Hujan mengguyur atap seperti ritme tamborin yang dimainkan dengan asal. Wooyoung duduk di meja makan, satu tangan menopang dagu, satu lagi memutar-mutar sendok dalam mangkuk sup yang sudah dingin.
Jongho berdiri di dapur, sibuk memeriksa oven seperti seorang koki yang lupa bagaimana cara menghidupkan api.
“Jadi,” Wooyoung membuka percakapan, nadanya lambat seperti sedang menyusun rencana balas dendam, “kau bilang, kau akan memasak sesuatu yang bisa ‘menyalakan kembali’ hubungan kita. Maksudmu itu berarti aku harus makan sup dingin ini, atau tunggu sampai kita membakar dapur?”
Jongho menoleh, mengangkat satu alisnya dengan gaya sarkas yang hanya bisa dilakukannya. “Ini bukan tentang sup atau oven, Woo. Ini tentang atmosfer.”
“Atmosfer?” Wooyoung mendengus. “Kau pikir aku ini apa? Planet?”
Jongho mendekat, membawa sesuatu di tangannya—sepotong lilin dengan api kecil yang berkedip lemah. Dia meletakkannya di meja, lalu duduk di depan Wooyoung dengan ekspresi yang seolah berkata, lilin ini akan mengubah dunia.
“Apa ini?” Wooyoung memandang lilin itu dengan skeptis.
“Ini simbol.”
“Simbol apa? Kalau ini trik sulap, aku sudah tahu ujungnya. Kau tiup lilinnya, lalu muncul bunga plastik dari telingamu?”
Jongho terkekeh, suaranya rendah dan berat, seperti guntur yang lembut. “Tidak, Woo. Ini simbol dari apa yang sedang kita bangun. Perlahan. Tapi pasti.”
Wooyoung terdiam sejenak. Ia tahu Jongho selalu punya cara aneh untuk menyampaikan sesuatu, tapi ia tidak menyangka pembicaraan mereka malam ini akan seserius ini.
“Jongho, kalau ini tentang bayi ini…” Wooyoung melirik perutnya yang mulai membuncit, lalu kembali menatap Jongho dengan ekspresi setengah bingung, setengah geli.
“Ya, ini tentang bayi ini,” potong Jongho. “Dan tentang kau. Tentang kita. Aku tahu aku bukan tipe yang selalu romantis. Aku tahu aku sering terlalu serius atau sibuk dengan hal-hal yang kelihatannya remeh. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku melihatmu. Aku melihat kita. Aku tahu ini tidak mudah.”
Wooyoung merasakan tenggorokannya mengering. Ia tidak mengira Jongho akan berbicara seperti itu—setenang itu, sedalam itu.
“Jadi,” Jongho melanjutkan, mengambil tangan Wooyoung di atas meja, “aku mungkin tidak punya banyak cara untuk ‘menyalakan’ hubungan kita, tapi aku ingin kau tahu aku di sini. Aku selalu ada.”
“Wow,” Wooyoung mendesah, matanya berkaca-kaca. “Kalau aku tahu lilin sekecil itu bisa membuatmu berbicara seperti ini, aku akan menyalakannya setiap hari.”
“Bukan lilinnya,” Jongho menyeringai kecil. “Ini kau. Kau yang membuat semuanya menyala.”
Sebulan kemudian, Wooyoung menyadari bahwa hidup bersama Jongho memang seperti hidup dengan api kecil yang selalu hangat, tapi tidak pernah membakar. Jongho adalah batu yang kokoh, sesuatu yang stabil di tengah semua ketidakpastian.
Saat Wooyoung sedang membaca buku di sofa, ia merasakan tendangan kecil di perutnya.
“Jongho!” serunya, matanya membulat penuh kejutan.
Jongho berlari dari dapur seperti petugas pemadam kebakaran yang mendapat panggilan darurat. “Apa? Apa yang terjadi?”
“Dia menendang,” bisik Wooyoung, matanya berkilauan. “Bayimu menendangku.”
“Bayimu juga,” Jongho tersenyum, duduk di sebelah Wooyoung dan meletakkan tangannya di atas perutnya.
“Tendangannya kuat,” Wooyoung bergumam. “Aku yakin dia mewarisi kekuatanmu. Semoga tidak mewarisi sifat keras kepalamu.”
“Keras kepala itu penting,” jawab Jongho santai. “Itu yang membuat kita bertahan sejauh ini.”
“Kau benar,” Wooyoung tersenyum kecil, lalu meletakkan kepalanya di bahu Jongho. “Tapi aku lebih suka kalau dia mewarisi sisi lembutmu.”
Jongho tertawa kecil, lalu mencium kening Wooyoung dengan lembut.
“Dia akan mewarisi yang terbaik dari kita,” Jongho berkata pelan. “Dan itu lebih dari cukup untuk menyalakan dunia ini.”
![](https://img.wattpad.com/cover/235087455-288-k922305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanfictionbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_