Episode 38

91 58 9
                                    

JANGAN LUPA VOTE, FOLLOW, KRITIK, DAN SARANNYA🔥
Typo, koreksi📌

●○●○●○

Nara langsung menuju kamarnya begitu tiba di rumah. Bahkan, ketika Nada mengganggunya dia tetap diam mengabaikan, seolah-olah tidak mendengar apapun. Langkahnya cepat, dia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya dan meredakan sakit yang menghimpit hati dan pikirannya.

Nara berdiri di balik pintu kamar yang tertutup, memandang seluruh penjuru kamar dengan mata lelah. Dia mematikan lampu, lalu melangkah ke kasurnya. Tubuhnya terbaring, menatap langit-langit kamar yang gelap. Saat ini kepalanya terasa penuh hingga membuatnya pusing. Air mata perlahan meleleh dari ujung matanya. Nara meraih bantal di sampingnya dan menutup wajahnya. Dia menangis dengan suara teredam.

Setelah puas menangis, Nara bangkit dari posisinya berubah duduk. Dia mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan jejak air mata. Tangannya terangkat memijit pangkal hidungnya dengan lembut untuk meredakan rasa pusing. Kemudian, kepalanya menoleh dan tangannya meraih handphone.

Nara:
Malam ini, lo free gak?

Rasa penasaran Nara tak tertahan lagi, akhirnya dia memutuskan mengirim pesan pada Dhara, berharap mendapat jawaban atas semua yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, Dhara membalas pesan Nara dengan cepat.

Dharararararari:
Iya, gue nganggur.

Nara:
Kedai bakso langganan bang Harsya, dekat lampu merah. Bisa ketemuan di sana?

Di seberang sana, Dhara menatap aneh pesan yang di kirim oleh Nara. Tumben, sahabatnya itu mengajak bertemu di luar, biasanya kalau ingin bertemu, Nara akan ke rumah menjemputnya atau sebaliknya Dhara yang ke rumah Nara, baru mereka keluar bersama.

Dharararararari:
Gimana kalau lo ke rumah gue, atau gue yang ke rumah lo aja?

Nara:
Nanti malam jam delapan gue tunggu di kedai.

Nara akan menuntut penjelasan dari Dhara, dia berharap sahabatnya akan menjawab semuanya dengan jujur.

Entah dorongan dari mana, tanpa sadar tangannya membuka galeri handphone. Dia dibuat terkejut saat jarinya menggulir layar. Semakin lama, dadanya semakin terasa nyeri melihat isi galeri. Saat itu lah dia baru menyadari bahwa galerinya sebagian besar didominasi oleh foto-foto Razka dari berseragam putih biru hingga putih abu-abu, dari jepretan candid hingga dari foto sekelas yang dia crop. Perasaan jijik tiba-tiba menyergapnya, ternyata selama ini dia menyukai cowok itu hingga sedalam dan separah ini.

Dia lantas menghapus foto-foto yang berjumlah puluhan itu dengan mantap, jarinya berhenti saat foto bersama Reizo di pasar malam muncul. Senyum tipis terukir di bibirnya, lalu dia terkekeh geli ketika melihat ekspresi Reizo yang kaku. Nara tenggelam, foto itu seakan menariknya pada momen bersama Reizo di pasar malam.




Nada melihat Nara yang menuruni tangga dengan merapikan tas di bahunya.

Nada memindai penampilan Nara. "Kak Nara mau ke mana?" Dia menonton televisi dengan Anita dan Melody.

Mengabaikan pertanyaan itu, Nara terus berjalan melewati mereka berdua dan menuju bundanya.

Detik dan DetaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang