai menarik nafas panjang. "Kalau begitu total 120 juta yang dia bawa. Aku akan cari jalan keluar. Sekarang beri aku informasi tentangnya."

Joanna tampak keberatan memberikan. Karena masih takut tentu saja. Takut sekali jika harus menjadi janda yang tidak memiliki apa-apa. Apalagi orang tuanya pasti akan menariknya kembali ke rumah jika dia sudah tidak memiliki tujuan.

"Tinggal di Surabaya dia?" Joanna mengangguk singkat. Saat ini dia sedang menunjukkan informasi tentang temannya pada Jeffrey. Dengan perasaan khawatir.

"Apa rencanamu? Aku takut dia malah berbalik menyerangmu. Tahu sendiri dia selicik itu."

"Mau menyerangku dari sisi mana? Aku sempurna. Kalaupun ada setitik celah, orang-orang akan mewajarkan." Jeffrey menjeda ucapan. Karena Joanna menatapnya tidak percaya. "Aku tampan, kaya dan punya keahlian. The hell! Tidak ada yang bisa menyerangku Joanna!"

Jeffrey merasa tertantang. Dia mulai mengirim data pribadi teman Joanna pada nomornya. Karena dia akan berdiskusi dengan pengacara sebelum bertindak.

"Oh, iya! Aku tidak dapat kunci cadangan kamar. Padahal aku sudah bongkar ruangan kantor bersama dua orang. Aku—"

"Ya sudah. Ini rumahmu juga. Kamu bisa tidur di sini kapanpun kamu mau." Joanna yang sejak tadi menatap ponsel kini beralih menatap suaminya. Menatap Jeffrey yang entah kenapa kini tampak lebih tampan dari biasanya.

Ah, mungkin karena wibawanya mulai terlihat. Sebab malam ini Jeffrey sudah bersikap dewasa dan bisa diandalkan saat Joanna butuh bantuan.

"Oke. Aku akan bicara dengan teman baikku Ethan setelah ini, dia pengacara dan sedang di Paris. Makanya tidak bisa ikut liburan kemarin."

Joanna mengangguk kecil. Dia merasa lega saat ini. Karena memang dia merasa tertekan tadi. Takut jatuh miskin dan menjadi gelandangan nanti. Sebab dia malu jika harus kembali ke rumah lagi.

"Thank you, Jeff."

Jeffrey terkejut saat tiba-tiba mendapat pelukan. Jantungnya berdebar. Namun dia lekas membalasnya. Melakukan hal yang sama. Melingkarkan kedua tangan di tubuh hangat istrinya.

"Kamu sakit?"
"Suhu tubuhku memang seperti ini."

Mereka masih berpelukan meski saling berbicara. Baik Jeffrey maupun Joanna, mereka masih betah berlama-lama dalam posisi berpelukan. Bahkan jika salah satunya membuat gerakan, salah lainnya justru berlaku sebaliknya. Mereka saling mengeratkan pelukan seolah tidak akan ada lagi kesempatan untuk melakukan hal serupa suatu saat.

Tbc...

GET TO KNOW BETTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang