"Kenapa kita berhenti disini?" tanyaku saat Austin mematikan mesin mobilnya dilapangan yang begitu penuh mobil dan ada layar besar didepannya. Aku melihat sekeliling, semuanya hanya mobil, dan aku mengerti. "Kita akan menonton disini?" tanyaku tertawa saat Austin pindah kejok belakang, aku mengikutinya. Dia melepaskan jaket team-nya yang dia kenakan lalu menutupi kakiku. Austin menarikku agar tiduran didadanya dan aku menurut. Wangi tubuhnya begitu khas dihidungku, membuatku merasa nyaman. "Kau tidak bilang padaku akan menonton disini, kalau didalam mobil seperti ini kan aku tidak usah dandan cantik-cantik. Aku bisa saja keluar menggunakan piyamaku—" ujarku. Dia tertawa, dadanya bergetar.
"Ini film favoritmu-" katanya singkat. Setiap bulan baru minggu pertama, selalu ada pertunjukan layar tancap seperti ini dilapangan. Semua orang tinggal memarkir mobil mereka lalu menontonnya secara gratis dilapangan seperti ini. Tak lama layarnya berkedip, tanda filmnya mau dimulai. Aku memekik saat theme song film yang sungguh aku suka terdengar dari layar. Austin tertawa melihatku.
"Oh! Aku tidak tahu mereka memutar film ini!" ujarku. The Breakfast Club. Salah satu film tahun 80an favoritku yang bercerita tentang sekumpulan anak yang merasa tertekan dengan orangtua mereka dan sekeliling, secara tidak sengaja berkumpul bersama karena harus menjalani masa hukuman dari guru mereka. Aku menghela nafas saat filmnya sudah mulai. Austin ikut memandang layar dengan serius. Walau sudah jutaan kali aku menontonnya, aku tidak pernah bosan untuk melihatnya lagi. Aku punya filmnya, bahkan aku punya 2, takut kalau yang satu rusak- aku tidak punya untuk cadangan. Aku berbaring didadanya, mendengar detak jantung Austin, begitu berirama, tenang- membuatku ikutan tenang juga. Lengan Austin merangkulku. Aku meringkuk, tidak mau lepas darinya.
"Kau sudah pernah nonton ini?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Andrew adalah favoritku. Dia mirip sekali denganku-" kata Austin. "Dia atlit, ayahnya menginginkan lebih darinya—" kata Austin lagi. Dan aku baru sadar, ya- mereka mirip. "Siapa favoritmu?" tanya Austin. Aku mendongak melihatnya.
"Brian—" jawabku. Brian adalah tokoh yang pintar, tapi dia tidak suka dengan dirinya sendiri. Sama sepertiku. "Entahlah, tapi Brian- aku menangis saat dia berbicara tentang masalahnya dengan yang lain—mengingatkan diriku.." ujarku. Austin hanya mengelus bahuku. Aku menghela nafas. Begitu sunyi, dan begitu dingin disini. Austin masih serius memperhatikan layar. Aku diam-diam melirik kearahnya, memperhatikan dia yang serius menonton.
"Kau sungguh tampan—" ujarku pelan. Austin menoleh kearahku dan tertawa. Tangannya mengelus rambutku. "Maaf- aku tidak tahu harus bicara apa lagi—" kataku akhirnya. Austin menundukkan wajahnya lalu menciumku begitu pelan dan singkat.
"Tidak juga," ujarnya sedikit terkekeh. "Aku sama seperti lelaki lain. Hanya saja, aku lebih baik.." aku memukul dadanya. "Satu hidung, dua mata, dua telinga- dua kaki, dua lengan-" ujarnya lagi. "Apa yang berbeda? Wajah hanyalah wajah—" katanya lagi membuatku tersenyum. Lelaki ini selalu membuatku kagum. Entah ketika dia dilapangan, dikelas, saat bersama seperti ini.
"Kau benar—" ujarku lagi.
"Tentu saja aku benar!" ujarnya lalu menurunkan posisi duduknya, menjadi lebih tiduran. Aku mengikutinya. Austin membetulkan posisi jaketnya agar menutupi kakiku. Aku membantunya.
"Aku tidak begitu kedinginan kok, kau pakai saja nih—" kataku akhirnya karena jaket itu terus melorot jatuh kebawah. Dia mengambilnya lalu menaruhnya asal disampingnya. Kami berdua diam lagi. Aku tertawa saat ada scene yang aku sukai dan menurutku lucu. Austin melirikku lalu memajukan tubuhnya, mengecup leherku. Aku tidak menoleh. Dia melakukannya lagi.
"Austin hentikan—" kataku sedikit mendorongnya dengan geli. Dia hanya menggumam lalu menarikku lebih dekat untuk mengecupku lagi, dan menghisapnya sedikit. Aku tersenyum kearahnya. "Aku ingin menonton—" ujarku. Dia tidak mempedulikanku. Hidungnya menyentuh hidungku- begitu dekat, dan dia menciumku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
RomanceCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.