Wooyoung selalu merasa Jongho lebih cocok menjadi tokoh di novel-novel klasik daripada manusia biasa. Dengan suara yang dalam dan menenangkan, cara Jongho bicara selalu terdengar seperti kalimat pertama buku yang dijamin akan menjadi bestseller. Tapi apa yang terjadi akhir-akhir ini sudah terlalu gila bahkan untuk novel.
“Jadi…” Wooyoung memulai kalimat itu dengan nada hati-hati, duduk di lantai di depan perapian kecil. Jari-jarinya mencengkeram mug berisi teh herbal yang Jongho buatkan. “Kamu yakin ini normal?”
Jongho, yang duduk di sofa kulit tua dengan ekspresi tenang, hanya mengangkat bahu. “Tidak ada yang normal soal ini, Woo.”
“Itu yang aku takutkan,” Wooyoung mendesah. Ia meletakkan mugnya di lantai dan menatap Jongho. “Kita bicara soal aku, pria manusia biasa, sekarang… hamil. Ini bahkan tidak masuk akal dari sudut pandang biologis.”
Jongho tersenyum kecil, ekspresi yang lebih menenangkan daripada seharusnya dalam situasi ini. “Aku bilang, kan, itu anugerah. Leluhurku selalu mengatakan, ‘Terribilis est locus iste’—tempat ini mengerikan tapi suci. Itu berlaku untuk semua keajaiban di dunia.”
“Ini bukan keajaiban, Jongho. Ini… ini seperti plot film sci-fi murah.”
“Tapi kamu masih di sini,” balas Jongho lembut, tanpa tanda-tanda terganggu.
Wooyoung membuka mulutnya untuk membalas, tapi tidak ada kata yang keluar. Jongho benar. Meski otaknya berteriak untuk lari, kakinya selalu membawanya kembali ke kabin tua ini, di tengah padang rumput yang tidak ada habisnya.
Kabinnya sederhana tapi hangat, seperti sesuatu yang ditarik langsung dari cerita rakyat. Dinding-dinding kayu beraroma pinus, jendela kecil dengan tirai tipis yang memungkinkan sinar matahari pagi masuk, dan sebuah perapian besar yang tampaknya menjadi pusat dari segalanya. Jongho selalu mengatakan bahwa kabin ini adalah tempat ia “berhubungan dengan leluhur.”
“Leluhurmu tahu soal… situasi ini?” tanya Wooyoung suatu malam, saat mereka sedang duduk di luar, menatap bintang-bintang.
Jongho, yang sedang mengasah pisau kecil dengan santai, tertawa pelan. “Mungkin. Tapi mereka tidak berbicara banyak sejak kamu datang.”
Wooyoung menatapnya tajam. “Kenapa aku merasa mereka tidak suka aku?”
“Bukan itu,” Jongho menjawab, menaruh pisaunya dan menatap Wooyoung dengan serius. “Mereka hanya… terkejut. Aku tidak pernah membawa siapa pun ke sini sebelumnya.”
“Ya, dan aku yakin tidak ada orang lain yang meninggalkan tempat ini sambil membawa bayi di perutnya.”
Jongho tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Itu benar. Kamu spesial.”
“Ya, spesial. Spesial seperti eksperimen ilmiah gagal.”
Pagi berikutnya, Wooyoung bangun dengan aroma sesuatu yang manis. Ia mengendus udara, lalu bangkit dari tempat tidur kecilnya, berjalan ke dapur.
Jongho sedang berdiri di sana, mengenakan kaos putih yang melekat sempurna di tubuhnya dan apron tua yang penuh dengan noda. Di depannya ada sebuah meja kayu penuh dengan bahan-bahan mentah—tepung, madu, buah beri liar.
“Kamu masak?” Wooyoung bertanya, menggosok matanya.
“Roti manis,” jawab Jongho tanpa menoleh. Tangannya sibuk mencampur adonan. “Resep dari nenekku. Katanya ini membantu… meringankan beban.”
“Meringankan beban? Kamu tahu aku cuma hamil, kan, bukan kena santet?”
“Wooyoung,” Jongho menoleh, menatapnya dengan ekspresi sabar. “Kamu lupa? Leluhurku percaya bahwa kehamilan itu setara dengan menerima bunga mawar dari roh agung. Mawar itu indah, tapi durinya menusuk. Kita harus menyeimbangkannya.”
“Jadi, roti manis bisa bikin aku nggak merasa… tertusuk?”
“Setidaknya bisa bikin kamu berhenti mengeluh.”
Wooyoung melempar tatapan tajam yang tidak terlalu efektif karena wajah Jongho terlalu tampan untuk dibenci.
Di luar kabin, padang rumput bergoyang pelan diterpa angin. Wooyoung duduk di teras, menggenggam roti manis yang ternyata jauh lebih enak dari ekspektasinya. Jongho duduk di sampingnya, diam-diam mengamati pemandangan.
“Kamu tahu,” Wooyoung akhirnya berbicara, memecah keheningan, “Aku nggak pernah membayangkan hidupku akan seperti ini.”
Jongho menoleh. “Kamu menyesal?”
“Bukan itu.” Wooyoung memandang langit, mencoba merangkai kata-kata. “Ini cuma… banyak. Maksudku, aku di sini, di tempat yang bahkan Google Maps nggak bisa temukan, dengan seorang pria yang percaya pada roh leluhur, dan sekarang aku hamil. Itu seperti sesuatu yang hanya terjadi di fanfiction buruk.”
Jongho tertawa pelan, suara yang dalam dan menenangkan. “Fanfiction buruk atau legenda yang belum ditulis? Kadang, batasnya tipis.”
Wooyoung mengerutkan dahi, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya. “Kamu selalu punya jawaban filosofis untuk semuanya, ya?”
“Bukan filosofis. Cuma… pandangan lain.”
Mereka terdiam lagi, membiarkan suara angin dan burung mengisi udara.
“Jongho,” Wooyoung memulai lagi, kali ini dengan nada lebih serius, “Kalau aku beneran melahirkan anak setengah manusia setengah… apapun kamu ini, apa yang akan kita lakukan?”
“Kita membesarkannya,” jawab Jongho tanpa ragu.
“Di sini? Di tengah padang rumput?”
“Di mana pun kita berada,” Jongho menoleh, menatap Wooyoung dalam-dalam, “selama kita bersama, tempat itu akan menjadi rumah.”
Wooyoung tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya mengangguk pelan, menatap kembali ke padang rumput yang seolah-olah mengangguk bersamanya.
Jongho:
“Terribilis est locus iste. Tempat ini mengerikan, tapi indah. Sama seperti hidup. Aku rasa, menjadi ayah berarti menerima itu—menghadapi ketakutan dan merayakan keajaiban, semuanya bersamaan.”Malam tiba, dan Wooyoung duduk di samping perapian lagi. Kali ini, ia tidak memegang mug teh herbal. Ia hanya memandang Jongho, yang sedang memainkan lagu lembut di gitarnya.
Mawar liar tumbuh di sekitar kabin mereka, duri-durinya berkilauan di bawah sinar bulan. Dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi, Wooyoung merasa, untuk pertama kalinya, bahwa mungkin Jongho benar.
Mungkin hidup memang tentang menerima duri bersama bunganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanfictionbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_