Hutan itu gelap dan menyeramkan, seperti lukisan muram yang dilukis oleh seniman pemurung dengan palet warna terbatas. Yunho berdiri di tengahnya dengan jaket kulit yang entah bagaimana tetap kering meski hujan mengguyur tanpa henti. Wajahnya sempurna, seperti diukir oleh dewa-dewa yang bosan, dan senyum nakalnya—jangan salah, itu jebakan maut. Sementara itu, Wooyoung, yang dengan susah payah mencoba menjaga keseimbangan di atas akar pohon licin, tampak seperti anak kucing yang tersesat.
“Jadi,” Wooyoung berkata dengan nada tajam, “kau seorang vampir.”
Yunho mengangkat bahu dengan santai, menyandarkan tubuh tingginya pada batang pohon tua. “Lebih dari sekadar vampir. Aku legenda.”
Wooyoung mendengus, mencengkeram jaketnya lebih erat saat angin dingin menerpa. “Legendaris dalam membual, mungkin.”
“Oh, aku serius.” Yunho mendekat, langkahnya ringan namun penuh tekad. Cahaya bulan yang menembus dedaunan menciptakan bayangan yang aneh di wajahnya, membuatnya terlihat seperti penjahat dalam film murahan. “Aku sudah hidup selama berabad-abad. Melihat kerajaan bangkit dan runtuh, menyaksikan perang besar, bahkan mencoba kopi saat pertama kali ditemukan. Itu pengalaman luar biasa, by the way.”
“Tapi kau masih saja di sini, di hutan ini, mengejarku.” Wooyoung menatapnya dengan ekspresi setengah geli, setengah curiga. “Kenapa? Tidak ada hal yang lebih penting untuk dilakukan? Seperti, entah, menghentikan apokalips atau semacamnya?”
Yunho mendekat lagi, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Wooyoung. “Kau tahu, ketika kau menemukan sesuatu yang benar-benar berharga, kau tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.”
“Dan apa yang berharga itu… aku?” Wooyoung mengangkat alis, ekspresinya setengah tidak percaya.
“Bukan sesuatu,” Yunho mengoreksi dengan nada penuh pesona. “Seseorang. Dan ya, itu kau, Wooyoung.”
Wooyoung merasa wajahnya memanas, meskipun udara di sekitar mereka cukup dingin untuk membekukan nyali. “Kau tahu, ini terdengar seperti dialog dari film romansa murahan.”
“Memangnya kenapa?” Yunho menyeringai, taringnya sedikit terlihat di bawah sinar bulan. “Kadang-kadang, klise berhasil.”
Wooyoung mendesah, mencoba mengabaikan fakta bahwa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. “Kau ini berbahaya, Yunho. Kau bisa membunuhku kapan saja.”
“Tentu saja,” Yunho berkata sambil menyandarkan tangannya di pohon di sebelah kepala Wooyoung. “Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya.”
“Oh, betapa murah hati.”
“Kau tidak tahu setengahnya.” Yunho menatap Wooyoung dengan intensitas yang membuat pria yang lebih kecil itu mundur setengah langkah—hanya untuk menyadari bahwa ia sudah terjebak di antara tubuh Yunho dan pohon besar itu.
“Kau… kau benar-benar tahu cara menggunakan tubuhmu untuk intimidasi, ya?” Wooyoung berusaha tetap tenang, meskipun ia tahu usahanya sia-sia.
“Bukan hanya untuk intimidasi.” Yunho berbisik pelan, dan suara rendahnya membuat Wooyoung merinding.
“Berhenti bermain-main, Yunho.”
“Siapa bilang aku bermain-main?” Yunho menunduk sedikit, sehingga wajah mereka kini sejajar. “Aku serius.”
Wooyoung menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan, tapi yang ia temukan hanyalah kesungguhan di balik mata gelap Yunho. Dan itu membuatnya semakin takut—bukan karena Yunho adalah vampir, tapi karena ia tahu bahwa pria itu bisa menghancurkan dinding yang selama ini ia bangun di sekitarnya.
“Kenapa aku?” Wooyoung akhirnya bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
“Karena kau kuat.” Yunho mengangkat tangannya, menyentuh wajah Wooyoung dengan lembut. “Lebih kuat dari yang kau sadari. Kau bertahan, bahkan ketika dunia mencoba menghancurkanmu. Aku melihat itu, dan aku kagum.”
Wooyoung terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar terlihat—bukan hanya sebagai seseorang yang lucu atau menyebalkan, tapi sebagai seseorang yang layak untuk diperjuangkan.
“Yunho…”
“Ya?” Yunho menjawab dengan lembut, masih menatapnya tanpa berkedip.
“Kalau kau berencana menciumku, lakukan saja. Aku tidak punya waktu sepanjang malam.”
Yunho tertawa, suara rendahnya bergema di antara pepohonan. “Kau benar-benar tahu cara merusak suasana, ya?”
“Itu bakat alami.”
“Baiklah, kalau begitu.” Yunho menunduk, dan sebelum Wooyoung sempat mengucapkan komentar sarkastik lainnya, bibir pria itu sudah menempel di bibirnya.
Ciuman itu dalam dan penuh gairah, seperti badai yang menyapu segalanya. Wooyoung awalnya kaku, tapi perlahan tubuhnya melemas di bawah sentuhan Yunho. Tangan pria itu melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tidak ada jarak di antara mereka.
Ketika mereka akhirnya berpisah, Wooyoung merasa napasnya terengah-engah. Yunho menatapnya dengan senyum nakal yang sama seperti sebelumnya.
“Jadi, bagaimana?” Yunho bertanya, nadanya penuh percaya diri.
Wooyoung memutar matanya. “Lumayan.”
“Lumayan?” Yunho tampak tersinggung. “Itu ciuman terbaik dalam sejarah umat manusia.”
“Ya, ya. Terus saja percaya itu.” Wooyoung berbalik, mencoba menyembunyikan senyumnya. Tapi sebelum ia sempat melangkah, Yunho menariknya kembali ke dalam pelukan.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Wooyoung,” Yunho berbisik di telinganya, suaranya penuh keyakinan.
Wooyoung mendesah, tapi tidak mencoba melawan. “Kau benar-benar menyebalkan, tahu?”
“Tapi kau menyukaiku.”
“Sayangnya, ya.”
Mereka berdua tertawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanfictionbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_