Kim Hongjoong

39 7 0
                                    

Sirkuit jalanan di tengah kota ramai oleh deru mesin dan sorak-sorai penonton. Lampu neon menyala terang, memantulkan warna-warni di aspal yang sedikit basah setelah hujan. Hongjoong duduk di kap mobil sport merahnya, menyesap kaleng soda sambil memperhatikan kerumunan. Namun, fokusnya tertuju pada satu orang: seorang pemuda lincah dengan rambut hitam acak-acakan yang tampak terlalu kecil untuk hoodie kebesaran yang dia kenakan.

“Wooyoung,” panggil Hongjoong, suaranya dalam tapi cukup lantang untuk terdengar di tengah kebisingan.

Wooyoung, yang sedang sibuk memamerkan gerakan tarian kecil di depan mobil temannya, menoleh dengan senyum lebar. “Apa? Aku sibuk jadi pusat perhatian!”

Hongjoong hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Ia melipat kedua lengannya di dada, ekspresinya penuh rasa geli. “Kau tahu, Woo, perhatian itu mudah datang ke seseorang yang tidak bisa diam sepertimu.”

“Dan kau mencintaiku karena itu,” balas Wooyoung santai, lalu melompat ke arah Hongjoong dengan langkah penuh percaya diri.

Hongjoong hanya mendesah, mencoba menyembunyikan senyumnya. Wooyoung berhenti tepat di depannya, menatapnya dengan mata yang bersinar seperti anak kucing yang baru saja menemukan mainan baru.

“Jadi,” Wooyoung memulai dengan nada jahil, “kapan kau mau balapan lagi? Aku sudah bosan melihatmu duduk-duduk seperti bos mafia yang pensiun.”

“Balapan itu soal strategi, bukan soal buru-buru seperti anak kecil yang ingin main sepeda,” jawab Hongjoong dengan tenang.

Wooyoung mendengus. “Kau benar-benar suka bicara seperti ayah-ayah tua.”

“Tapi ayah-ayah tua tidak punya pacar semanis kau.” Hongjoong mengedipkan mata, senyum penuh percaya diri muncul di bibirnya.

Wooyoung langsung memutar bola matanya. “Kau tahu, kalau saja aku tidak mencintaimu, aku mungkin sudah menamparmu sekarang.”

“Tapi kau mencintaiku,” jawab Hongjoong sambil berdiri dari kap mobilnya.

“Kau terlalu yakin,” kata Wooyoung, meskipun rona merah di pipinya mengkhianati usahanya untuk tetap terlihat tegas.

Hongjoong melangkah lebih dekat, membuat Wooyoung harus mendongak untuk menatapnya. “Aku tidak yakin. Aku tahu.”

“Berhenti bicara seperti itu. Aku bisa muntah,” keluh Wooyoung, meskipun dia tidak bergerak menjauh.

Hongjoong tersenyum lebih lebar, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau yang memulai, Woo. Kau datang ke hidupku seperti badai, dan sekarang kau marah karena aku menikmati hujannya?”

Wooyoung mencoba membalas, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Dia akhirnya mengalihkan pandangannya, menatap jalan sambil menggigit bibir. Hongjoong, yang merasa puas telah membuat Wooyoung kehabisan kata-kata, menepuk kepala pemuda itu dengan lembut.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya bercanda,” kata Hongjoong, meskipun senyumnya menunjukkan sebaliknya.

“Kalau begitu, buktikan,” tantang Wooyoung tiba-tiba, matanya kembali menatap Hongjoong dengan penuh semangat.

“Buktikan apa?”

“Balapan denganku,” jawab Wooyoung. “Kalau kau menang, aku akan berhenti mengganggumu selama seminggu. Tapi kalau aku menang...” Dia berhenti sejenak, senyumnya berubah menjadi seringai jahil. “Kau harus membelikanku es krim setiap hari selama seminggu.”

Hongjoong mengangkat alis. “Itu taruhan yang tidak seimbang.”

“Kenapa? Takut kalah?” goda Wooyoung.

Hongjoong mendekatkan wajahnya ke Wooyoung, cukup dekat sehingga napas mereka hampir bercampur. “Tidak, aku hanya takut kau terlalu sombong setelah kalah.”

Wooyoung terkekeh, lalu menepuk dada Hongjoong dengan lembut. “Kita lihat nanti, Pak Tua.”

Beberapa menit kemudian, keduanya berdiri di garis start, masing-masing di dalam mobil mereka. Wooyoung terlihat penuh semangat, sementara Hongjoong tetap tenang seperti biasa.

“Aku akan menang,” teriak Wooyoung melalui jendela mobilnya.

“Kita lihat saja,” balas Hongjoong.

Lampu hijau menyala, dan kedua mobil melaju dengan kecepatan penuh. Wooyoung langsung mengambil jalur kiri, mencoba menyalip Hongjoong di tikungan pertama. Tapi Hongjoong, dengan pengalaman dan strateginya, tetap berada di depan.

Di tikungan terakhir, Wooyoung mencoba manuver nekat, tapi kehilangan kendali sedikit dan harus melambat. Hongjoong melintasi garis finish lebih dulu, lalu berhenti dan keluar dari mobilnya dengan senyum penuh kemenangan.

“Bagaimana rasanya kalah?” tanyanya sambil melipat tangan di dada.

Wooyoung keluar dari mobilnya dengan ekspresi kesal, tapi hanya sebentar. “Baiklah, kau menang kali ini. Tapi aku tetap pacarmu yang paling hebat, kan?”

Hongjoong tertawa kecil, lalu berjalan mendekati Wooyoung. “Kau tahu jawabannya.”

Wooyoung mendesah, lalu tersenyum. “Aku tahu. Tapi aku suka mendengarnya darimu.”

Hongjoong menggelengkan kepala, lalu menarik Wooyoung ke pelukannya. “Kau benar-benar menyebalkan.”

“Tapi kau mencintaiku,” balas Wooyoung dengan nada menggoda.

Hongjoong tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menunduk dan mencium bibir Wooyoung dengan lembut, membuat keramaian di sekitar mereka seolah menghilang.

Saat bibir mereka berpisah, Hongjoong mengecup leher Wooyoung dengan pelan, membuat pemuda itu menggeliat sedikit. “Hyung, ini di depan orang banyak,” bisik Wooyoung, meskipun ia tidak mencoba menjauh.

“Biar mereka tahu,” jawab Hongjoong sambil tersenyum, suaranya rendah tapi penuh kehangatan. “Bahwa kau milikku.”

Wooyoung hanya bisa tersenyum malu, sementara Hongjoong melingkarkan tangannya lebih erat di pinggang pemuda itu, menikmati momen kecil mereka di tengah hiruk-pikuk dunia balap.

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang