[ Haley's and Austin's Part ]
"Haley, bisa aku bicara denganmu?" aku begitu terkejut ketika aku menutup loker, Lucy sudah berdiri didepanku dengan senyumannya.
"Ya—ya, ada apa?" aku tersenyum lalu mendekat buku-ku didada.
"Begini, kau tahu- prom sudah sebentar lagi?" aku mengangguk. "Kalau boleh, aku ingin pinjam Austin- sebagai pasanganku.." aku melongo. "Kau jangan khawatir— aku tidak akan macam-macam padanya, kok. Hanya untuk kampanye king and queen saja-"
"Katamu kau tidak peduli lagi dengan popularitas.."
"Aku tidak bisa bohong pada diriku sendiri, Hale—" dia memotong. "Aku hanya pinjam dia, aku tidak akan- kau tahu melakukan apa-apa padanya, aku mengerti dia milikmu sekarang.."
"Austin sudah tahu?"
"Baru kuberitahu. Sepertinya dia belum bertemu denganmu.."
"Ya.." aku hanya mengangkat bahu. Pikiranku campur aduk. Aku tidak cemburu, tidak. Hanya saja, kalau mereka kampanye dan sebagainya mereka akan terus terlihat bersama- dan lagi.... AUSTIN KEKASIHKU SEKARANG! Oke, aku tidak cemburu kok. Tidak.
"Jadi— bagaimana menurutmu, Hale?" dia bertanya lagi. Aku menghela nafas, mengamatinya yang berpakaian sungguh cantik dihadapanku- biar bagaimanapun dia dan Austin pernah mengukir sejarah bersama, jauh sebelum aku bersamanya. Aku menggigit bibir bawahku. Tapi apa salahnya berbuat baik? Kan hanya untuk prom semata.
"Oke—" ujarku. Dia memekik senang lalu menggoyang-goyangkan lenganku gembira, aku hanya nyengir canggung.
"Terimakasih! Aku tahu kau perempuan yang baik! Austin tidak salah memilihmu.." katanya. Dia menyelipkan rambut kebelakang telinganya. "Terimakasih sekali lagi—"
"Oke, tidak masalah.." ujarku sambil tertawa pelan lalu dia pamit dari hadapanku. Aku menutup mataku sekejap lalu bersandar diloker.
Bagaimana kalau pilihanku salah? Bagaimana kalau mereka akan bersama lagi? Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Jangan bodoh, jangan bodoh! Austin mencintaiku, bukan dirinya.
Aku lalu menegakkan berdiriku lagi dan berjalan menuju kelas selanjutnya, berusaha untuk menghilangkan apapun yang negatif dipikiranku.
Saat dikelas ternyata berusaha untuk fokus setelah apa yang barusan dikatakan Lucy lebih susah dibandingkan apapun. Aku terus-terusan menoleh ke jendela kelas, berharap melihat Austin. Aku ingin dia ada bersamaku saat aku tidak yakin tentang semuanya. Aku ingin dia memelukku, begitu erat sampai aku bisa merasakan detak jantungnya ditelingaku. Kuremas tanganku sendiri karena aku begitu gugup sehingga semuanya tampak blur dan begitu dingin. Aku tidak bisa berhenti melirik jam dinding dan juga jendela, jadi akhirnya kuputuskan untuk izin ke toilet.
Ketika sampai diluar, aku bersandar ditembok. Berusaha untuk melakukan sesuatu yang membuatku lebih nyaman. Kuambil ponsel dari sakuku dan tak lama bel berbunyi, membuatku terlonjak hampir menjatuhkan ponselku. Aku menghela nafas dan kembali kedalam kelas, langsung mengambil tasku.
"Kau baik-baik saja, Hale?" Jake menangkap tanganku saat aku mau keluar dari kelas. Aku berbalik lalu memandangnya bingung. Jake melihatku lagi, meminta jawaban. Aku menggeleng.
"Tidak- sepertinya tidak.." kataku. Jake menggandeng tanganku, mengajakku berjalan keluar dari kelas. "Aku tidak tahu.." ujarku lagi. Jake menunduk untuk melihatku. Kami berhenti dipinggir kelas.
"Ada apa?" tanyanya sambil memegang kedua bahuku. Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya menatapnya bingung. "Masalah dengan Austin?" aku menghela nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happily (N)ever After
Storie d'amoreCinta sejati itu selalu lahir baru disetiap zaman, begitulah kata orang-orang.