Wooyoung sedang duduk di kursi berlapis beludru, tangannya sibuk memijat punggung bawahnya yang terasa seperti dihantam asteroid. Di dunia utopia ini, teknologi sudah sangat maju. Namun, tidak ada teknologi secanggih apa yang ada di dalam tubuhnya saat ini. Sebuah kehamilan hasil eksperimen, dan dia adalah subjek pertama—subjek istimewa, katanya. Istimewa apanya? Perutnya sekarang sebesar bola dunia. Dan perutnya berbunyi tiap kali bayi itu menendang. "Dong! Dong! Dong!" seperti dentang lonceng logam.
“Seonghwa!” teriak Wooyoung, suaranya bergema di apartemen futuristik mereka. Suaminya, Seonghwa, muncul dari dapur dengan celemek bertuliskan "Top Chef of the Galaxy", tangan kanan membawa pisau, tangan kiri memegang semangka yang sudah setengah terbelah.
“Ada apa lagi, Youngie?” Seonghwa bertanya sambil meletakkan semangka di atas meja dapur yang berkilau seperti titanium, cocok dengan tema hidup mereka yang serba mengkilap.
“Kamu bilang aku hamil titanium baby, kan?” Wooyoung menatap Seonghwa dengan tatapan mematikan. “Kenapa rasanya kayak aku hamil buldozer?!"
Seonghwa tersenyum kecil, mencoba tidak terlihat panik. Dia tahu bahwa Wooyoung yang hamil tua ini lebih sensitif daripada sistem keamanan biometrik di rumah mereka. "Sayang, kamu tahu sendiri, bayi ini spesial. Dia gabungan DNA kita dengan elemen titanium. Dia akan jadi manusia pertama yang benar-benar... kuat. Bayangkan saja, dia bisa menggantikan Menara Eiffel kalau diperlukan!"
“Kalau begitu kamu yang lahirin dia!” Wooyoung merengut, lalu mengerang kesakitan. “Astaga, kontraksi lagi! Seonghwa, aku bakal mati!”
Seonghwa buru-buru mendekat, membuang pisaunya dan menggenggam tangan Wooyoung. “Santai, Wooyoung, napas dulu. Huf huf, lihat aku.” Dia mencontohkan teknik pernapasan ala yoga yang dia pelajari dari aplikasi parenting. Wooyoung menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
“Yoga, Seonghwa? Apa kamu pikir aku sempat memikirkan napas waktu bayi ini berusaha menghancurkan panggulku?!”
Seonghwa tersenyum kecut, mengerti bahwa ini bukan waktunya berdebat. Dia meraih tablet medis di meja mereka dan memanggil kendaraan medis otomatis. “Oke, mobil ambulans akan sampai dalam lima menit. Kita harus ke Pusat Bersalin sekarang.”
Wooyoung hanya mendengus, tetapi detik berikutnya, erangan panjang keluar dari mulutnya. “Oh Tuhan, Seonghwa! Sesuatu mulai turun! Aku rasa aku mau melahirkan di sini!”
Mata Seonghwa melebar seperti piring. Dia panik, tetapi mencoba tidak menunjukkan itu. “Tidak tidak tidak! Wooyoung, tahan sebentar! Mobilnya hampir sampai!”
“Aku gak bisa, Park Seonghwa! Kalau bayi ini keluar sekarang, dia bakal bikin lubang di lantai titanium kita!” Wooyoung berteriak, suaranya berubah hampir seperti sirene.
Dan benar saja, sirene mobil medis akhirnya terdengar. Dengan tergesa-gesa, Seonghwa membantu Wooyoung ke dalam kendaraan, yang kemudian melaju dengan kecepatan luar biasa ke Pusat Bersalin Titanium—fasilitas khusus untuk kehamilan non-konvensional seperti ini.
Di ruang persalinan yang bercahaya biru lembut, Wooyoung terbaring di atas ranjang transparan. Para dokter dan perawat, berpakaian seragam titanium berkilau, bersiap dengan peralatan canggih mereka. Salah satu dokter, seorang pria muda dengan rambut pirang neon, mendekat dan tersenyum.
“Wooyoung-ssi, jangan khawatir. Kami sudah menangani kehamilan eksperimen seperti ini sebelumnya,” kata Dokter Hong, meski sebenarnya ini juga kasus pertama baginya.
“Tunggu,” Wooyoung mengangkat tangannya. “Ini eksperimen pertama, kan? Jadi, kalau aku mati, aku akan jadi martir, ya?”
Dokter Hong tersenyum kaku. “Tidak sejauh itu. Kami punya teknologi terbaik.”
Wooyoung menatap Seonghwa dengan mata berair. “Kalau aku gak selamat, tolong kamu jangan nikah lagi. Aku gak mau ada orang lain yang lihat kamu telanjang!”
Seonghwa, yang sudah basah oleh keringat, hanya mengangguk. “Aku gak akan, Wooyoung. Fokus aja ke pernapasan.”
Proses persalinan dimulai. Dokter memeriksa dilatasi Wooyoung dan mengangguk pelan. “Oke, sudah sepuluh sentimeter. Ini waktunya.”
“Sepuluh apa?! Kenapa rasanya kayak seratus sentimeter?!” Wooyoung menjerit, mencengkeram tangan Seonghwa seperti mau menghancurkan tulangnya.
“Kamu hebat, Youngie,” Seonghwa berkata, meski wajahnya sudah meringis menahan sakit. “Kamu ini pahlawan.”
Wooyoung tidak punya tenaga untuk membalas sindiran. Dia hanya meringis saat para dokter menyuruhnya mengejan.
“Baik, Wooyoung-ssi, dorong!” seru Dokter Hong. Wooyoung mengejan, keringat bercucuran dari dahinya.
“Saya bisa lihat crowning-nya!” kata salah satu perawat.
“Crowning?” tanya Seonghwa, yang masih bingung dengan istilah medis.
“Artinya kepala bayi sudah mulai terlihat,” jawab Dokter Hong, sambil tersenyum. “Ayo, Wooyoung-ssi, sekali lagi!”
Wooyoung mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa seperti sedang mencoba mendorong planet keluar dari tubuhnya. "AAAAARGH!" teriakannya menggema di seluruh ruangan, membuat Seonghwa yakin telinganya berdenging.
Dan akhirnya, kepala bayi itu keluar, berkilauan seperti logam yang baru dipoles.
“Hebat! Kepala bayi sudah keluar. Sekarang kita akan bantu mengeluarkan bahunya,” kata Dokter Hong, dengan nada penuh semangat seperti sedang memimpin upacara.
“Tunggu, dia pakai bahu segala?!” Wooyoung mengeluh di sela-sela nafasnya, tapi rasa lega sedikit muncul saat dia merasa tekanan mulai berkurang.
Proses berikutnya berlangsung cepat. Para dokter bekerja dengan cermat, menarik bayi itu keluar sepenuhnya. Dan tiba-tiba, tangisan nyaring mengisi ruangan.
Bayi itu—bayi titanium pertama—lahir dengan sempurna. Kulitnya bersinar seperti logam cair, matanya besar dan bersinar biru seperti lampu LED. Seonghwa menatapnya dengan air mata berlinang. “Wooyoung, lihat… dia luar biasa.”
Wooyoung hanya tersenyum lemah. “Bagus. Sekarang giliran kamu gendong dia. Aku mau tidur.” Dia menutup matanya, terlalu lelah untuk peduli pada apa pun lagi.
Dokter Hong memberikan bayi itu pada Seonghwa, yang menerimanya dengan hati-hati. Bayi itu terasa berat, seperti memegang bongkahan logam, tapi entah kenapa, hatinya terasa ringan.
“Dia benar-benar titanium, ya?” Seonghwa berbisik, memandangi wajah kecil yang bercahaya itu.
“Dan aku benar-benar titanium,” gumam Wooyoung dari ranjang, setengah tertidur. “Titanium yang mau istirahat sekarang.”
Ruangan itu penuh tawa kecil, tangisan bayi, dan perasaan hangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanficbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_