Wooyoung menatap pemandangan kota dari balik jendela apartemennya yang tinggi. Langit malam yang penuh lampu neon terlihat begitu hidup, namun di dalam hatinya, semua terasa berantakan. Ia tidak pernah suka perubahan. Perubahan berarti ketidakpastian, dan ia benci merasa tidak memiliki kendali.
"Wooyoung, kau serius hanya akan berdiri di sana seperti patung?" Suara San yang tegas namun santai terdengar dari sofa di ruang tengah, diselingi bunyi keripik yang dikunyahnya tanpa ampun.
Wooyoung menghela napas, akhirnya berbalik. "Aku tidak sedang berdiri seperti patung. Aku merenung."
San mengangkat alisnya sambil menyeringai kecil, lalu menunjuk kursi di depannya dengan gerakan dagu. "Kalau begitu, duduklah di sini dan merenung dengan cara yang lebih manusiawi. Kau terlihat seperti tokoh dalam drama murahan."
Wooyoung memutar bola matanya tapi tetap menurut. Ia berjalan ke arah sofa dan menjatuhkan dirinya di kursi berlawanan dengan San. "Kau tidak mengerti."
"Benar," kata San santai, membuka bungkus keripik lain. "Aku tidak mengerti. Karena kau tidak menjelaskan apa-apa."
Wooyoung mendengus, tangannya melipat di dada. "Aku hanya... merasa aneh tentang semua ini."
"Semua ini apa?" tanya San, mencoba memancing sambil melemparkan potongan keripik ke mulutnya.
"Semua ini." Wooyoung melambai-lambaikan tangannya, seolah itu sudah cukup jelas. "Pekerjaan baru, lingkungan baru, dan... kau."
San berhenti mengunyah dan menatap Wooyoung dengan ekspresi main-main. "Aku? Apa maksudmu 'dan aku'?"
Wooyoung menggigit bibirnya, terlihat gugup. "Kau tahu maksudku. Kita. Ini. Semua terasa... berubah."
San menahan senyumnya, meletakkan kantong keripik di meja. Ia bersandar ke sofa, memandang Wooyoung dengan tatapan intens yang membuat pria itu gelisah.
"Wooyoung," kata San pelan, "bukankah perubahan itu yang membuat semuanya jadi menarik?"
"Tidak," jawab Wooyoung cepat. "Perubahan itu berantakan dan tidak nyaman."
San tertawa kecil, suaranya berat namun lembut. Ia kemudian bangkit dari sofa dan berjalan mendekat, lalu berlutut di depan Wooyoung. "Kau tahu, kau ini seperti kucing manja. Selalu ingin segala sesuatu tetap sama, tapi kalau tidak diberi perubahan, kau bosan sendiri."
"Aku tidak manja," protes Wooyoung, wajahnya sedikit memerah.
San mengangkat dagu Wooyoung dengan dua jarinya, membuat pria itu terpaksa menatapnya. "Kau mungkin tidak menyukai perubahan, tapi lihat dirimu sekarang. Kau sudah melalui banyak hal. Kau pindah ke kota baru, mengambil pekerjaan yang lebih besar, dan... kau menerima aku dalam hidupmu."
Wooyoung membuka mulutnya untuk membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
"See?" San tersenyum kecil. "Kau tidak memberi dirimu cukup pujian. Kau lebih kuat daripada yang kau pikirkan."
"Tapi aku takut," bisik Wooyoung akhirnya, suara kecilnya hampir tenggelam dalam hiruk-pikuk malam di luar.
San menghela napas lembut, lalu meraih tangan Wooyoung dan menggenggamnya erat. "Kita semua takut. Tapi perubahan bukan sesuatu yang harus kau lawan. Kadang, kau hanya perlu membiarkannya terjadi."
Wooyoung memandang San, ekspresi pria yang berlutut di depannya itu begitu tulus, begitu... menenangkan. "Dan kau tidak takut? Dengan kita, maksudku."
San tersenyum, kali ini lebih lembut. "Tentu saja aku takut. Tapi aku lebih takut kehilanganmu karena aku terlalu pengecut untuk berubah."
Kata-kata itu menghantam Wooyoung dengan keras, membuatnya terdiam. Ia merasa dinding-dinding yang ia bangun selama ini runtuh sedikit demi sedikit.
San berdiri, tapi bukannya kembali ke sofa, ia menarik Wooyoung untuk ikut berdiri. "Ayo," katanya.
"Ke mana?" Wooyoung bertanya, bingung.
San menariknya menuju balkon. "Kau butuh udara segar. Dan aku ingin menunjukkan sesuatu."
Ketika mereka berdiri di balkon, angin malam langsung menerpa wajah Wooyoung, sedikit menenangkan pikirannya yang kacau. San berdiri di belakangnya, tangan yang besar dan hangat melingkari pinggangnya.
"Wooyoung," kata San, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Perubahan itu tidak selamanya buruk. Lihatlah kota ini. Dulu tempat ini cuma pelabuhan kecil, tapi sekarang jadi pusat kehidupan. Kalau tempat ini tidak berubah, kau tidak akan berada di sini. Kita tidak akan berada di sini."
Wooyoung terdiam, membiarkan kata-kata San meresap.
San melanjutkan, "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku tahu satu hal. Selama kau tetap bersamaku, aku akan menghadapi apa pun."
Wooyoung merasa dadanya menghangat, dan sebelum ia bisa berpikir terlalu banyak, ia membalikkan badan dan memeluk San erat-erat.
"Kenapa kau harus selalu benar?" gumamnya dengan suara pelan, pipinya menempel di dada San.
San tertawa kecil, memeluk Wooyoung kembali. "Karena aku San. Aku selalu benar."
Wooyoung memukul lengan San dengan ringan, tapi ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Stay," kata Wooyoung tiba-tiba.
San mengangkat alisnya. "Apa?"
"Tetaplah di sisiku," ulang Wooyoung, kali ini dengan suara yang lebih yakin.
San menunduk sedikit, mencium puncak kepala Wooyoung. "Aku tidak akan ke mana-mana."

KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Hayran Kurgubottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_