Choi San [⚠mpreg] [2]

79 8 0
                                    

"San," suara Wooyoung terdengar lembut namun tegas saat ia menatap suaminya yang sedang membolak-balik dokumen di ruang kerja. Mata San langsung mengangkat dari kertas-kertas itu, fokusnya sepenuhnya pada Wooyoung yang berdiri di ambang pintu. Ada sesuatu dalam sorot mata pria mungil itu yang membuat San merasa akan ada berita besar.

“Ada apa, Sayang?” tanya San, meletakkan dokumen di meja.

Wooyoung melangkah masuk, jari-jarinya yang kecil menggenggam erat sisi kausnya, ekspresinya campuran antara ragu dan tekad. “Aku sudah memikirkannya... tentang permintaanmu.”

San menegakkan tubuh, menahan napas. “Permintaan apa?”

Wooyoung tersenyum tipis, matanya mengunci pada San. “Aku ingin mencoba hamil decaplets. Sepuluh bayi sekaligus.”

Ruangan terasa sunyi sejenak. San menatap Wooyoung dengan ekspresi terkejut yang perlahan berubah menjadi senyuman lebar. Ia bangkit dari kursi, melangkah cepat menghampiri Wooyoung, lalu memegang bahunya dengan lembut. “Kau serius?”

Wooyoung mengangguk, meskipun ada sedikit keraguan di matanya. “Ya. Kau telah memberikan segalanya untukku, San. Aku ingin membalasmu dengan sesuatu yang benar-benar berarti. Kalau itu berarti memberikanmu sepuluh anak sekaligus, maka aku bersedia.”

San tidak bisa menahan dirinya. Ia menarik Wooyoung ke dalam pelukan erat, mencium puncak kepalanya dengan penuh rasa syukur. “Kau luar biasa. Kau tahu itu, kan?”

Wooyoung tersenyum kecil di dada San, tangannya perlahan naik untuk memeluk balik. “Tapi aku punya satu syarat.”

“Apa saja,” jawab San tanpa ragu.

“Kau harus memastikan aku aman. Aku tidak ingin ada hal buruk menimpaku atau bayi-bayi kita.”

San mengangguk cepat, mencium kening Wooyoung dengan penuh keyakinan. “Tentu saja. Aku akan melakukan segalanya untuk memastikan kau dan anak-anak kita baik-baik saja.”

Setelah berkonsultasi dengan dokter, San dan Wooyoung menjalani proses IVF (In Vitro Fertilization) dengan hati-hati. Dokter mengingatkan mereka bahwa kehamilan dengan decaplets adalah sesuatu yang sangat langka dan berisiko tinggi, terutama untuk tubuh mungil Wooyoung. Tapi tekad mereka tidak goyah.

San, yang biasanya tenang dan penuh kendali, berubah menjadi suami yang obsesif. Ia memastikan Wooyoung mendapatkan makanan terbaik, istirahat cukup, dan perawatan medis rutin. Bahkan, ia menyewa tim dokter pribadi yang siap siaga 24 jam di mansion mereka, hanya untuk berjaga-jaga jika ada keadaan darurat.

“Jangan lupa minum vitaminmu,” kata San suatu pagi sambil membawa segelas susu hangat dan sepiring roti panggang.

Wooyoung mendongak dari tempat tidur, tersenyum kecil melihat San yang begitu perhatian. “Kau tahu, kau sudah seperti perawat pribadiku sekarang.”

San mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menyuapkan sepotong roti ke mulut Wooyoung. “Dan aku akan menjadi perawat pribadimu seumur hidup kalau itu berarti kau tetap sehat.”

Wooyoung tertawa kecil, meskipun pipinya sedikit memerah.

Ketika kehamilan Wooyoung memasuki trimester kedua, perubahan besar mulai terlihat. Biasanya, ibu hamil baru menunjukkan baby bump kecil pada fase ini, tapi tubuh Wooyoung berbeda.

San sedang duduk di ruang keluarga, membaca sesuatu di tablet, ketika Wooyoung berjalan masuk mengenakan piyama longgar. Tapi kali ini, sesuatu yang sangat jelas membuat San tertegun.

