Kim Hongjoong [⚠mpreg]

57 5 0
                                    

Dapur restoran yang ramai, memiliki aroma bawang putih dan bawang bombay bercampur dengan asap dari panggangan, menciptakan atmosfer yang hampir seperti medan perang. Para sous chef berlarian dengan panik, membawa panci dan pisau, sementara kepala chef mereka, Wooyoung, berdiri di tengah-tengah dapur seperti seorang jenderal yang memimpin pasukannya.

Namun, berbeda dengan jenderal biasa, perut Wooyoung membuncit sempurna karena kehamilan delapan bulannya. Meski begitu, siapa pun yang berpikir ini akan membuatnya lebih lunak jelas-jelas salah besar.

"DI MANA SAUS CILI?!" teriak Wooyoung, menusuk semua orang dengan tatapan membunuhnya. "Kalau saus itu tidak sampai di meja dalam satu menit, aku akan memastikan kalian semua tidak pernah menyentuh dapur lagi!"

Seorang sous chef gemetar sambil membawa mangkuk saus cili seperti membawa bom aktif. "Ma-maaf, Chef Wooyoung! Ini sudah siap!"

"Bagus," kata Wooyoung sambil mencicipinya dengan sendok. Ia mengerutkan kening. "Tapi ini terlalu asin. Buang dan buat yang baru."

Sous chef itu hampir menangis, tapi ia tahu lebih baik untuk tidak membantah. Semua orang di dapur tahu bahwa meskipun perut Wooyoung besar, lidahnya lebih tajam daripada pisau dapur mana pun.

Di luar dapur, Hongjoong duduk di salah satu meja restoran, memandang dapur yang penuh aksi melalui pintu kaca. Ia tersenyum kecil, melihat Wooyoung memimpin dengan begitu tegas meskipun jelas-jelas lelah. Tapi di balik senyumnya, ada kekhawatiran yang mendalam.

Ketika Wooyoung akhirnya keluar dari dapur untuk mengambil napas, Hongjoong langsung berdiri dan menghampirinya.

"Sayang, kau perlu istirahat," kata Hongjoong dengan nada lembut.

"Istirahat? Aku tidak punya waktu untuk itu, Joong. Aku punya lima pesanan lagi yang harus diselesaikan sebelum jam makan malam selesai," jawab Wooyoung, meskipun ia terlihat hampir rubuh.

Hongjoong meraih tangannya, memaksanya untuk berhenti. "Dengar, kau hebat, Wooyoung. Semua orang tahu itu. Tapi kau tidak harus membuktikannya dengan membuat dirimu sendiri kelelahan."

Wooyoung menatapnya tajam, tapi ada kelembutan di balik tatapannya. "Aku hanya… aku tidak ingin terlihat lemah."

"Lemah? Wooyoung, kau adalah kepala chef paling menakutkan yang pernah ada di dunia kuliner. Tidak ada yang akan berpikir kau lemah hanya karena kau butuh istirahat."

Meski awalnya menolak, Wooyoung akhirnya setuju untuk keluar dari dapur sebentar setelah Hongjoong berjanji akan membawanya ke tempat spesial.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah taman kecil yang dihiasi lampu-lampu peri. Di tengah taman itu berdiri pohon ceri besar, cabang-cabangnya menggantung rendah dengan bunga berwarna merah muda yang hampir mekar sempurna.

"Aku ingat tempat ini," kata Wooyoung dengan suara pelan, matanya melunak saat melihat pohon itu. "Kita pernah datang ke sini saat kencan pertama kita, kan?"

Hongjoong tersenyum, menggenggam tangan Wooyoung erat. "Ya, dan aku pikir kau butuh sedikit pengingat tentang bagaimana rasanya santai. Hidupmu tidak hanya soal saus cili dan steak medium rare, Sayang."

Wooyoung terkekeh pelan, suara tawanya terdengar seperti melodi di antara gemerisik angin. "Aku benci saat kau benar seperti ini."

"Kau tidak benci. Kau mencintaiku karena aku selalu benar," balas Hongjoong dengan nada bercanda.

Mereka duduk di bawah pohon ceri, angin lembut menggoyangkan bunga-bunga yang hampir jatuh dari cabangnya. Wooyoung bersandar pada Hongjoong, tangannya mengusap lembut perutnya yang besar.

"Kau tahu," kata Wooyoung tiba-tiba, suaranya lebih pelan. "Kadang aku khawatir, Joong. Apa aku akan jadi orang tua yang baik?"

Hongjoong menatapnya dengan penuh kasih, lalu menyentuh dagu Wooyoung agar ia melihat ke arahnya. "Wooyoung, kau adalah orang yang paling berdedikasi yang pernah aku temui. Kau mungkin tegas, kadang sedikit berlebihan, tapi kau punya hati yang besar. Tidak ada yang meragukan bahwa kau akan menjadi orang tua yang hebat."

"Tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengganti popok!" seru Wooyoung, wajahnya berubah serius. "Bagaimana kalau aku membuat kekacauan? Bagaimana kalau aku—"

Hongjoong memotongnya dengan ciuman lembut di bibirnya. "Kau akan belajar. Kita akan belajar bersama. Dan tidak peduli seberapa sulitnya, kita akan selalu saling mendukung."

Wooyoung terdiam, lalu tersenyum kecil. "Kau benar-benar tahu cara membuatku merasa lebih baik, ya?"

"Itu tugasku sebagai suami," jawab Hongjoong sambil terkekeh.

Mereka berbicara tentang masa depan mereka bersama—tentang harapan, ketakutan, dan kebahagiaan yang mereka rasakan.

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang