Sebuah dunia yang aneh—aneh bahkan untuk standar vampir—memiliki pasangan yang lebih aneh lagi: Song Mingi, vampir berdarah biru yang lebih suka bermain gitar daripada menggigit manusia, dan Jung Wooyoung, manusia yang entah bagaimana selalu berakhir dalam situasi yang absurd.
Mereka duduk di ruang tamu apartemen Mingi, yang didekorasi seperti gabungan ruang latihan band dan ruang meditasi. Sebuah gitar tergantung di dinding, di samping lukisan abstrak bergaya gotik yang, menurut Mingi, adalah “ekspresi jiwanya.”
“Jadi…” Wooyoung membuka percakapan dengan nada penuh keraguan, tangannya memegang sebuah alat uji kehamilan. “Aku… hamil.”
Mingi, yang sedang memetik senar gitar akustik dengan ekspresi serius, berhenti sejenak. Ia menatap Wooyoung seperti baru mendengar seseorang mengklaim bahwa langit sebenarnya berwarna ungu.
“Kamu serius?” tanyanya akhirnya, suaranya serak tapi bergetar ringan, seperti seseorang yang mencoba menahan tawa atau syok.
“Aku nggak tahu bagaimana ini mungkin, tapi, ya, serius.”
Mingi menatap alat uji itu, lalu Wooyoung, lalu kembali ke alat itu. “Tunggu. Aku vampir. Kamu manusia. Ini… biologi dasar, Woo. Nggak mungkin.”
Wooyoung mengangkat bahu, ekspresinya campuran antara bingung dan pasrah. “Ya, nggak ada yang bilang mungkin. Tapi kenyataan ini ada. Mau diapain lagi?”
Mingi akhirnya meletakkan gitarnya dan mendekat, matanya yang biasanya penuh percaya diri kini sedikit goyah. “Kamu yakin ini bukan… prank?”
“Siapa yang punya waktu buat prank kayak gini?” Wooyoung balas dengan nada yang terdengar terlalu lelah untuk malam yang dingin ini.
Mingi terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada pelan, “Tapi… kita cuma…”
“Jangan mulai lagi dengan ‘cuma sekali’, Mingi. Aku udah denger alasan itu seribu kali.”
Mingi mulai berjalan mondar-mandir di ruang tamu, tangan di belakang kepala, seperti seorang aktor teater yang mencoba menghafal dialog Shakespeare. Wooyoung, yang sudah terlalu lelah untuk drama, menjatuhkan diri di sofa.
“Jadi, apa rencanamu sekarang, Ayah Vampir?” tanya Wooyoung dengan nada sarkastik.
Mingi berhenti, menatapnya dengan serius. “Aku harus berkonsultasi.”
“Konsultasi sama siapa? Google? Atau kamu punya grup WhatsApp khusus vampir hamil?”
Mingi mendecak, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya. “Sama Elder. Dia mungkin tahu ini maksudnya apa. Karena ini jelas bukan normal.”
“Oh, jadi kamu baru sadar hidup kita nggak normal? Selamat datang di kenyataan, Mingi.”
Mingi mengambil mantel panjangnya yang hitam, jelas-jelas terlalu dramatis untuk sekadar pergi ke tempat Elder, dan bersiap-siap keluar.
“Aku akan kembali dengan jawaban. Kamu tetap di sini. Jangan stres, oke? Aku yakin kita bisa… mengatasinya.”
“Cepat pulang,” jawab Wooyoung sambil menggigit roti tawar yang ia temukan di meja. “Kalau nggak, aku bakal pesan pizza pakai kartu kreditmu.”
Mingi hanya tertawa kecil dan menghilang ke malam.
Mingi bertemu dengan Elder Marcus, seorang vampir tua yang konon sudah hidup selama 500 tahun.
Mingi duduk di hadapan Elder Marcus, yang lebih mirip profesor universitas tua daripada vampir. Marcus memegang buku besar yang terlihat seperti akan hancur jika disentuh lebih keras dari sekadar membalik halaman.
“Jadi, kamu bilang pasangan manusiamu… hamil?” Marcus mengangkat alisnya.
“Ya. Begitu katanya,” jawab Mingi, berusaha tidak terlihat terlalu panik.
Marcus menghela napas panjang, lalu berkata, “Apakah kamu pernah mendengar tentang Kutukan Diabolic?”
Mingi mengerutkan dahi. “Kutukan apa?”
Marcus membuka halaman tertentu, menunjuk pada gambar vampir yang menggendong bayi kecil, sementara di sekelilingnya manusia dan vampir lainnya berlutut dalam ketakutan.
“Konon, setiap 300 tahun, ada seorang vampir yang—karena alasan tak diketahui—mampu menciptakan kehidupan dengan manusia. Bayi itu tidak biasa. Ia lahir membawa warisan baik vampir maupun manusia, tetapi hidupnya selalu… menarik perhatian.”
“Menarik perhatian siapa?” tanya Mingi, nadanya mulai terdengar lebih khawatir daripada penasaran.
“Semua pihak,” jawab Marcus dengan nada berat. “Para pemburu. Dewan vampir. Bahkan mungkin manusia biasa. Karena anak ini dipercaya menjadi jembatan antara dua dunia.”
Mingi terdiam. Ia merasa seperti baru saja dilempar ke dalam film aksi tanpa latihan.
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” tanyanya akhirnya.
Marcus memandangnya dengan tatapan penuh arti. “Pertama, persiapkan dirimu menjadi ayah. Kedua, lindungi pasanganmu. Karena dunia ini tidak akan memberimu banyak waktu untuk merayakan keajaiban ini.”
Sementara itu, di apartemen kecil mereka, Wooyoung berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.
Wooyoung menatap kamera, duduk di sofa dengan perut yang, meskipun belum terlihat besar, sudah cukup untuk membuat celana jeansnya terasa tidak nyaman.
“Jadi, ya, aku hamil. Sama vampir. Sejauh ini, aku cuma berharap anak ini nggak tumbuh terlalu cepat atau punya kebiasaan tidur di peti mati. Karena kalau iya, itu bakal jadi alasan bagus buat aku pergi pindah negara.”
Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan, “Tapi serius, aku rasa aku siap. Maksudku, ini kan hidupku sekarang. Absurd, tapi setidaknya nggak membosankan.”
---
Mingi akhirnya pulang, membawa segunung informasi dan wajah yang terlihat lebih lega. Ia duduk di samping Wooyoung, yang sudah tertidur dengan remote TV di tangannya.
Mingi mengusap rambut Wooyoung.
Dunia terasa lebih tenang—meski hanya untuk sementara.
![](https://img.wattpad.com/cover/235087455-288-k922305.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AZALEA 🌼 bottom!Wooyoung [⏯]
Fanficbottom!Wooyoung Buku terjemahan ©2018, -halahala_