[Austin's Point of View]
Ayahku ada disana. itulah yang terjadi malam ini. Ditengah-tengah kerumunan orang banyak, dia ada disana. akhirnya. Aku melihatnya saat dia bertepuk tangan untukku, dan aku tidak sanggup untuk tidak menghampirinya dan memeluknya erat-erat. Orang-orang melihat kami saat aku memeluk ayahku.
"Terimakasih sudah datang, yah.."
"Tidak ada ruginya, kupikir—" ayahku menepuk nepuk pundakku. Aku menghapus keringat dari keningku lalu menatap ayahku yang tersenyum kepadaku, dia tersenyum.
"Sana, cari kekasihmu itu—"
Aku lalu mengangguk dan berusaha menerobos penonton yang memberiku selamat dan mengguncangkan bahuku, mengacak rambutku- aku hanya ingin sampai ditempatnya. Kulihat dia tersenyum saat aku sudah sampai.
"Hai—"
Aku tidak membalasnya, kucengkram lengannya dan kutarik dia masuk dalam pelukanku. Kutempelkan bibirku dibibirnya, menciumnya dengan penuh seksama, berterimakasih karena dia ada disini, karena dia selalu bersamaku, karena dia yang membuat ayahku datang. Haley membalasku, menarik seragamku dengan cengkramannya, menjilat bibirku- membuatku membuka mulutku agar lidah kami bisa bersatu. Dia menekan bibirnya lebih lagi dan dia bercicit saat aku melepaskannya. Kupandangi dia, pipinya basah. Nafasnya berhembus diwajahku. Kulirik Reina dan Jake yang mengulum bibirnya melihat kami.
"Apa kubilang- kau menang.." ujarnya. Aku menempelkan keningku dikeningnya, mengusap bibir bawahnya dengan jempolku dan menciumnya sekali lagi.
"Aku mencintaimu—" kataku lalu memeluknya. Dia membalas pelukanku erat. Dia begitu hangat.
"Sana- rayakan dulu dengan teman-temanmu.. kau baru saja menyelamatkan angkatan kita—" katanya sambil mendorongku. Aku mengusap kepalanya.
"Di parkiran?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku menyapa Jake dan Reina sebentar sebelum akhirnya aku kembali turun kelapangan. Kulihat ayahku mendatangi Haley dan mereka berjabat tangan. Wajah Haley yang menegang seketika berubah merona dan mereka berbincang sambil tertawa. Aku menghela nafas lega.
"Hei, Kapten!" Luke menarikku. "Ayo, kita berfoto!" katanya berjingkrak-jingkrak menyeretku paksa ketengah lapangan.
[End of Austin's Point of View]
================================================================================
Aku duduk diatas kap mobilnya, menunggu dia keluar. Banyak orang lalu lalang, dan mataku menangkap seorang nenek tua- yang sepertinya kukenal. Dia tersenyum menghampiriku. Aku turun dari kap.
"Erica—" ujarnya. Aku mengerutkan dahinya. "Aku senang melihatmu bahagia—" ujarnya.
"Umm—kau—yang dihutan waktu itu?" tanyaku berusaha mengingat. Erica. Erica. Dongeng itu. Jantungku berhenti ketika aku sekilas mengingat dongeng itu. Dia memanggilku begitu.
"Yeah- Tuhan, kita berjumpa waktu itu- sudah cukup lama- dan lihat kau sekarang.. Begitu bahagia—ada sinar terpancar dari wajahmu—" katanya terkekeh. Aku berusaha tersenyum.
"Namaku Haley, nek- bukan Erica—" ujarku. Nenek itu masih terkekeh.
"Perlahan kau akan ingat- dan kuyakin buku itu membantumu mengingatkanmu siapa dirimu sebenarnya—"
"Buku?"
"Ya!" dia membelalakan matanya. "Dongeng itu—buku yang sengaja aku taruh didepan lokermu—" aku merinding. Austin menemukan buku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
عاطفيةCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.