LUL | 48

59 9 1
                                    

"Beberapa orang pergi, bukan karena ingin, tapi karena takdir memang meminta mereka untuk tak tinggal."

Laut Untuk Langit•

•Laut Untuk Langit•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di ruang tamu yang tenang, dengan cahaya rembulan yang merayap masuk melalui jendela, Jenia dan Rania duduk berdampingan di sofa. Di atas meja, sebuah foto usang tertata rapi, menggambarkan seorang pria yang tersenyum lebar bersama wanita muda dan seorang anak kecil yang terlihat ceria.

"Ini siapa?" tanya Jenia dengan polos, matanya tertuju pada foto itu.

Rania memandang foto itu dengan tatapan kosong, seolah memikirkan ribuan kenangan yang tersembunyi di balik gambar tersebut. “Papa kamu,” jawabnya pelan, suara itu terdengar berat, seperti beban yang dipikul bertahun-tahun.

Jenia memandang foto itu dengan kagum. “Dia pasti baik banget, Ma,” katanya, matanya berbinar. "Jenia inget, Papa selalu jagain Jenia waktu kecil. Aku lupa tentang Papa, tapi Papa nggak pernah nyakitin Jenia kok."

Rania menatap Jenia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Jantungnya terasa sesak mendengar kalimat itu. Ia tahu bahwa kenyataannya jauh berbeda. Kenangan tentang Arya yang penuh dengan kekerasan, kata-kata kasar, dan luka yang tertinggal jauh lebih nyata daripada apa yang Jenia ingat. Namun, melihat Jenia yang begitu polos dan penuh harapan, Rania memilih untuk menahan air matanya.

"Papa kamu memang baik, Jenia," Rania berkata, suaranya serak, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. “Dia sayang banget sama kamu.”

Jenia tersenyum lebar, seakan merasa aman dalam pelukan kenyataan yang dia ciptakan sendiri. "Jenia nggak ingat apa-apa, Ma. Tapi aku yakin Papa nggak pernah nyakitin aku," katanya, dengan keyakinan yang tulus, meskipun kenyataannya jauh berbeda.

Rania menunduk, napasnya tersengal. Seolah kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Bagaimana ia bisa mengungkapkan kebenaran yang pahit? Bagaimana bisa ia meruntuhkan dunia indah yang telah Jenia bangun, tanpa membuatnya merasa kehilangan segalanya?

Rania tidak bisa berkata lebih. Ia memeluk Jenia erat-erat, mencoba menyembunyikan tangisnya.

Jenia menatapnya dengan mata yang penuh cinta, mencoba membaca ekspresi Rania. "Mama kenapa nangis?" tanyanya dengan rasa khawatir.

Rania terdiam sejenak, menahan perasaan yang hampir tak tertahankan. “Kamu mau disini terus kan, Jenia?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar, dipenuhi ketakutan akan masa depan yang tak bisa ia kendalikan.

Jenia mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan itu. "Emang aku harus kemana, Ma? Jenia nggak akan pergi kemana pun," jawabnya, matanya penuh dengan kepolosan, tidak tahu bahwa ada dunia lain yang penuh luka yang tersembunyi dari ingatannya.

Rania menarik napas dalam-dalam, dan dengan perasaan yang begitu berat, ia memeluk Jenia lebih erat lagi. Hatinya hancur, menatap putrinya yang begitu penuh harapan, sementara ia tahu bahwa dunia yang Jenia kenal selama ini bukanlah dunia yang sesungguhnya. Dunia yang penuh dengan luka yang sengaja disembunyikan demi melindunginya.

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang