"Yeosang, aku sungguh tidak paham kenapa aku tidak boleh makan semangka di siang hari," keluh Wooyoung, duduk di sofa sambil menatap suaminya dengan tatapan penuh frustasi. Perutnya yang membuncit terlihat mencolok di balik jubah panjang berwarna merah darah—warna tradisional yang katanya bisa menangkal roh jahat yang iri pada dokkaebi hamil.
Yeosang berdiri di dapur, memotong buah pir dengan penuh konsentrasi. "Sayang, itu sudah jadi aturan sejak zaman kakek-nenek kita. Semangka siang hari bisa bikin roh air datang dan mencoba mengutuk bayimu."
"Roh air? Aku ini dokkaebi, bukan ikan koi!" Wooyoung hampir berdiri dari sofa, tapi perutnya yang berat memaksa dia untuk tetap duduk. Ia memutar bola matanya, memegangi perutnya yang terasa seperti melon besar siap meledak. "Apa lagi aturan konyol yang harus aku ikuti, huh? Jangan memegang cermin? Jangan tertawa terlalu keras? Jangan tidur telentang karena bayi bisa tertukar gendernya?"
Yeosang mendesah, meletakkan piring berisi irisan buah pir di meja kecil di depan Wooyoung. "Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aturan-aturan ini sudah ada sejak lama. Mereka hanya ingin memastikan kau dan bayi kita selamat."
"Kalau memang ingin aku selamat, kenapa tidak ada aturan yang bilang 'biarkan suamimu melayani semua kebutuhanmu'? Itu aturan yang masuk akal," balas Wooyoung sambil mengambil sepotong pir dan menggigitnya dengan dramatis.
Yeosang tersenyum kecil, duduk di sebelah Wooyoung dan memijat lembut bahunya. "Aku melayanimu, kan? Setiap hari."
"Melayani?" Wooyoung menoleh tajam. "Kau bahkan tidak mengizinkanku makan mie ramen kemarin malam! Kau bilang terlalu pedas untuk bayi ini."
"Itu karena aku membaca di buku panduan bahwa makanan pedas bisa memicu kontraksi dini," jawab Yeosang, suaranya tenang seperti biasa.
"Buku panduan ini harusnya dibakar," gerutu Wooyoung, meskipun nada suaranya melembut saat Yeosang mulai memijat punggung bawahnya yang terasa pegal. "Aku hanya ingin satu malam di mana aku bisa makan apa pun yang aku mau tanpa khawatir melanggar aturan kuno."
Seminggu kemudian, masalah baru muncul. Wooyoung sedang duduk di taman belakang, mencoba menikmati udara segar, ketika tetua klan dokkaebi datang membawa daftar panjang aturan tambahan.
"Wooyoung-ssi, kau harus tahu bahwa dokkaebi hamil tua tidak boleh melihat bulan purnama langsung," kata Tetua Kim dengan suara berat.
Wooyoung mengerutkan dahi. "Kenapa tidak? Bulan purnama cantik."
"Itu bisa membuat bayi lahir dengan wajah seperti kelinci," jawab Tetua Kim dengan serius.
Wooyoung hampir tertawa terbahak-bahak, tapi ia menahannya demi menghormati tetua itu. "Baiklah, aku akan menutup gorden malam ini."
"Tidak cukup." Tetua Kim menggeleng. "Kau harus memastikan rumahmu juga tidak menghadap ke arah bulan. Kalau perlu, pindahkan tempat tidurmu ke ruang bawah tanah."
"RUANG BAWAH TANAH?!" Wooyoung akhirnya kehilangan kontrol, bangkit dari bangkunya meskipun perutnya hampir membuat dia jatuh. "Aku ini sedang hamil, bukan sedang mempersiapkan ritual pemanggilan arwah!"
Tetua Kim tampak tidak terpengaruh. "Ini demi keselamatan bayi dokkaebi. Kau harus mematuhi tradisi, Wooyoung-ssi."
Malam itu, Yeosang menemukan Wooyoung duduk di lantai dapur dengan wajah kusut. Di sekelilingnya, ada tumpukan buku tradisional dokkaebi yang entah dari mana munculnya.
"Sayang, apa yang kau lakukan?" tanya Yeosang, mendekatinya dengan hati-hati.
"Aku sedang mencoba mencari tahu apakah ada aturan yang lebih aneh daripada yang baru saja aku dengar," balas Wooyoung, menunjuk buku yang terbuka di depannya. "Ternyata ada. Kau tahu apa? Dokkaebi hamil tidak boleh mencium suaminya di bawah pohon persik karena itu bisa membuat bayi tumbuh dengan rambut merah jambu."
Yeosang berusaha menahan tawa, tapi sudut bibirnya terangkat. "Rambut merah jambu? Aku rasa itu justru lucu."
"TIDAK LUCU, YEOSANG!" Wooyoung memukul bahunya dengan buku. "Apa yang akan dikatakan para tetua kalau bayi kita lahir dengan rambut seperti itu? Mereka pasti berpikir aku melanggar aturan lagi!"
Yeosang akhirnya tidak bisa menahan diri, ia tertawa kecil sambil menarik Wooyoung ke pelukannya. "Kau tahu, aku tidak peduli apa kata para tetua. Selama kau dan bayi kita sehat, itu saja yang penting."
Wooyoung menghela napas, menyandarkan kepalanya di dada Yeosang. "Kau selalu tahu bagaimana cara membuatku tenang, meskipun dunia ini penuh dengan aturan konyol."
"Itu tugas suami," balas Yeosang lembut, mencium puncak kepala Wooyoung.
Mereka memutuskan untuk tidur di kamar mereka seperti biasa, meskipun bulan purnama terlihat jelas di luar jendela. Wooyoung menatap bulan dengan ekspresi penuh kemenangan, seolah-olah ia baru saja memenangkan perang melawan semua aturan aneh yang selama ini mengusiknya.
"Jadi, apa kita aman sekarang?" tanya Yeosang, berbaring di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," jawab Wooyoung sambil tersenyum kecil. "Tapi kalau ada yang datang besok dan bilang bayi kita tumbuh telinga kelinci, aku akan menyalahkanmu."
Yeosang tertawa, menarik Wooyoung ke dalam pelukannya. "Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Tapi aku yakin bayi kita akan sempurna, seperti ibunya."
Wooyoung tertidur tanpa memikirkan aturan-aturan aneh yang terus menghantui hari-harinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fiksi Penggemarbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_