Latihan sore ini berlangsung cepat. Sudah sampai scene terakhir dan hanya ada beberapa kesalahan- sepertinya kami siap untuk pertunjukan akhir nanti, walau masih cukup lama. Aku membantu Jake dan yang lainnya membersihkan peralatan dan merapihkan set. Kulihat Austin duduk ditepi panggung. Kakinya menjuntai kebawah, dia terlihat berbeda hari ini. Kemarin-kemarin dia masih suka menggodaku dan sebagainya, hari ini dia tidak banyak berbicara. Setelah selesai merapihkan kostum, aku membersihkan tanganku lalu duduk disampingnya.
"Kau tidak banyak bicara hari ini- ada masalah?" tanyaku. Dia tidak menoleh kearahku. Austin hanya tersenyum datar lalu menghela nafas.
"Ayahku—" dia memulai. "Dia mendaftarkan aku di universitas kedokteran- dia tidak peduli apa yang aku katakan," katanya.
"Kau punya hak untuk menolaknya—" dia hanya tersenyum sinis. "Austin, ini masa depanmu- bukan ayahmu— aku tahu ayahmu ingin yang terbaik, tapi kalau kau tidak suka—" aku berhenti bicara saat dia memelukku. Begitu erat. Begitu kuat, beda dari hari-hari biasa ketika dia memelukku. Dia membenamkan kepalanya dibahuku, tubuhnya tidak bergerak, kaku. Aku hanya membalas memeluknya dan mengelus punggungnya. "Aku akan berhenti bicara- maafkan aku—" ujarku pelan.
Ada dikala aku juga merasakan hal seperti ini. Aku hanya ingin memeluk orang yang kusayangi ketika aku merasa sedih dan bingung, tanpa orang tersebut berkata apa-apa. Jangan salah, kekuatan dari pelukan seperti ini bisa menjadi lebih berarti daripada sebuah saran.
"Haley, janjikan aku satu hal—" katanya. Aku memainkan rambutnya dan mengangguk. "Kau akan selalu ada disisiku—selalu. Mendukungku, bersamaku—" aku mengangguk sebelum dia selesai berbicara. Austin mencium keningku, lama sambil menutup matanya.
"Bukankah kau harus berlatih?" tanyaku saat aku melirik arloji yang ada ditangannya. Dia membuka matanya lalu menatapku. "Tidak juga tidak apa-apa.." kataku buru-buru karena aku terdengar seperti menyuruhnya menjauh. Dia tersenyum.
"Aku tidak akan latihan hari ini- kau mau jalan-jalan?" tanyanya. Aku diam.
"Kemana?" dia terlihat berpikir, lalu mengangkat bahu.
"Kemana saja, hmm?" dia menunduk sedikit untuk melihatku. Aku menghela nafas. Sebelum aku mengiyakan Austin sudah menarikku pergi dari auditorium. Dia tidak bilang kemana akan membawaku, tapi kami pergi ke pantai. Begitu sampai dia menggandengku untuk berjalan dan membeli eskrim.
"Beberapa menit lagi matahari terbenam- aku ingin melihatnya bersamamu-" ujarnya. Dia menjilat eskrimnya. Akupun demikian. Aku memandang hamparan air yang terbentang didepanku. Begitu biru, dan indah. Masih banyak anak-anak dan orang dewasa yang bermain.
"Mmmmm-" gumamku sambil menjilat eskrim yang mulai cair. Austin tertawa melihatku berusaha menghabiskan eskrimku.
"Kau belepotan lihat—" katanya menunjuk sisi-sisi wajah dan bibirku yang terkena eskrim. Aku berusaha membersihkannya dengan cara menjilat yang ada disekitar bibir dan mengelap wajahku dengan tangan. "Hei- hei, tanganmu kotor—" katanya sambil menangkap tanganku dan menurunkannya. Dia menggunakan punggung tangannya untuk menyeka bibirku lalu tersenyum.
"Tanganmu yang kotor-" kataku saat dia selesai. Dia mengibaskan tangannya. Aku melihat dia mengunyah dengan ngilu sisa eskrim terakhir dimulutnya lalu mengelap mulutnya sendiri. Aku sudah selesai dengan eskrimku. "Austin—" panggilku, dia menoleh. "Kau pernah—kau pernah memikirkanku?" tanyaku. Lalu sekian detik aku sadar aku merasa bodoh- aku tidak tahu aku harus bicara apalagi dengannya. Dia tertawa pelan. Lengannya meraih tubuhku, membuatku berhadapan dengannya.
"Kau pernah memikirkanku?" tanyanya balik. Aku berdehem.
"Aku bertanya terlebih dahulu—" ujarku. Dia mengangguk dan berdehem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
Roman d'amourCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.