Udara segar pegunungan menyelinap masuk ke dalam jendela Bed and Breakfast Champion’s Retreat. Bangunan itu kecil, tapi hangat, dihiasi ornamen kayu tua dan vas bunga palsu yang terlalu sering diabaikan oleh tamu-tamunya.
Wooyoung sedang berdiri di dapur, sibuk membalik pancake terakhir. Pancake-pancakenya selalu berbentuk hati—entah kenapa. Katanya, itu supaya tamu merasa disambut, tapi diam-diam ia menyukai seni menggoda orang yang datang.
Tapi tamu hari ini bukan sembarang tamu. Tidak ketika seorang pria bernama Song Mingi, tinggi menjulang dengan senyum terlalu cerah untuk ukuran manusia normal, memutuskan untuk menginap di tempat kecil ini.
Pintu dapur berderit terbuka, dan Wooyoung tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang masuk. Langkah kaki Mingi selalu terdengar seperti seekor rusa yang mencoba berjalan di atas lantai kayu—terlalu besar dan terlalu tidak terduga.
"Selamat pagi, Chef Wooyoung," sapa Mingi, suaranya seperti alunan bas dalam lagu cinta.
Wooyoung mendengus kecil, tanpa menoleh dari wajan. "Kita tidak formal di sini, Mingi. Panggil saja aku Wooyoung."
Mingi menyandarkan diri ke kusen pintu, mengenakan kaos putih tipis yang terlalu ketat di sekitar dadanya. "Baiklah, Wooyoung. Jadi, apa sarapan spesial juara hari ini?"
Wooyoung meletakkan pancake terakhir di atas tumpukan, sebelum berbalik sambil menepuk tangan ke celemeknya. "Pancake, sirup maple, dan sedikit pesona rumah pedesaan. Gratis untuk tamu yang tidak membuat kekacauan di ruang makan."
Mingi tersenyum lebar. "Aku? Kekacauan? Tidak mungkin."
"Kemarin malam kau hampir menjatuhkan vas bunga, Mingi," balas Wooyoung sambil meletakkan piring di meja kecil dekat jendela. "Aku hampir mengusirmu keluar."
Mingi tertawa kecil dan mendekat. "Tapi kau tidak melakukannya, kan? Mungkin karena aku terlalu memikat?"
Wooyoung melipat tangan di dada, memiringkan kepala dengan ekspresi skeptis. "Atau mungkin karena aku ingin tahu apakah kau benar-benar seorang juara atau hanya bicara besar."
Mingi menarik kursi, duduk dengan santai seperti orang yang tidak punya beban di dunia. "Oh, aku seorang juara, percayalah. Kau sedang melihat peraih medali emas kejuaraan dansa internasional."
Wooyoung terdiam sejenak, lalu tertawa keras. "Dansa? Kau? Aku lebih percaya jika kau bilang kejuaraan makan burger."
Mingi berpura-pura tersinggung, meletakkan tangan di dada seperti aktor drama. "Kau meremehkan kemampuanku? Haruskah aku memberimu demonstrasi?"
"Aku ragu lantai kayu ini bisa menangani gerakanmu yang… bersemangat itu."
Mingi menyeringai dan bangkit berdiri, mendekat ke arah Wooyoung yang tetap di tempatnya. "Kau tahu, Wooyoung, orang-orang sering meremehkan aku. Tapi aku selalu membuktikan bahwa aku punya apa yang dibutuhkan untuk menjadi nomor satu."
"Nomor satu di mana? Menabrak perabotan?"
Mingi tidak menjawab, hanya berdiri terlalu dekat—cukup dekat sehingga Wooyoung bisa mencium aroma kayu manis samar dari tubuhnya.
"Kalau kau tidak percaya, kenapa tidak kita buat taruhan?" kata Mingi dengan suara rendah.
Wooyoung mengangkat alis, mencoba terdengar tidak terintimidasi meskipun tubuhnya tegang. "Taruhan apa?"
Mingi tersenyum kecil, memiringkan kepala ke arahnya. "Jika aku bisa membuatmu mengakui bahwa aku seorang juara dalam waktu lima menit, kau harus memberiku sarapan tambahan."
"Dan jika kau gagal?"
"Aku akan membantu mencuci piring."
Wooyoung merenung sejenak sebelum mengulurkan tangan untuk berjabat. "Deal. Tapi jangan harap aku akan kalah."
Mingi menjabat tangannya, lalu langsung menarik Wooyoung ke tengah ruangan. Sebelum Wooyoung bisa protes, Mingi sudah memegang tangannya dan meletakkan satu tangan lagi di pinggangnya.
"Apa yang kau lakukan?" tuntut Wooyoung, wajahnya memerah.
"Aku menunjukkan kenapa aku juara," jawab Mingi dengan senyuman lebar.
Lalu, tanpa peringatan, Mingi mulai menggerakkan tubuhnya, memimpin Wooyoung dalam tarian improvisasi yang entah bagaimana terasa terlalu sempurna untuk ruang dapur kecil. Wooyoung mencoba memberontak, tapi gerakan Mingi begitu lancar, begitu… memikat.
"Kau tidak serius," gumam Wooyoung sambil mencoba menyembunyikan senyum kecil yang mulai muncul di wajahnya.
"Oh, aku sangat serius," balas Mingi sambil memutar Wooyoung dengan lembut, membuat pria itu hampir kehilangan keseimbangan sebelum ditangkap kembali oleh tangan Mingi.
Hening sesaat. Wooyoung mendongak, mendapati wajah Mingi terlalu dekat dengannya.
"Kau… cukup bagus," aku Wooyoung akhirnya, meskipun suaranya terdengar seperti seseorang yang dipaksa mengaku kalah.
Mingi menyeringai, menundukkan kepalanya sedikit hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Wooyoung. "Cukup bagus? Wooyoung, aku juara dunia. Kau seharusnya bilang 'luar biasa'."
Wooyoung mendorongnya perlahan, mencoba menguasai dirinya. "Baiklah, kau menang. Aku akan buatkanmu sarapan tambahan."
Mingi tertawa kecil dan melepas Wooyoung, kembali duduk dengan puas di kursinya. "Lihat? Aku bilang, aku punya apa yang dibutuhkan untuk menjadi nomor satu."
Wooyoung menghela napas, mencoba menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya. "Kau tahu, Mingi, mungkin aku harus mengusirmu keluar saja sebelum kau membuat kekacauan lebih besar."
Mingi hanya menyeringai, mengangkat bahu. "Atau mungkin kau harus mengizinkan aku tinggal lebih lama, supaya kau bisa terus belajar dari seorang juara."
Wooyoung tidak menjawab, hanya kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan tambahan. Tapi dalam hati, ia tahu pagi itu, Mingi bukan hanya juara di lantai dansa—ia juga juara dalam membuatnya kehilangan akal.
![](https://img.wattpad.com/cover/235087455-288-k922305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanfictionbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_