“Wooyoung...” panggilnya pelan, menatap perut suaminya yang terlihat jauh lebih besar dari yang ia harapkan.

Wooyoung berhenti, menatap San dengan sedikit cemas. “Kenapa? Apa ada yang salah?”

San segera bangkit dan mendekati Wooyoung. Tangannya perlahan menyentuh perut besar itu, matanya dipenuhi rasa takjub. “Tidak... tidak ada yang salah. Aku hanya tidak menyangka kau akan sebesar ini secepat ini.”

Wooyoung menunduk, melihat perutnya sendiri. Memang benar, ia terlihat seperti seseorang yang sudah memasuki trimester akhir, bukan baru trimester kedua. Ia tersenyum kecil, lalu menatap San. “Kita punya sepuluh bayi, San. Aku rasa ini sudah cukup wajar.”

San tertawa kecil, lalu berlutut di depan Wooyoung, menyamakan posisi dengan perut buncitnya. Tangannya dengan lembut mengelus perut itu, dan ia berbisik, “Anak-anakku...”

Wooyoung merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam cara San berbicara, seolah semua cinta di dunia ini terpusat pada bayi-bayi yang ada di dalam perutnya.

San mencium perut Wooyoung, lalu menatapnya dengan senyum lembut. “Terima kasih, Wooyoung. Terima kasih sudah bersedia melakukan ini untukku.”

Wooyoung tersenyum lebar, matanya mulai terasa hangat. Ia mengusap kepala San dengan lembut, membelai rambut hitamnya yang halus. “Aku melakukannya untuk kita berdua. Kau sudah memberikan segalanya untukku, San. Ini caraku membalasmu.”

San berdiri, lalu mencium kening Wooyoung dengan penuh cinta. “Aku tidak tahu bagaimana hidupku sebelum kau datang, tapi aku tahu satu hal. Kau adalah hadiah terbaik dalam hidupku.”

Wooyoung tersenyum malu, lalu menarik San ke pelukan.

Kehamilan Wooyoung terus dipantau dengan ketat. Tim dokter memastikan semuanya berjalan dengan baik, meskipun tubuh Wooyoung harus bekerja ekstra keras untuk menopang sepuluh bayi sekaligus.

San, di sisi lain, tidak pernah jauh dari Wooyoung. Ia selalu memastikan suaminya merasa nyaman, mulai dari memijat punggung Wooyoung yang sering pegal, hingga menghiburnya dengan cerita-cerita lucu ketika malam hari terasa sulit karena sulit tidur.

“San,” kata Wooyoung suatu malam, saat mereka berbaring di tempat tidur. “Apa kau pernah merasa takut?”

San menoleh, menatap mata Wooyoung yang penuh keraguan. “Takut? Takut apa?”

“Takut kalau semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Kalau... aku tidak bisa melakukan ini.”

San meraih tangan Wooyoung, menggenggamnya erat. “Wooyoung, kau adalah orang terkuat yang pernah kutemui. Aku percaya padamu.”

Wooyoung tersenyum kecil, merasa tenang oleh kata-kata San.

Ketika mereka akhirnya mendekati waktu kelahiran, perut Wooyoung sudah hampir tidak masuk akal besarnya. San sering menghabiskan waktu hanya dengan berbicara pada perut itu, menceritakan betapa ia tidak sabar untuk bertemu dengan bayi-bayi mereka.

“Aku bertaruh salah satu dari kalian akan jadi pemimpin,” kata San suatu hari sambil mengelus perut Wooyoung. “Tapi jangan terlalu dominan, ya. Berikan kesempatan pada saudaramu juga.”

Wooyoung tertawa, menggelengkan kepala. “Kau berbicara seperti mereka sudah bisa mengerti.”

San menatap Wooyoung dengan senyum penuh cinta. “Mereka adalah anak-anakku. Tentu saja mereka mengerti.”

Wooyoung hanya bisa menggeleng pelan, merasa hatinya penuh oleh cinta. Semua ini sepadan.

.

Panjang bgt ternyata cerita yg ini :')

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang