Choi San [⚠mpreg]

93 8 0
                                    

“San, aku serius. Aku ingin cermin di mana-mana!” suara nyaring Wooyoung bergema di seluruh kamar yang baru saja mereka sulap menjadi ruang persalinan darurat. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini sedikit memerah karena kontraksi yang datang setiap beberapa menit, tetapi kepribadiannya yang dramatis tetap tidak bisa ditahan. 

San, yang memegang palu dan sepotong kayu sisa dari rak yang baru saja dia bongkar, memandang Wooyoung dengan alis terangkat. “Kau tahu ini bukan acara fashion show, kan? Kau akan melahirkan manusia.”

“San, dengarkan aku.” Wooyoung menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat dagunya seperti diva yang siap menghadapi kamera. “Melahirkan adalah momen paling agung dalam hidupku, dan aku ingin menyaksikan setiap detiknya. Dari semua sudut.”

San menghela napas panjang, memandangi dinding kamar yang sudah dipenuhi cermin dari lantai sampai langit-langit. “Apa tidak cukup ada cermin di empat sisi ruangan? Haruskah kita pasang satu di atap juga?”

“Tentu saja harus!” Wooyoung mengangguk cepat, meskipun perutnya yang besar berkontraksi lagi, membuatnya menggigit bibir. “Bagaimana kalau aku melihat ke atas dan tidak bisa melihat diriku? Apa yang akan aku lakukan kalau tidak bisa melihat betapa cantiknya aku saat melahirkan anakmu?”

San mencoba untuk tidak tertawa, meskipun sudut bibirnya sudah bergetar. “Oke, oke. Aku pasang cermin di atap. Tapi kau janji tidak akan meminta yang lebih aneh lagi, kan?”

Wooyoung menyipitkan mata, lalu meringis ketika kontraksi datang lebih kuat. “Kita lihat nanti.”

Beberapa jam kemudian, persiapan sudah selesai. Cermin terpasang di seluruh dinding, termasuk cermin besar di langit-langit. Dokter dan bidan yang mereka sewa khusus untuk proses ini menatap ruangan dengan campuran kagum dan bingung, tetapi mereka tidak berkomentar apa pun.

“Dilatasi delapan sentimeter sekarang,” kata bidan sambil memeriksa kondisi Wooyoung.

“Delapan?!” Wooyoung mengangkat kepalanya, matanya melebar. “Bawa cermin ke sini! Aku perlu bukti!”

“Wooyoung...” San memijat pelipisnya. “Bidan tahu apa yang dia lakukan. Kau tidak perlu bukti.”

“Tentu saja aku perlu! Kalau aku harus merasakan semua sakit ini, setidaknya aku ingin melihat apa yang sedang terjadi!”

Bidan, mungkin sudah terlalu terbiasa menghadapi permintaan aneh pasien, mengambil cermin genggam besar dan memegangnya di depan Wooyoung. Wooyoung mendorong napasnya keluar, berkeringat, tetapi tetap memandang cermin dengan penuh perhatian.

“Hah! Lihat! Masih belum ada apa-apa di sana!” katanya dengan penuh kemenangan, meskipun wajahnya mulai basah oleh air mata dan keringat.

“Sayang,” kata San, mengambil tangan Wooyoung dengan lembut. “Apa kau yakin kau tidak mau fokus pada napasmu saja?”

“Aku sedang fokus, San. Fokus pada diriku yang luar biasa ini,” jawab Wooyoung dengan seringai lemah.

“Cukup. Mari bersiap untuk tahap berikutnya,” kata dokter sambil tersenyum simpul. “Wooyoung, kau sudah mencapai sembilan sentimeter. Kita hampir sampai.”

Kontraksi menjadi semakin intens. Wooyoung menggigit bibirnya, memegang erat lengan San seperti sedang mencoba menghancurkan tulangnya. Dia berkeringat deras sekarang, tetapi matanya tetap fokus pada cermin yang dipegang bidan di depannya.

“Sepuluh sentimeter,” kata bidan akhirnya. “Wooyoung, waktunya mengejan.”

Wooyoung menarik napas panjang, menggigit giginya, lalu mulai mendorong. Saat itu, bidan memiringkan cermin sehingga Wooyoung bisa melihat puncak kepala bayi yang mulai muncul.

“Oh Tuhan!” Wooyoung terengah-engah, matanya melebar. “Itu… itu kepala bayi kita! San, lihat! Lihat ini!”

San, yang sudah pucat karena seluruh situasi ini, memaksa dirinya untuk melihat ke cermin. Dia tersenyum kecil, meskipun jelas dia merasa sedikit ngeri. “Aku melihatnya, sayang. Itu luar biasa.”

“Luar biasa?” Wooyoung tertawa lemah, lalu mendorong lagi dengan sekuat tenaga. “Aku merasa seperti sedang mengeluarkan bola bowling dari tubuhku!”

“Kau melakukan pekerjaan yang hebat,” kata dokter, suaranya lembut namun penuh semangat. “Hanya sedikit lagi, Wooyoung. Kau hampir berhasil.”

Wooyoung terus memandang cermin, matanya penuh dengan campuran rasa sakit, kagum, dan bahkan sedikit kebanggaan. Melihat kepalanya sendiri yang basah oleh keringat, wajahnya memerah, tetapi tetap cantik dalam caranya sendiri, membuatnya merasa lebih kuat.

“Aku bisa melakukannya,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Aku bisa melakukannya.”

“Kepalanya keluar,” kata bidan. “Sekarang kita hanya perlu bahunya.”

Wooyoung mengerang, mendorong sekali lagi. Kali ini, dia bisa melihat bahu bayi meluncur keluar melalui cermin, diikuti oleh tubuh kecil yang basah dan lengket. Tangisan pertama bayi memenuhi udara, membuat ruangan terasa hening sejenak sebelum penuh dengan air mata dan tawa bahagia.

“Bayi laki-laki yang sehat,” kata dokter sambil mengangkat bayi itu dengan hati-hati, lalu meletakkannya di dada Wooyoung.

Wooyoung terisak, tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, tetapi matanya tetap terpaku pada bayi kecil di pelukannya. “Dia… dia benar-benar sempurna,” gumamnya.

“Seperti kau,” kata San, air matanya mengalir bebas. Dia menunduk dan mencium kening Wooyoung. “Kau luar biasa, Wooyoung.”

Wooyoung tertawa kecil di tengah isakannya. “Aku tahu. Aku sudah melihatnya sendiri.” Dia melirik cermin di depannya, tersenyum meskipun wajahnya basah oleh keringat dan air mata. “Tapi aku rasa kita bisa menurunkan cermin itu sekarang.”

San tertawa pelan, mengusap rambut Wooyoung. “Akhirnya kau menyerah pada sesuatu.”

Wooyoung hanya tersenyum, matanya kembali ke bayi di pelukannya. “Ini bukan soal menyerah. Aku hanya sudah melihat semuanya, dan aku merasa… aku cukup hebat.”

“Kau lebih dari cukup,” kata San dengan lembut.

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang