Choi Jongho [⚠mpreg]

59 8 0
                                    

Angin laut menerpa wajah dengan lembut. Jongho sedang mengatur layar perahu kecil mereka, sementara Wooyoung duduk di atas dek dengan wajah lelah. Perutnya yang besar terlihat mencolok di balik kaus longgar yang sudah tidak cukup longgar lagi untuk menutupi semua.

“Bayimu benar-benar tidak tahu waktu,” keluh Wooyoung sambil mengusap perutnya yang bergerak-gerak tak henti, seperti ada tarian salsa yang berlangsung di dalamnya. “Apa dia sedang mencoba menyusun koreografi tari? Atau mungkin ingin mendirikan kapal pesiar di dalam perutku?”

Jongho menoleh dari tugasnya, menyipitkan mata ke arah Wooyoung dengan senyum kecil di wajahnya. “Mungkin dia hanya mengikuti jejakmu, Wooyoung. Kau tahu, menari dengan energi berlebihan.”

Wooyoung mendengus. “Kalau dia mewarisi energiku, maka ini salahmu. Kau yang memutuskan untuk jatuh cinta pada seseorang seperti aku.”

“Tentu saja,” jawab Jongho santai, “aku tidak bisa menolak pesonamu, bahkan jika itu berarti aku harus melawan bayi yang tampaknya ingin menggantikan posisi kapten kapal.”

Wooyoung mendesah, tangannya masih memijat perutnya yang terus bergerak-gerak. “Aku serius, Jongho. Ini melelahkan. Bayi kita sepertinya tidak punya tombol berhenti.”

Melihat ekspresi Wooyoung yang benar-benar kelelahan, Jongho meninggalkan tugasnya dan berjalan mendekat. Ia duduk di samping Wooyoung, meletakkan tangannya yang besar dan hangat di atas baby bump itu. “Hey, nak,” katanya dengan nada lembut yang jarang ia gunakan, “bisakah kau tenang sebentar? Ibumu butuh istirahat.”

Wooyoung mendengus kecil. “Oh ya, karena kau pikir bayi kita akan mendengarkan?”

“Kenapa tidak? Aku ayahnya. Dia harus tahu siapa bosnya.”

“Kalau begitu, kau sebaiknya mulai mempraktikkan menjadi bos dari sekarang,” ejek Wooyoung.

Jongho tidak menjawab. Sebaliknya, ia mencondongkan tubuhnya, lalu dengan penuh keyakinan mencium perut besar itu. “Dengar, nak,” katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan, “kau ini pelaut kecil kami. Kau tahu apa yang dilakukan pelaut sejati? Mereka mendengarkan kapten mereka. Dan kali ini, kaptennya adalah aku.”

Wooyoung menatapnya dengan alis terangkat. “Benar-benar gaya seorang kapten kapal, ya? Membujuk bayi dengan perintah?”

“Tentu saja,” jawab Jongho sambil menatap Wooyoung, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Dan lihat ini, aku punya trik lain.” Ia kembali mencium baby bump itu, kali ini lebih lama, dan berbicara dengan nada penuh kasih, “Kau harus berhenti menendang, oke? Ibumu lelah, dan aku tidak mau dia menderita. Jadi, pelaut kecil, beri kami sedikit istirahat.”

Seketika, perut Wooyoung berhenti bergerak.

Wooyoung membelalakkan mata, menatap Jongho seperti melihat keajaiban. “Tunggu, apa benar dia berhenti? Apa kau… apa kau penyihir?”

Jongho menyeringai puas. “Aku bilang aku adalah kapten kapal, kan? Kapten selalu punya cara untuk menenangkan awaknya.”

Wooyoung tertawa kecil, tetapi ia segera menutupi mulutnya dengan tangan. “Tapi serius, Jongho, kau benar-benar berbicara dengan perutku. Kalau orang lain melihat ini, mereka pasti berpikir kau sudah kehilangan akal.”

“Biar saja mereka berpikir begitu. Aku tidak peduli,” kata Jongho santai. “Yang penting, kau merasa lebih baik sekarang, kan?”

Wooyoung mengangguk pelan, ekspresi di wajahnya berubah menjadi lembut. Ia menatap Jongho, matanya penuh rasa terima kasih. “Kau memang aneh, tahu? Tapi… aku senang punya kau di sisiku.”

“Aneh?” Jongho tertawa kecil. “Itu pujian terbaik yang pernah aku dengar darimu.”

“Oh, kau mau aku memuji lebih banyak? Baiklah. Kau juga keras kepala, menyebalkan, dan terlalu percaya diri.”

“Tapi kau tetap mencintaiku,” balas Jongho dengan santai, senyum penuh kemenangan menghiasi wajahnya.

Wooyoung berpura-pura mendesah, meskipun senyumnya mulai mengembang. “Ya, kau benar. Mungkin aku juga sudah kehilangan akal.”

Mereka tertawa bersama, suara mereka bercampur dengan suara deburan ombak di sekitar perahu. Jongho mengusap perut besar Wooyoung dengan lembut, dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, Wooyoung merasa damai.

“Tahu tidak,” kata Wooyoung tiba-tiba, “kalau bayi ini lahir nanti, aku akan memastikan dia tahu bahwa kau adalah orang yang berhasil membuatnya tenang untuk pertama kali.”

“Tentu saja,” jawab Jongho dengan bangga. “Dan aku juga akan memastikan dia tahu bahwa ibunya suka terlalu dramatis soal segalanya.”

Wooyoung mencubit lengan Jongho. “Aku tidak dramatis! Aku hanya… ekspresif.”

Jongho tertawa lagi, menatap Wooyoung dengan mata penuh cinta. “Ekspresif, ya? Kalau begitu, aku tidak sabar melihat bagaimana kau akan menghadapi bayi kita yang mungkin akan lebih ekspresif darimu.”

Wooyoung memutar bola matanya, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar hilang dari wajahnya. “Kalau begitu, kau harus siap menjadi kapten untuk dua orang yang ekspresif.”

“Oh, aku sudah siap sejak lama,” jawab Jongho sambil mengecup kening Wooyoung. “Dan aku akan memastikan pelayaran kita selalu penuh kebahagiaan.”

Dengan perasaan hangat yang memenuhi hati mereka, pasangan itu menikmati sisa hari di atas perahu, melayang di tengah laut biru, bersama bayi kecil yang akhirnya berhenti menendang—setidaknya untuk sementara.

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang