Langit malam Meksiko bersinar dengan warna-warna cerah saat ribuan lilin menyala di seluruh kota untuk merayakan Día de los Muertos. Meja altar penuh dengan foto orang-orang tercinta, gula tengkorak, dan bunga marigold yang tampaknya mencium udara dengan keharumannya.
Di tengah keramaian, Wooyoung berdiri di depan altar keluarganya, mengenakan pakaian hitam sederhana yang kontras dengan wajahnya yang penuh lukisan tengkorak putih. Tapi alih-alih merasakan suasana haru seperti kebanyakan orang, dia hanya bisa mendesah.
“Kenapa aku harus melakukan ini sendiri?” gumamnya, memandang sekotak besar lilin yang harus ia atur. "Bukankah ini seharusnya tugas seluruh keluarga?"
“Karena kau satu-satunya yang tidak bisa menolak permintaan ibu,” jawab suara yang terlalu familiar dari belakang.
Wooyoung menoleh dan mendapati San berdiri di sana, mengenakan jaket kulit hitam dengan corak tengkorak di bahunya. Rambutnya yang hitam berkilauan diterpa cahaya lilin, dan senyum di bibirnya terlalu santai untuk seseorang yang baru saja muncul entah dari mana.
“San,” gumam Wooyoung dengan nada penuh kekesalan. “Apa kau pikir ini pesta kostum?”
San mengangkat bahu, mendekat sambil mengambil salah satu gula tengkorak dari altar. “Kenapa tidak? Lagipula, kau sudah terlihat seperti... hantu kecil yang lucu.”
Wooyoung mendengus, mencoba merebut gula tengkorak dari tangan San. “Ini bukan untuk dimakan, dasar bodoh! Ini persembahan!”
“Persembahan?” San mengangkat alisnya, memasukkan gula tengkorak itu ke sakunya dengan senyum licik. “Kalau begitu, berikan saja padaku. Aku cukup layak untuk dipersembahkan.”
Wooyoung memutar matanya, tapi wajahnya memerah sedikit. “Kau tidak bisa serius selama lima menit, ya?”
“Aku serius kalau diperlukan,” jawab San, mendekat hingga jarak di antara mereka hampir tidak ada. “Misalnya, ketika aku bilang kau terlihat luar biasa malam ini.”
Wooyoung mencoba melangkah mundur, tapi ada altar di belakangnya, jadi ia terjebak. “San, berhenti dengan leluconmu. Ini malam yang serius!”
“Serius?” San menyandarkan satu tangan ke altar, menatap Wooyoung dengan intensitas yang tidak biasa. “Malam ini tentang merayakan kehidupan, kan? Dan aku sedang merayakan hidupku dengan memandangi wajahmu.”
Wooyoung merasa wajahnya memanas. “Kau benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, ya?”
San tersenyum, senyum kecil yang membuat Wooyoung ingin meninju atau mencium pria itu—ia tidak yakin yang mana. “Kapan pun kau ingin aku berhenti, katakan saja.”
Ada jeda yang aneh, di mana Wooyoung mencoba mencari kata-kata, tapi pikirannya penuh dengan bagaimana San berdiri terlalu dekat, bagaimana bau kayu manis dari altar bercampur dengan aroma khas San yang membuatnya merasa... aneh.
“Apa kau tahu,” kata San tiba-tiba, suaranya lebih rendah sekarang, “di budaya ini, mereka percaya bahwa batas antara dunia kita dan dunia roh hampir tidak ada malam ini?”
Wooyoung menelan ludah, mencoba mengabaikan cara San memandangnya seolah ia adalah sesuatu yang harus dirayakan. “Dan apa hubungannya itu denganmu?”
San menyeringai. “Mungkin, jika aku cukup beruntung, aku bisa melintasi batas itu... langsung ke dalam hatimu.”
Wooyoung mendengus, mencoba terlihat terganggu meskipun bibirnya melengkung sedikit ke atas. “Kalau kau terus berbicara seperti itu, aku mungkin akan mengirimmu ke dunia roh lebih cepat.”
“Aku akan menerima nasibku dengan senang hati,” balas San, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Wooyoung, ibu jarinya menyapu sedikit cat tengkorak yang mulai memudar di pipinya. “Karena aku tahu kau akan selalu menyimpan aku di sini.”
San menekan tangan yang lain ke dada Wooyoung dengan lembut, tepat di atas jantungnya. Wooyoung membeku, seluruh tubuhnya terasa seperti terbakar oleh sentuhan itu.
“Kau terlalu dramatis,” gumam Wooyoung akhirnya, mencoba menyembunyikan gemetarnya.
“Tentu saja,” jawab San dengan nada ringan. “Tapi kau menyukai itu, kan?”
Wooyoung membuka mulut untuk membantah, tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, San sudah bergerak. Bibir mereka bertemu dengan lembut, hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat Wooyoung lupa bagaimana caranya bernapas.
Ketika San menarik diri, ia masih tersenyum, tapi kali ini senyumnya lebih lembut, lebih nyata. “Di dadaku, Wooyoung,” bisiknya, “hanya ada kamu.”
Wooyoung menatapnya, matanya besar karena kaget dan pipinya merah karena malu. “Kau... kau tidak bisa mengatakan hal seperti itu begitu saja!”
“Kenapa tidak?” balas San, masih berdiri terlalu dekat. “Itu benar, kan?”
Wooyoung tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan senyum yang mulai terbentuk di bibirnya.
Di belakang mereka, lilin-lilin terus berkedip, seolah para leluhur yang telah tiada sedang menonton dengan penuh antusias. Dan mungkin, di suatu tempat di dunia roh, seseorang sedang tertawa sambil berkata, “Anak muda zaman sekarang memang aneh, tapi setidaknya mereka tahu bagaimana menikmati hidup.”
![](https://img.wattpad.com/cover/235087455-288-k922305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanficbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_