Park Seonghwa [⚠mpreg]

88 11 1
                                    

Lampu redup bar di sudut kota berpendar seperti nyawa terakhir lilin yang hampir padam. Asap rokok melayang-layang, membentuk pola tak beraturan yang seakan menyembunyikan setiap rahasia yang ditinggalkan malam. Di meja pojok, seorang pria dengan setelan hitam dan kemeja putih, Park Seonghwa, duduk memandang gelas wiski yang hampir kosong.

Dia sedang menunggu.

Tidak lama kemudian, pintu kayu berderit terbuka, dan seorang pria lain melangkah masuk. Langkahnya ringan, terlalu percaya diri untuk seseorang yang tahu dirinya sedang dalam masalah. Jeong Wooyoung, mengenakan jaket kulit cokelat yang terlihat seperti milik seseorang lain—atau lebih tepatnya, sesuatu yang ia curi.

“Park Seonghwa,” sapa Wooyoung sambil mendekati meja, senyumnya tipis, penuh rahasia. “Sudah lama tidak bertemu.”

Seonghwa menatapnya tanpa ekspresi, menunjuk kursi di seberangnya. “Duduk.”

Wooyoung tertawa kecil, menduduki kursi dengan santai seperti dia yang mengendalikan percakapan ini. “Apa ini soal laporan bank? Aku janji, aku tidak menyentuh angka di situ. Paling tidak, tidak banyak.”

“Bukan soal bank,” jawab Seonghwa singkat.

Wooyoung mengerutkan dahi. “Kalau bukan soal bank, lalu apa? Kau tidak biasanya mencariku tanpa alasan.”

“Bagaimana kalau kita mulai dengan satu aturan sederhana,” kata Seonghwa sambil menyandarkan tubuh ke kursi, tatapannya tajam seperti belati. “Tidak ada kebohongan malam ini. Tidak satu pun.”

Wooyoung tersenyum, meskipun ada sedikit kegugupan yang muncul di sudut matanya. “Oke. Tidak ada kebohongan. Aku bisa melakukannya.”

Seonghwa mengambil napas dalam. “Kau tahu kenapa aku di sini.”

“Jujur? Tidak.”

“Wooyoung.” Seonghwa mencondongkan tubuh ke depan, suara rendahnya membuat udara di antara mereka terasa lebih berat. “Kau hamil.”

Wooyoung tertegun. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang penuh tipu muslihat, dia kehilangan kata-kata. “Aku... apa?”

“Kau dengar aku,” kata Seonghwa tanpa sedikit pun keraguan.

Wooyoung tertawa gugup, menggelengkan kepala. “Itu—itu gila. Kau pasti bercanda.”

“Kau pikir aku datang ke sini untuk bercanda?” Seonghwa menyipitkan mata. “Aku punya bukti. Dokter sudah memberitahuku.”

Wooyoung menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari celah untuk melarikan diri dari situasi ini, tapi tidak ada jalan keluar. “Bagaimana kau bisa tahu sebelum aku tahu?”

“Karena aku memperhatikanmu,” jawab Seonghwa, suaranya lebih lembut sekarang. “Mual setiap pagi. Ngidam makanan aneh di tengah malam. Dan fakta bahwa kau bahkan tidak mencoba berbohong tentang itu—itu yang paling meyakinkan.”

Wooyoung mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menutupi kekacauan emosionalnya. “Oke, oke. Katakanlah kau benar. Apa yang kau inginkan dariku?”

Seonghwa menatapnya lekat-lekat, ekspresinya tak tergoyahkan. “Aku ingin kau berhenti lari dariku, Wooyoung. Ini bukan hanya tentangmu lagi. Ini tentang kita.”

“‘Kita,’” ulang Wooyoung dengan tawa kecil yang tidak sampai ke matanya. “Itu lucu, Seonghwa. Sejak kapan kita ada sebagai ‘kita’?”

“Sejak malam itu,” jawab Seonghwa tanpa ragu.

Wooyoung terdiam. Malam itu. Malam yang seharusnya dia lupakan, tapi tidak pernah bisa benar-benar dia buang dari pikirannya.

“Dengar,” Wooyoung akhirnya berkata, suaranya lebih pelan. “Aku tidak tahu bagaimana menghadapi ini. Aku bahkan tidak tahu apakah aku cocok untuk... untuk hal ini.”

“Dan kau pikir aku tahu?” Seonghwa menatapnya dengan mata yang sedikit melembut. “Aku tidak punya jawaban untuk semuanya, Wooyoung.”

Wooyoung tertawa kecil, meskipun ada air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Kau selalu terlalu serius, tahu?”

“Kau selalu terlalu keras kepala,” balas Seonghwa, senyum tipis muncul di wajahnya.

Mereka saling menatap dalam diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya Wooyoung menghela napas panjang. “Baiklah. Tidak ada kebohongan malam ini, kan? Jadi, aku akan jujur.”

Seonghwa mengangguk, menunggu.

“Aku takut,” kata Wooyoung, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku takut gagal. Aku takut kehilangan kendali. Dan aku takut... aku tidak cukup baik untuk ini. Untukmu.”

Seonghwa mengulurkan tangan, meraih tangan Wooyoung dan menggenggamnya erat. “Kita tidak perlu sempurna, Wooyoung. Kita hanya perlu ada untuk satu sama lain. Itu saja.”

Wooyoung menatap tangannya yang digenggam oleh Seonghwa, merasakan kehangatan yang anehnya membuat segalanya terasa sedikit lebih mudah. “Kau tahu, aku tidak pernah berpikir aku akan berada di situasi seperti ini.”

“Tidak ada yang pernah berpikir begitu,” jawab Seonghwa dengan senyum kecil. “Tapi hidup punya cara lucu untuk mengubah segalanya.”

Wooyoung tertawa kecil, akhirnya membiarkan dirinya rileks sedikit. “Oke. Kalau begitu, mari kita coba jalani ini. Tapi aku tidak janji aku tidak akan membuat kekacauan di sepanjang jalan.”

“Aku tidak mengharapkan yang lain darimu,” balas Seonghwa sambil mengangkat gelas wiski. “Untuk tidak ada kebohongan lagi.”

Wooyoung mengangkat gelas airnya, menyentuhnya dengan gelas Seonghwa. “Untuk tidak ada kebohongan lagi.”

Tengah malam yang dipenuhi asap rokok dan lampu redup itu, mereka membuat kesepakatan untuk menghadapi segalanya tanpa kebohongan, dan tanpa penyesalan.

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang