Choi San [⚠mpreg] [5]

72 9 0
                                    

San tidak pernah merasa tegang seperti ini sebelumnya. Tubuhnya membungkuk, matanya terpaku pada tubuh Wooyoung yang menggeliat kecil, berjuang untuk bernapas di tengah rasa sakit yang terus datang tanpa henti.

"Ayo, Sayang, kau bisa melakukannya," San berbisik lembut, tangannya mengelus perut besar Wooyoung yang berkilau oleh keringat. Wooyoung hanya mampu mengangguk pelan, napasnya pendek-pendek, matanya berkaca-kaca menahan kontraksi yang kian tajam.

San melihat bahu bayi pertama mulai keluar. Jantungnya berdetak kencang, campuran rasa gugup dan kebahagiaan membanjiri dirinya. Dengan tangan hati-hati, ia menyentuh bahu kecil itu, membimbingnya dengan gerakan perlahan. "Hampir selesai, Sayang. Sedikit lagi."

Wooyoung melenguh panjang, suara lembutnya terdengar seperti melodi penuh kesabaran. Ketika akhirnya bayi pertama keluar sepenuhnya, suara tangis kecil memenuhi ruangan.

San hampir tidak bisa menahan air matanya. Ia menatap bayi itu—kulitnya merah muda, tubuh mungilnya bergerak pelan, mulutnya menangis lantang. "Ini dia, Wooyoung. Anak pertama kita."

Wooyoung menatap bayi itu dengan mata berkaca-kaca. “Dia… dia sempurna…” bisiknya, air mata mengalir di pipinya.

San dengan hati-hati menyerahkan bayi itu ke pelukan Wooyoung. “Kau luar biasa. Kau tidak berteriak sedikitpun. Aku sangat bangga padamu.”

Wooyoung memeluk bayi itu erat, menenangkan tangisannya dengan suara lembut. San berdiri, memanggil tim medis untuk membantu memandikan bayi pertama mereka. Meskipun enggan melibatkan orang lain, San tahu bahwa ia tidak bisa melakukan segalanya sendiri.

Proses selanjutnya terasa seperti pengulangan yang melelahkan. Setelah bayi pertama dibawa untuk dimandikan, bayi kedua mulai crowning. San kembali fokus pada Wooyoung, membimbingnya dengan sabar.

“Napaskan, Sayang. Tarik dan hembuskan pelan-pelan,” San terus membisikkan kata-kata motivasi sambil memijat perut besar Wooyoung yang terus bekerja keras.

Bayi kedua lahir tidak lama kemudian, disusul bayi ketiga, keempat, dan seterusnya. Setiap bayi yang lahir membuat San semakin kagum pada Wooyoung. Tubuh pria itu begitu kecil, namun ia mampu menghadapi semua ini dengan keberanian yang luar biasa.

Namun, di balik kekaguman itu, San juga merasa bersalah. Setiap kali melihat wajah Wooyoung yang lelah, kulitnya yang memerah, dan napasnya yang semakin berat, rasa bersalah itu semakin besar.

“Wooyoung, kau tidak perlu memaksakan diri. Kita bisa berhenti sejenak jika kau mau…” San berbisik penuh kekhawatiran saat bayi ketujuh lahir.

Namun Wooyoung menggelengkan kepala lemah. “Aku harus menyelesaikannya, San. Untukmu, untuk kita.”

Ketika akhirnya tiba giliran bayi kesepuluh, tubuh Wooyoung sudah mencapai batasnya. Napasnya semakin pendek, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya merah padam, matanya nyaris menutup.

San berlutut di sampingnya, memegang tangannya erat. “Sayang, tolong bertahan sedikit lagi. Ini yang terakhir. Setelah ini, kau bisa istirahat.”

Wooyoung mencoba mengangguk, meskipun tubuhnya hampir tidak memiliki tenaga lagi. Ia menarik napas pelan, berusaha mengumpulkan sisa kekuatannya.

San kembali mengambil posisi, tangannya bersiap menangkap bayi terakhir mereka. Ia berusaha sebaik mungkin untuk tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ia penuh kekhawatiran.

Akhirnya, bayi kesepuluh keluar, tubuhnya mungil namun sehat. Tangisannya langsung memenuhi ruangan, menandakan bahwa ia lahir dengan selamat.

Namun saat San menoleh ke arah Wooyoung untuk memberikan kabar gembira, ia langsung panik. Mata Wooyoung tertutup, tubuhnya terkulai lemah.

“Wooyoung! Sayang, bangun!” San memegang wajah Wooyoung dengan kedua tangannya, menepuknya pelan untuk mencoba membangunkannya. Namun Wooyoung tidak merespon.

San akhirnya menyerah dengan egonya. Ia memanggil tim medis yang sedang memandikan bayi mereka untuk membantu. “Tolong! Dia tidak sadarkan diri!”

Tim medis segera datang, memeriksa kondisi Wooyoung dengan sigap. Salah satu dari mereka menenangkan San. “Jangan khawatir, ini normal. Ia hanya kelelahan setelah melalui persalinan yang sangat panjang. Kami akan memastikan ia baik-baik saja.”

San berdiri di sudut ruangan, menyaksikan tim medis bekerja. Matanya penuh air mata, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ia menggenggam tangan Wooyoung yang dingin, berbisik penuh penyesalan.

“Aku minta maaf, Wooyoung. Aku memaksamu melakukan semua ini… Aku egois. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanmu.”

Wooyoung tetap tidak merespon, membuat San semakin merasa bersalah. Ia menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri.

Setelah beberapa waktu, Wooyoung akhirnya mulai sadar. Matanya perlahan terbuka, dan ia melihat San yang duduk di sampingnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

“San…” suara Wooyoung terdengar lemah namun jelas.

San langsung memegang tangan Wooyoung erat. “Sayang, kau baik-baik saja? Kau membuatku sangat khawatir.”

Wooyoung tersenyum lemah. “Aku hanya… sangat lelah. Tapi aku baik-baik saja.”

San mencium tangan Wooyoung dengan penuh rasa syukur. “Aku minta maaf, Wooyoung. Aku egois. Aku membuatmu melalui semua ini demi keinginanku sendiri.”

Wooyoung menggeleng pelan. “Aku melakukan ini karena aku mencintaimu, San. Dan sekarang… kita punya sepuluh anak yang luar biasa. Itu semua sepadan.”

San tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia memeluk Wooyoung dengan hati-hati, memastikan tidak menyakitinya. “Aku janji, aku akan menjaga kalian semua.”

AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang