Wooyoung duduk di atas batu besar di tepi danau, membiarkan kakinya yang bersisik hijau menggantung di air. Sisik-sisik itu memantulkan cahaya bulan seperti perhiasan yang disebar dengan sembrono. Dia sedang menunggu.
Seperti biasanya.
Dari kedalaman hutan, terdengar suara langkah pelan, lebih seperti bisikan di antara dedaunan. Wooyoung tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Bau khas tanah basah bercampur bau logam sudah cukup untuk membuat hatinya berdegup.
“Telat lagi,” kata Wooyoung, suaranya menggantung di udara seperti tali yang siap diputus.
Yeosang muncul dari bayangan pohon-pohon, sosoknya yang tinggi dan ramping tampak mencolok dengan kulitnya yang pucat seperti es dan tanduk hitam melengkung di kedua sisi kepalanya. Dia adalah incubus, makhluk dari neraka yang sering kali dianggap sebagai simbol dosa.
“Tidak bisakah kau sedikit lebih sabar?” balas Yeosang dengan senyum tipis, memperlihatkan taring kecil di ujung bibirnya.
Wooyoung memutar mata. “Sabar itu sifat para duyung tua yang menunggu kekasihnya di laut. Aku tidak ada hubungannya dengan itu.”
Yeosang mendekat, duduk di sebelah Wooyoung. Jarak mereka cukup dekat sehingga Wooyoung bisa merasakan hawa dingin dari tubuh Yeosang, seperti berdiri di depan gua yang gelap.
“Aku sudah bilang, bertemu seperti ini berbahaya,” kata Yeosang dengan suara rendah, seperti rahasia yang tidak ingin dibagi. “Kalau mereka tahu—”
Wooyoung memotongnya, “Aku tahu risikonya. Kau pikir aku ini siapa? Anak duyung pemula yang baru belajar berenang?” Dia memutar tubuhnya sedikit, menatap Yeosang dengan tatapan penuh perlawanan.
“Tapi risikonya bukan hanya itu, Woo,” kata Yeosang, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. “Tubuhku... keberadaanku bisa menyakitimu.”
Wooyoung mendesah, lalu menaruh tangannya di atas tangan Yeosang yang dingin. Sisik hijau di kulitnya bersinar lembut di bawah sentuhan cahaya bulan. “Aku tahu.”
“Itu bisa membunuhmu,” desak Yeosang, matanya menatap langsung ke dalam mata Wooyoung. “Duyung tidak seharusnya dekat dengan makhluk seperti aku. Keberadaanku seperti racun untukmu. Itu—”
“Cukup,” potong Wooyoung, nadanya tajam tapi tidak kasar. “Aku tahu, oke? Aku tahu semua itu. Tapi aku tidak peduli.”
Yeosang terdiam. Dia ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuat Wooyoung menjauh demi keselamatannya sendiri. Tapi dia tahu itu sia-sia. Wooyoung keras kepala. Itu adalah salah satu hal yang membuat Yeosang jatuh cinta padanya sejak awal.
“Kau sangat keras kepala,” gumam Yeosang akhirnya, meski ada senyum kecil di wajahnya.
“Aku lebih suka dibilang penuh semangat,” balas Wooyoung sambil menyeringai.
Yeosang tertawa pelan, tawa yang terdengar seperti langkah lembut di lantai marmer. Tapi tawa itu tidak berlangsung lama. Matanya kembali serius saat dia menatap Wooyoung. “Aku tidak ingin kau terluka.”
“Dan aku tidak ingin hidup tanpa kau,” balas Wooyoung, nada suaranya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut, lebih jujur. “Jadi, kalau aku harus mengambil risiko, aku akan mengambilnya. Kau sepadan, Yeosang.”
Yeosang menelan ludah, merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Kau terlalu baik untukku.”
“Dan kau terlalu dingin,” balas Wooyoung sambil menggosok-gosok tangan Yeosang, seolah mencoba menghangatkannya. “Tapi aku masih di sini, kan?”
“Masalahnya,” kata Yeosang pelan, “kau tidak seharusnya.”
Keheningan melingkupi mereka sesaat. Angin malam berhembus, membawa bau air danau yang asin dan aroma bunga liar dari hutan.
Wooyoung akhirnya membuka mulut, suaranya sedikit gemetar. “Kau tahu, aku selalu berpikir menjadi duyung itu indah. Kami bisa bernyanyi, berenang ke mana saja, memikat manusia bodoh dengan suara kami.” Dia tertawa pendek. “Tapi ternyata, semua itu hanya hiasan. Tidak ada yang benar-benar peduli pada kami. Kami hanya dianggap pemanis mitologi.”
Yeosang menatapnya, mendengar setiap kata dengan saksama.
“Tapi kau,” lanjut Wooyoung, matanya berkilau seperti air di bawah bulan. “Kau membuatku merasa lebih dari sekadar cerita dongeng.”
Yeosang menghela napas panjang, lalu meraih wajah Wooyoung dengan tangannya yang dingin. Jarinya menyentuh pipi Wooyoung dengan lembut, seperti takut menyakitinya. “Dan kau membuatku merasa seperti aku bisa menjadi lebih dari sekadar monster.”
“Tentu saja bisa,” kata Wooyoung sambil tersenyum kecil. “Kau hanya harus berhenti menyebut dirimu seperti itu.”
Yeosang ingin percaya, tapi jauh di dalam dirinya, dia tahu bahwa cinta mereka tidak akan mudah. Hubungan antara incubus dan duyung adalah tabu. Bukan hanya karena perbedaan spesies mereka, tapi juga karena risiko fisik yang nyata. Energi dari tubuh Yeosang secara perlahan merusak Wooyoung.
Tapi saat ini, di bawah cahaya bulan dan di tepi danau yang sepi, itu semua terasa tidak penting.
“Aku harap cerita kita punya akhir yang bahagia,” bisik Yeosang, meski ada nada getir di suaranya.
Wooyoung tertawa kecil. “Siapa bilang cerita harus berakhir? Kita buat saja ini jadi cerita tanpa akhir.”
Yeosang tersenyum tipis, lalu menarik Wooyoung ke dalam pelukan. Dia tahu hubungan mereka adalah kutukan. Tapi jika kutukan ini adalah harga untuk mencintai Wooyoung, dia akan membayarnya dengan senang hati, berulang kali.
Wooyoung menyandarkan kepalanya di dada Yeosang, mendengar denyut yang nyaris tidak terdengar. “Kau tahu,” katanya pelan, “kalau aku mati karena ini, setidaknya aku akan mati bahagia.”
Yeosang mendengus, mencubit ringan sisi perut Wooyoung. “Itu bukan hal yang romantis untuk dikatakan.”
“Tapi itu jujur,” balas Wooyoung sambil terkikik.
![](https://img.wattpad.com/cover/235087455-288-k922305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Hayran Kurgubottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_