ATEEZ

106 13 0
                                    

Apartemen Wooyoung sore itu adalah medan perang. Bukan karena kerusakan atau kekacauan fisik—walau Seonghwa hampir menjatuhkan vas antik tadi pagi—melainkan karena ketujuh suaminya sedang bertempur sengit memperebutkan perhatian Wooyoung.

“Aku bilang, biarkan aku yang menggambar dulu!” seru Yunho, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Tubuhnya yang tinggi membuatnya tampak seperti penjaga toko seni yang protektif.

“Tidak mungkin. Aku sudah duluan memesan waktu,” bantah San sambil memegang spidol hitam di tangannya. “Aku bahkan sudah membawa desain sendiri.”

“Desain apa? Cakar macan lagi? Terlalu klise,” sindir Yeosang, duduk santai di sofa dengan kaki disilangkan. Tangannya memutar-mutar pena warna merah seperti seorang seniman pemula yang sedang merencanakan mahakarya.

“Kalau kalian mau ribut, ributlah di luar!” Wooyoung akhirnya berseru. Ia duduk di kursi dekat jendela, mengenakan kaus lengan pendek yang memperlihatkan kulit mulus lengannya. Di sana, kulit itu bersih, kosong, dan siap menerima desain tato baru.

Mingi, yang sedang sibuk membolak-balikkan buku referensi desain tato di meja, menoleh. “Tapi, Woo, aku janji desainku yang paling keren. Aku sudah latihan menggambar sejak minggu lalu.”

“Kau bahkan tidak tahu cara memegang pena dengan benar,” sindir Hongjoong dari sudut ruangan. Ia sedang menatap ponselnya dengan ekspresi fokus, kemungkinan mencari inspirasi desain di internet. “Kalau aku yang menggambar, kita bisa membuat sesuatu yang elegan. Mungkin bunga dengan aksen geometris.”

“Bunga?” Jongho, yang diam di pojok ruangan dengan tangan terlipat, mengangkat alisnya. “Kau serius? Wooyoung tidak butuh bunga. Dia butuh sesuatu yang melambangkan kekuatan. Aku akan menggambar naga.”

“Ya ampun, naga lagi?” Seonghwa memutar bola matanya. “Kalian semua berpikir terlalu rumit. Wooyoung butuh sesuatu yang sederhana tapi bermakna. Aku bisa menggambar simbol infinity. Itu abadi, seperti cinta kita padanya.”

“Aku sudah mau muntah,” gumam San sambil memutar bola matanya.

“Diam kalian semua!” Wooyoung berdiri, tangannya di pinggang. Tatapannya mematikan, seperti seorang raja yang muak dengan intrik di istananya. “Aku tidak peduli siapa yang ingin menggambar apa. Aku hanya ingin duduk tenang dan tidak mendengar suara kalian untuk lima menit.”

Ruangan langsung hening.

“Tapi Woo,” Yunho akhirnya berbisik, wajahnya penuh kepolosan, “ini soal cinta kita padamu.”

“Cinta kalian padaku tidak akan berarti apa-apa kalau aku kehilangan akal karena kebisingan ini!” balas Wooyoung sambil menunjuk Yunho dengan spidol yang direbut dari tangan San.

Mingi mencoba memanfaatkan situasi. Ia mendekat dan memeluk Wooyoung dari belakang, dagunya bertumpu di bahu kecil Wooyoung. “Kalau begitu, biar aku yang mulai, Woo. Aku janji akan lembut.”

“Tidak,” potong Yeosang, yang kini berdiri di sebelah mereka. “Aku duluan. Aku sudah menunggu sejak tadi.”

“Tidak ada yang mulai apa pun!” Wooyoung berteriak lagi, melepaskan diri dari pelukan Mingi dan menatap semua suaminya dengan tatapan tegas. “Dengar, aku tahu kalian ingin menunjukkan cinta kalian. Tapi satu-satu. Kalau tidak, aku akan pergi ke studio tato profesional dan membiarkan orang asing menggambar di kulitku.”

Ketujuh pria itu langsung terdiam, tampak panik.

“Tidak!” Hongjoong berkata dengan suara lantang. “Kita tidak akan membiarkan orang asing menyentuhmu.”

“Kalau begitu, antri!” Wooyoung menunjuk sofa. “Duduk, diam, dan tunggu giliran kalian.”

Yunho, yang biasanya paling patuh, langsung bergerak dan duduk di sofa, diikuti oleh Jongho dan Seonghwa. Hongjoong mencoba protes, tapi Wooyoung menatapnya tajam, membuatnya menyerah dan duduk juga.

“Baiklah,” Wooyoung menghela napas panjang. Ia mengambil tempat duduk di meja kecil di tengah ruangan. “Siapa yang pertama?”

San langsung mengangkat tangan. “Aku!”

“Tidak,” Mingi protes. “Aku duluan.”

“Aku bilang, aku!”

“Kalian bisa adu jempol kalau mau,” kata Wooyoung datar.

Akhirnya, setelah melalui permainan adu jempol yang tidak kalah intens dari final turnamen olahraga, San keluar sebagai pemenang. Ia mendekati Wooyoung dengan spidol di tangan dan senyum lebar di wajah.

“Aku ingin menggambar sesuatu yang akan selalu mengingatkanmu padaku,” katanya sambil membuka tutup spidol.

“San,” Wooyoung berkata sambil memandangnya dengan curiga, “kalau kau menggambar wajahmu, aku akan menghapusnya.”

San terkekeh. “Tidak, tidak. Percayalah padaku, Woo. Ini akan keren.”

Dengan hati-hati, San mulai menggambar di lengan Wooyoung, sementara keenam pria lainnya menatap dengan penuh iri. Beberapa menit kemudian, ia selesai dan mundur, membiarkan Wooyoung melihat hasilnya.

“Itu…” Wooyoung menatap gambar macan kecil yang terlihat seperti versi kartun dari tato, “… imut.”

“Imut?” San tampak kecewa. “Kupikir itu garang.”

“Itu imut,” Wooyoung mengulangi, lalu menepuk bahu San. “Tapi aku suka. Terima kasih.”

San tersenyum lebar, lalu kembali ke sofa dengan langkah bangga.

Selanjutnya, giliran Mingi.

“Aku akan membuat sesuatu yang benar-benar menunjukkan cintaku,” katanya dengan suara penuh keyakinan.

Ketika Mingi selesai, ia menunjukkan gambar hati besar dengan tulisan kecil di tengahnya: “Milik Mingi.”

“Milik Mingi?” Wooyoung menatapnya dengan tatapan tak percaya.

“Agar semua orang tahu kau milikku,” jawab Mingi sambil tersenyum lebar.

Wooyoung hanya menghela napas panjang.

Satu per satu, ketujuh suaminya mendapat giliran, masing-masing meninggalkan jejak mereka di kulit Wooyoung. Ada desain geometris dari Hongjoong, simbol infinity dari Seonghwa, naga kecil dari Jongho, dan bahkan bintang dari Yunho. Yeosang, yang terakhir, menggambar bunga kecil dengan detail rumit yang membuat Wooyoung hampir menangis karena keindahannya.

Ketika semuanya selesai, Wooyoung menatap lengannya yang kini penuh dengan gambar. Ia merasa seperti kanvas hidup.

“Aku terlihat seperti buku gambar anak-anak,” katanya sambil memandangi hasil karya mereka.

“Kau terlihat seperti karya seni,” kata Hongjoong sambil tersenyum.

“Dan setiap gambar itu adalah tanda cinta kami,” tambah Seonghwa.

Wooyoung menatap mereka semua, satu per satu, lalu tersenyum kecil. “Kalian tahu,” katanya akhirnya, “kalian memang menyebalkan. Tapi aku mencintai kalian.”

Ketujuh pria itu tersenyum lebar, dan untuk pertama kalinya sepanjang hari, ruangan itu penuh dengan tawa yang hangat dan damai.

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang